Raka, 20 tahun, berasal dari keluarga berada yang tinggal di
Jakarta Selatan. Orang tuanya sibuk. Selama beberapa bulan, sang ibu
merasa aneh dengan perilaku anak bungsunya. “Tidurnya di sofa, tangan
pegang handphone 24 jam” kata Rinny, ibu Raka. Menjadi
penyendiri, curiga kepada orang lain dan selalu meminta uang dengan
alasan kebutuhan kuliah menjadi kebiasaan baru anaknya. Belum lagi bila handphone berbunyi, dia akan cepat-cepat pergi. Sudah puluhan juta rupiah tersedot untuk berbagai permintaan si bungsu ini.

Seperti ramai diberitakan media di Indonesia 4 bulan lalu, Raka adalah salah satu korban perekrutan NII
– KW IX (Negara Islam Indonesia- Komandemen Wilayah 9). Ada beberapa
korban yang lebih parah, misalnya mahasiswa baru yang menghilang, ibu
rumah tangga yang tinggalkan keluarga dengan alasan aneh, beberapa
mahasiswa pintar yang gagal studi. Semuanya mengarah setelah mereka
dicuci otak dan direkrut oleh anggota NII yang kadang adalah senior mereka di kampus.

Umumnya, mula-mula mereka diajak berdiskusi oleh kenalan tentang
agama Islam. Bertemu dari rumah kos, kampus, masjid/musholla, kemudian
mal dan kafe. Ada beberapa orang merasa dihipnotis, karena setelahnya
mereka tak ingat apa-apa. Rekruitmen NII
terjadi juga di pabrik, sekolah dan lokasi lain yang banyak dikunjungi
kelompok usia muda dewasa. Umumnya mereka menyasar anak muda dengan
pemahaman Islam yang dangkal atau istilahnya ‘antena pendek’.

Setelah direkrut, korban akan mengalami perubahan drastis pada sikap
dan perilakunya. “Yang periang jadi tertutup, jujur jadi pembohong, yang
sifatnya mula-mula baik jadi pencuri,” kata Ken Setiawan, mantan
anggota kelompok NII-KW IX yang mendirikan NII Crisis Center
lembaga swadaya yang membantu para korban pengrekrutan. Mereka sudah
menerima 400 pengaduan dalam kurun 3 bulan. Menabrak mobil teman,
kehilangan sepeda motor, laptop dicuri, bahkan dirawat di rumah
sakit, adalah alasan yang kerap dipakai korban sebagai alasan minta
uang pada orang tua. Untuk mencari uang, dia rela mengumpulkan
barang-barang miliknya dan menjualnya demi setoran dana pada kelompok.

Mengarah ke Al-Jaytun pimpinan Panji Gumilang

Pada ranah sejarah, NII berawal dari ide
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang saat Jepang menyerah pada Sekutu,
mendesak dibentuk sebuah negara Islam. Idenya kalah dalam diplomasi di
tingkat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/PPKI). Ini tak membuat mereka menyerah.

Setahun setelah Perjanjian Renville ( perjanjian antara Indonesia dan
Belanda tgl.17 Januari 1948), tahun 1949 mereka mendirikan Daulah Islam
di Indonesia dengan nama Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (NKA-NII) di daerah statusquo
(wilayah tidak diklaim Indonesia maupun Belanda). Saat itu, Indonesia
hanya meliputi Yogyakarta. SM Kartosoewirjo membagi wilayah NII menjadi tujuh komandemen. Komandemen Wilayah 8 di Lampung dan Komandemen Wilayah 9 (NII-KW9) untuk Jakarta baru ditambah belakangan.

Setelah kesepakatan tercapai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda di Den Haag (27 Desember 1949) yang melahirkan Republik Indonesia Serikat (RIS)
berusia pendek dan bubar pada 17 Agustus 1950, Negara Kesatuan RI
berdiri kembali membawahi seluruh wilayah bekas jajahan Belanda. Ini tak
memberi ruang bagi NII untuk berkembang. Tahun 1962, NII bentukan SM Kartosoewirjo resmi diberangus oleh pemerintah Indonesia.

Tapi semangat NII rupanya masih diwarisi
beberapa pihak dengan berbagai kepentingan. Beberapa orang malah
memelihara semangat itu menjadi kendaraan mengeruk keuntungan. Pandangan
memelihara semangat NII ini mengarah ke Pondok pesantren Al Zaytun di Indramayu, Jawa Barat dibawah pimpinan Abu Toto alias Panji Gumilang.

Panji Gumilang yang membawahi NII-KW 9
dianggap berhasil karena sukses dalam hal pendanaan dan perekrutan
jamaah baru. Seminggu sekali pada tahun 1996, Panji Gumilang menyetor
200 juta rupiah dalam bentuk pecahan 10 ribu dan 20 ribuan (hasil
sumbangan umat) ke bank Century milik Robert Tantular dengan dalih hasil
bisnis sampah .

Dari sukses mengumpulkan dana inilah Panji Gumilang membangun
kompleks pondok pesantren termegah se-Asia Tenggara. Didirikan di atas
tanah 12 hektar dan memiliki 6 ribu orang santri. Mereka memiliki sarana
pendidikan lengkap: dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Sebagaimana cara pandang NII-NII yang lain, NII KW-9 juga menganggap NKRI sebagai negara kafir. Di mata mereka, orang kafir di dalam kondisi perang, hartanya boleh diambil. Hanya saja NII-
KW9 tidak bersedia melakukan tindak kekerasan seperti peledakan bom
untuk menegakkan keinginan mereka. Tetapi mereka menghalalkan segala
cara untuk kelompoknya terutama dalam memperkuat posisi keuangan mereka.

Itulah sebabnya, NII KW-9 gencar melakukan
pengrekrutan dengan tujuan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya
dari pengikut Islam yang dangkal pemahamannya alias anak muda. “NII
hanya kedok. Al Zaytun tak sungguh-sungguh menginginkan negara Islam di
Indonesia. Mereka hanya menginginkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara
yang mudah”, ujar Iman Supriyanto, mantan staf Panji yang memutuskan
keluar dari pengurus Al-Zaytun. Akhir Juni lalu, Imam mengadukan Panji
Gumilang karena memalsukan dokumen. Pengaduan itu diproses dan Panji
diperiksa, tapi tidak ditahan.

Hal itu dibenarkan oleh seorang mantan pejabat intelijen negara. ”Kalau ada orang bilang bahwa Al-Zaytun dan isu NII itu didukung dan dibesarkan oleh pemerintah, itu salah besar,“ kata Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Yang benar menurut Hendro, Panji Gumilang menggunakan ideologi NII untuk menarik massa sampai mendapatkan uang guna membangun Al-Zaytun.

Semasa Orde Baru, dan bahkan sampai era setelah kejatuhan Soeharto,
pondok pesantren Al-Zaytun yang menganut paham universal menjadi salah
satu “tempat berkunjung” yang sangat populer. Banyak pejabat tinggi,
politisi senior, pengusaha besar yang berambisi berpolitik datang ke
pondok pesantren yang diresmikan oleh BJ Habibie ini. “Banyak pejabat
yang melihat besarnya Pondok Pesantren ini dan menganggap berpotensi
untuk kepentingan politik,” kata Ken. Sehingga banyak pejabat baik dari
partai maupun individu datang memberi sumbangan dan selanjutnya
mengharapkan suara ketika pemilihan daerah atau pemilihan umum
berlangsung.

Pengurus Al- Zaytun membantah keras semua tuduhan untuk pondok
pesantren mereka. “Al-Zaytun adalah murni lembaga pendidikan dan tidak
memiliki kaitan sama sekali dengan Negara Islam Indonesia (NII),“ kata A.S.E. Iskandar, salah seorang koordinator wilayah.

Kedengaran tak adil untuk menghimpun dana dengan mengorbankan masa
depan anak-anak muda. Dalam ajaran organisasi itu, semua ibadah wajib
termasuk sholat dan zakat, bisa diganti dengan membayar infak/sedekah.
Pengikut yang sudah disumpah untuk setia diharuskan tidak membocorkan
identitas kelompok dan diancam hukuman mati bila melanggar. Bahkan bila
seseorang disadarkan kembali dan lepas dari jaringan NII hampir tiga tahun, orang itu masih menolak untuk sholat seperti ritual umat Muslim umumnya. “Kalau narkoba merusak fisik, maka NII merusak akidah separah-parahnya,” kata Rinny.
(Indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?37264

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :