Selain dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan barang
elektronik terbesar di Ibu Kota, kawasan Glodok di Jakarta Barat juga
terkenal dengan sebutan Pecinan Jakarta.

Sebutan ini tidak lain karena di sekitar lokasi penghuninya banyak
warga keturunan Tionghoa. Maka tidak heran bila pada saat perayaan
hari besar khusus masyarakat Tionghoa, seperti hari raya Imlek, hampir
di seluruh sudut kawasan sekitar Glodok berubah menjadi meriah

Beragam pernak-pernik Imlek yang didominasi dengan warna merah
menghiasi kawasan ini. Perayaan Imlek juga menjadi daya tarik bagi para
wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Mereka datang untuk melihat langsung seperti apa kemeriahan perayaan
yang baru boleh diadakan di depan umum ini, yakni sejak pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid.

Keberadaan kelenteng tua bersejarah yang dengan mudah dijumpai di daerah ini juga menjadi nilai tambah daya tarik wisatawan.

Wisata Sejarah

Selain melihat pesta Tahun Baru Tionghoa, wisatawan yang datang ke
sini juga sangat tertarik dengan cerita masa lalu tentang kawasan
ini.Karena sampai sekarang, masih banyak orang yang belum mengetahui
sejarah kawasan yang dibangun pada zaman kolonial Belanda tersebut.

Sejalan dengan semakin berkembangnya wisata sejarah dan wisata budaya
di beberapa kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, sejumlah
komunitas pun mulai rajin mendatangi kawasan ini untuk memperkenalkan
cerita masa lalu dan sejarah yang ada di Pecinan Glodok kepada
masyarakat luas.

Hal ini pulalah yang dilakukan Komunitas Jelajah Budaya (KJB)
untuk menggelar wisata sejarah dan budaya menjelang perayaan Imlek di
kawasan ini. Yang menarik adalah, kegiatan wisata dilakukan pada malam
hari, dimulai sekitar pukul 20.00 hingga selesai.

Menurut Kartum Setiawan, Ketua Panitia “Jelajah Malam Tahoen Baroe Imlek di Pecinan”
yang diadakan pada tanggal 2 Februari 2011 lalu, malam hari justru
menjadi pemikat utama untuk menarik wisatawan yang ingin menyaksikan
kemeriahan Imlek. “Suasananya meriah dan ramai, karena itu banyak
wisatawan yang datang. Ada yang sekedar untuk melihat-lihat saja, tapi
ada juga yang datang untuk ikut ibadah di kelenteng”, kata Kartum.

Menyusuri Jalan Pintu Kecil, Pintu Besar dan Toko Tiga

Diawali dengan pemutaran film yang menceritakan situasi Kota Jakarta
tempo dulu dan tarian barongsai di Gedung Museum Mandiri, Jakarta Barat,
para peserta wisata yang berjumlah sekitar lebih dari 200 orang
terlihat tidak sabar untuk segera memulai perjalanan wisata mereka.

Dibagi menjadi tiga kelompok rombongan, para peserta yang berasal
dari berbagai kalangan dan usia mulai menyusuri jalan-jalan di sekitar
Pecinan. Meski sempat diguyur hujan lebat sebelum kegiatan berlangsung,
namun hal ini tidak menyurutkan semangat peserta untuk mengetahui
seperti apa suasana Malam Tahun Baru Tionghoa itu.

Rute wisata pertama, menyusuri Jalan Pintu Kecil, Jalan Pintu Besar
dan Jalan Toko Tiga. Sejak abad ke-8, ketiga jalan tersebut oleh
pemerintah Belanda ketika itu dijadikan daerah hunian khusus warga
Tionghoa. Maksudnya supaya mudah dilakukan pengawasan terhadap penduduk
Tionghoa.

Memasuki awal abad 20, Jalan Pintu Kecil mendapat julukan “wall street”,
karena kawasan ini sangat berperan sebagai pusat kegiatan bisnis
masyarakat Tionghoa. Hingga akhir tahun 1960-an, gaya arsitektur
Tiongkok pun masih bisa dilihat pada rumah dan gedung-gedung yang ada
disini.

Sesuai dengan namanya, pada abad 17-18 di kawasan ini terdapat sebuah
pintu gerbang untuk keluar masuk ke dalam benteng kota Batavia.
Gerbang ini diberi nama Pintu Kecil karena hanya dapat dilalui oleh
orang dan kuda saja.

Sedangkan untuk akses keluar masuk yang lebih resmi, masyarakat menggunakan jalan yang berada di sebelah timur (sekarang dekat halte Busway Jakarta Kota. red
.) yang dinamakan Pintu Besar. Malam hari jalan ini ditutup oleh
pemerintah Belanda. Untuk jalan keluar masuk bagi umum lewat Pintu
Kecil. 

Jalan Toko Tiga waktu itu, orang Tionghoa menyebutnya Sha Keng Tho Kho.

Ketika terjadi kerusuhan Mei tahun 1998 silam, kawasan di sepanjang
ketiga jalan ini juga menjadi pusat perhatian massa, karena aksi
penjarahan dan pembakaran sempat terjadi di sini.

Keluar Masuk Kelenteng

Berwisata malam hari, khususnya saat Imlek memang memiliki daya
tarik tersendiri. Cahaya kembang api dan bunyi petasan yang bergantian
menyembul ke udara memacu semangat para peserta untuk melanjutkan
penelusuran.

Usai mendengarkan sebagian kisah yang tersembunyi di balik bangunan
di sepanjang Jalan Pintu Kecil, Pintu Besar dan Jalan Toko Tiga,
selanjutnya peserta diajak menuju beberapa kelenteng tua di Pecinan, di
antaranya kelenteng Toa Sai bio, gereja Katolik Santa Maria De Fatima
dan Vihara Dharma Bhakti atau kelenteng Jin De Yuan di Jalan Kemenangan III.

Kelenteng Toa Sai Bio



Kelenteng ini dibangun oleh orang Hokian dari Kabupaten Chang Tai,
Keresidenan Zhangzhou, Provinsi Fujian dan dipersembahkan kepada dewa
dari aliran Daoisme Cheng-goan Cin-kun. Yang menjadi daya tarik
kelenteng adalah sebuah tempat hio (hio louw) yang terletak di ruang utama kelenteng. Hio Louw dibuat sekitar tahun 1751 dan memiliki ukiran yang sangat indah

Gereja Katolik Santa Maria De Fatima


Gereja ini dulunya dihuni oleh seorang pejabat Tionghoa. Arsitektur bangunannya terbilang sangat unik, dengan bentuk atap ian-boe heng (ekor walet) dikawal sepasang shi shi
(singa batu). Sampai hari ini tidak banyak diketahui siapa pemiliknya
yang pertama, kecuali seorang bermarga Tjioe berpangkat Letnan.


Vihara Dharma Bhakti


Vihara Dharma Bhakti atau lebih dikenal dengan sebutan kelenteng
Kebajikan Emas dibangun pada tahun 1650, dan merupakan salah satu
kelenteng tertua di Jakarta. Jadi, tidak heran bila banyak warga
Tionghoa beramai-ramai datang untuk sembahyang, khususnya saat Imlek.

Kelenteng ini dibangun oleh Letnan Quo Xun Guan dan selesai pada
tahun 1669 oleh Kapten Guo Jun Guan dengan nama Guan Yin Ting. Pada
tahun 1755 nama Jin De Yuan diberikan oleh Kapten Huang Shi Lao.
Masyarakat sekitar juga menyebutnya Kim Tek I, sekarang diberi nama
Vihara Dharma Bhakti.

Pada tanggal 9-12 Oktober 1740 kelenteng ini pernah dirusak pada
peristiwa pembantaian terbesar etnis Tionghoa dalam sejarah kolonial
Belanda di Indonesia. Lebih 10.000 jiwa jadi korban . Barang yang
tersisa hanya sebuah meja sembahyang berangka tahun 1724. Inilah yang
kemudian dikenal sebagai tragedi Pembantaian Angke.

Usai melihat perayaan di lokasi ini, perjalanan wisata Jakarta
berakhir di daerah pemukiman warga Tionghoa di Jalan Petak Sembilan.

<iframe title=”YouTube video player” width=”480″ height=”390″ src=”http://www.youtube.com/embed/VxcUtXa5p-c” frameborder=”0″ allowfullscreen></iframe>

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36323

Untuk

melihat artikel Jalan-Jalan lainnya, Klik

disini

Mohon
beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :