KabariNews – Di Indonesia, nama Roostien Ilyas boleh jadi tak asing lagi. Dialah ibu pemerhati dan pekerja kemanusiaan, terutama yang menyangkut nasib anak-anak Indonesia dan perempuan yang terpinggirkan. “Saya ingin marah, karena sedih melihat potret anak-anak dan sebagian wanita yang terbelenggu masalah sosial, dari terjepit sebagai korban perdagangan manusia sampai masuk dalam kubangan pelacuran,” demikian perempuan berdarah Madura yang akrab disapa Bunda Roos itu kala membuka bincang-bincang dengan KABARI.

Roostien Ilyas berasal dari keluarga berpunya dan berpendidikan, tetapi perhatiannya kepada sesama yang kurang beruntung sungguhlah kuat. Empati itu ia serap kuat-kuat dari panutan yang diberikan oleh ibundanya yang memang seorang aktivis dan Ketua Partai Sosial Indonesia di Jawa Timur.

“Sejak kecil saya memang tidak bisa diam. Kebetulan ibu saya punya segudang aktivitas, termasuk kegiatan sosial sampai di bangku kuliah. Jadi, terbiasa terusik bila melihat sesuatu masalah di sekitar. Saya pribadi lebih tertarik mengurai masalah sosial daripada politik, karena rawan sosial tidak ditangani akan bisa berkembang menjadi rawan politik. Tidak ada manusia yang sudah sejahtera itu bergejolak atau berdemo. Saya menempuh penanganan masalah secara preventif edukatif. Mencegah bagaimana orang tidak menjadi pelacur, tidak menjadi preman, tidak menjadi koruptor dan sebagainya,” ujarnya.

Tepat pada 1990, Roostien mendirikan Yayasan Nanda Dian Nusantara yang peduli kepada nasib anak-anak di Indonesia. Diketahui, potret anak-anak di Tanah Air masih buram. Anak-anak selalu menjadi korban dari kejahatan orang dewasa, termasuk orang tuanya sendiri yang semestinya melindungi dan mengayomi.

Kita ikuti berapa bayi dan balita yang dibanting atau disiksa orang tua hingga tewas mengenaskan gara-gara si anak rewel dan menangis. Terakhir, Roostien berada di barisan terdepan menuntut keadilan dan pengungkapan fakta atas meninggalnya Angeline di luar perikemanusiaan. Potret anak-anak Indonesia masih sangat buram, kendati Indonesia sudah 70 tahun merdeka. Padahal masa depan suatu negara terletak di tangan anak-anak ini yang akan tumbuh dewasa dan memegang tongkat estafet kepemimpinan negara.

MULAI DARI KOLONG JEMBATAN

Menjadi nara sumber di salah satu acara televisi

Menjadi nara sumber di salah satu acara televisi

Yakin, bahwa menyiapkan masa depan dengan menyiapkan generasi penerus, yaitu anak-anak, Roostien prihatin melihat semakin banyak anak yang tak terurus. Tinggal di gubug-gubug di kolong jembatan. Mereka mengemis dan mengamen untuk menyambung hidup. Bagaimana bila anak-anak yang akan tumbuh besar dan berusia dewasa, tapi dililit kemiskinan tanpa bekal ilmu maupun keterampilan? Sangat rentan terhadap tindak kriminalitas, baik menjadi korban atau akhirnya tergiring menjadi pelaku.

“Awalnya pada 1990, saya mulai perjuangan kemanusiaan dengan mendatangi lokalisasi di Kramat Tunggak. Di sana ada 1.800 pelacur. Saya tidak mau menyebut mereka dengan gaya bahasa eufimisme, melembutkan sesuatu yang sejatinya buruk. Pelacur disebut sebagai pekerja seks komersial. Kalau mereka pekerja, berarti ada undang-undang yang mengatur dan tidak perlu digusur-gusur. Ada juga istilah wanita tuna susila (WTS). Apakah pengguna jasa mereka itu bersusila?” Roostien berkata, sambil melanjutkan.

“Pelacur adalah sebuah musibah. Tidak ada seorang pun yang mau jadi pelacur. Pelacur itu non gender, termasuk orang yang datang menemui pelacur itu. Eufimisme itu berbahaya sekali. Saya pernah bertemu seorang ibu yang mengantarkan putrinya ke tempat pelacuran. Saya tanya, ‘Kenapa Ibu mengantar anaknya ke sini? ‘Kan anak saya mau jadi tuna susila.’ Saya balik bertanya, ‘Tuna susila itu apa sih, Bu? Dia menjawab, ‘Tuna susila itu ‘kan kerja menjaga toko. Kembali, rakyat kecil lagi-lagi jadi korban ulah penguasa negara yang terbiasa bicara dengan eufimisme yang menyesatkan.”

Fakta yang dijumpai Roostien di lokalisasi itu pada 1990 sangat mencengangkan. Usia para pelacur itu rata-rata antara 13-16 tahun. Bila sudah masuk umur 17 tahun berarti sudah matang dan punya pelanggan, bahkan dianggap sudah tua jadi pelacur. Yang terparah adalah anak usia 14 tahun meladeni 20 orang dalam sehari. Miris sekali, bagaimana dengan kesehatan reproduksi mereka?. Di usia belia sekali sudah berganti-ganti pasangan. Inilah yang menambah kontribusi pada meningkatnya jumlah penderita meningkatnya penderita HIV/AIDS.

Dalam kondisi serupa itu, lokalisasi Kramat Tunggak dibubarkan demi citra Jakarta yang bersih dari pelacuran. Kata Roostien, seolah-olah mereka mau membohongi Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa di Jakarta tidak ada pelacuran. Nyatanya?

Para pelacur itu dilepas tanpa bekal mental maupun keterampilan. Akhirnya mereka menyebar tak terkontrol, meruyak masuk ke lingkungan pemukiman masyarakat. Aksi jemput bola dilakukan dengan memanfaatkan teknologi gadget, hingga terakhir muncul fenomena kos-kosan menjadi ‘tempat kerja’ mereka. Belum lama di Tebet, seorang pelacur ditemukan tewas dibunuh oleh pelanggannya. Dari situlah terkuak jelas banyaknya tempat kos yang dialihfungsikan menjadi ‘lokalisasi’ mini.

Diakui Roostien, di Jakarta, Indonesia banyak sekali kasus pelacuran dan sekarang sedang ditangani oleh Kementerian Sosial yang merasa sakit dan sedih dengan kenyataan ini. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pun meminta Roostien dan para pemerhati dan pekerja kemanusiaan untuk membentuk Pokja demi mengatasai fenomena yang mengerikan sekali ini.

Membagikan beras kepada warga di kolong jembatan Jelambar, Petak Seng, Jakarta Barat

Membagikan beras kepada warga di kolong jembatan Jelambar, Petak Seng, Jakarta Barat

Masalah sosial ini pelik dan kusut. Roostien pun berpikir menangani masalah sosial ini dengan cara prefentatif edukatif. Artinya, menyiapkan anak-anak agar kuat, tangguh, berilmu dan tahu melakukan tindakan yang benar secara hukum negara dan hukum agama.

“Saya misalnya merangkul anak-anak yang tinggal di gubug di kolong jembatan Jelambar, Jakarta Barat. Menyapa mereka, mengenalkan adab kebersihan, menyapa dengan hati hingga memberi mereka pendidikan dasar yang mencerahkan,” ujar perempuan paruh baya yang enerjik dan aktif mendampingi anak-anak korban bencana, anak-anak korban konflik, dan anak-anak korban pencabulan dan pemerkosaan.

Tidak mudah, jelas Roostien, mengajak anak-anak jalanan untuk tertib dan diam di tempat, belajar. Mereka terbiasa bekerja di jalan, ngamen sepanjang hari, tanpa batas waktu. Jelas tidak mau ke sekolah formal. Akhirnya, ia membangun sekolah non formal di mana anak-anak itu tetap bisa cari uang di jalan seperti biasa, hanya dijeda dengan kegiatan belajar yang dilakukan oleh para relawan.

“Dalam hidup, tidak ada kebetulan. Di kolong jembatan puluhan anak dan bayi miskin yang butuh susu formula, minyak kayu putih/ telon, kaus kaki, mantel, selimut sampai air mineral dan lauk-lauk kering. Di sisi lain, syukur kepada Tuhan, ada pihak yang punya hati dan empati untuk membantu meringankan beban hidup mereka. Seperti suatu ketika, siswa-siswa dari SD Global Mandiri Cibubur yang khusus datang menyambangi keluarga miskin ini, bertamu, sambil membagikan mainan/buku/mantel yang paling mereka suka. Juga 38 Finalis Puteri Indonesia 2015 yang menyambangi,” ujar Roos, dengan mata berkaca-kaca.

Roostien menekankan pentingnya menanamkan budaya membaca yang akan membuka wawasan dan mencerahkan pemikiran anak-anak itu. Ia pun membuka taman bacaan secara luas yang menjangkau anak-anak di wilayah tak terjamah hingga jauh ke pedesaan.

“Kami terdukung sekali oleh PT Tiga Raksa dan Gramedia. Maaf saya menyebut para donatur, karena berkat mereka anak-anak miskin ini bisa mendapatkan buku-buku yang mendidik. Menurut saya, kita bisa memberi anak-anak itu baju atau sepatu bekas pakai yang masih layak. Tetapi kalau buku, mereka harus dapat buku yang masih baru, buku berwarna sesuai dengan psikologis anak. Anak-anak itu hanya punya otak, kepinteran. Jadi, tidak bisa asal memberi buku,” jelas Roos, yang kini dapat tersenyum anak-anak itu tumbuh sehat dan pintar.

LINDUNGI ANAK DARI KEJAHATAN SEKSUAL

Kegiatan di bunderan HI bersama Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa

Kegiatan di bunderan HI bersama Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa

Terkait kasus terkuaknya kejahatan seksual yang dilakukan oleh pekerja internal di lingkup Jakarta International School (JIS) terhadap sejumlah siswa di sana. Prihatin dan geram akan kondisi itu, Roostien pun tidak tinggal diam. Selaras dengan pendekatan preventif edukatif yang diyakininya, ia bergerak menyambangi kantung-kantung warga miskin untuk memberi penerangan dan pembelajaran.

Juga di lingkup publik ia menyuarakan tentang pentingnya orang tua mengajarkan kepada anak-anak bahwa penis dan vagina adalah bagian dari tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Demikian ungkapnya dalam sebuah diskusi yang digelar oleh KPAI dengan tema Selamatkan Anak Bangsa.

“Sudah saatnya masyarakat Indonesia mengubah pola pikir yang menganggap pelajaran seksual atau pengenalan organ vital kepada anak merupakan hal yang tabu. Harus diakui, masih banyaknya orang tua yang berpikir demikian. Alhasil, makin banyak kita dengar kasus pelecehan seksual yang dialami anak, dan dilakukan oleh orang-orang di lingkungan dan keluarga sendiri. Orang tua mesti peka terhadap hal-hal kecil dalam menjaga dan mendidik anak. Jangan biarkan terulang, jatuhnya 173 anak korban pelecehan seksual oleh pelaku pedopilia,” tandas Roostien.

Anak, tegas Roostien lagi, masa depan bangsa. Jadi, merupakan tanggung jawab Negara atas perlindungan anak dari kejahatan pencabulan. Kasus menjadi semakin berat tatkala singgah di tataran masyarakat bawah. Roostien pernah hampir pingsan tatkala salah satu anak binaannya yang belajar dengannya mengatakan, bahwa nanti malam giliran dia ‘mengurusi’ Bapak. Roostien yang jeli dan peka, langsung bertanya, “Ngurus apa?”

Dengan tersipu-sipu, anak itu menjawab, “Gituan…”, yang dimaksud adalah melayani hubungan intim. Tidak hanya dia yang menjadi budak seksual sang ayah, tetapi tiga saudara perempuannya dan si ibu. Dengan hati yang sakit, Roostien menemui si ibu keesokan harinya.

“Bu, jangan kaget ya. Suami Ibu mencabuli anak-anak,” kata Roostien. Bukannya kaget, dengan ringan, ia malah menjawab, “Iya, Ibu tahu. Gak apa-apa Neng, daripada jajan di luar, kan harus bayar.” Alamak! Terlihat, betapa banyak keluarga tidak bisa melindungi anak-anak mereka dari kasus pencabulan, kejahatan seksual maupun perkosaan. Kebanyakan para pelaku pencabulan sebagian besar adalah dari lingkungan keluarga terdekat.

DIBUTUHKAN PANUTAN

Siaran di Radio Sonora bicara tentang anak yang cinta dengan Indonesia

Siaran di Radio Sonora bicara tentang anak yang cinta dengan Indonesia

Roostien juga melihat anak penting sekali memiliki panutan yang dapat menjadi role model baginya. Tokoh terdekat pada anak adalah kehadiran ibu yang memang layak jadi panutan. Untuk itu, perempuan harus mandiri, tetapi tetap dengan kodratnya. Bertanggung jawab, karena setiap langkah yang diambil merupakan kuitansi yang harus dibayar, serta menjadi diri sendiri.

Dalam tataran yang lebih luas, kita memiliki banyak figur-figur kesohor di Indonesia. Sepatutnya mereka tampil sebagai panutan, idola yang anak-anak bisa berbangga. Untuk itu, penting masyarakat, dan keluarga dalam tataran yang kecil terus membiasakan membaca sebagai bagian hakiki dalam hidup ini. Bila terbiasa membaca, dan membaca sebagai kebutuhan, maka dalam menjalani hidup ini, ia akan terbiasa membaca berbagai gejala yang muncul di lingkungan. Terasah membaca situasi politik, membaca situasi sosial, membaca tanda-tanda zaman, dan membaca pergolakan alam. Dengan gemar membaca, maka Indonesia bisa menjadi bangsa yang diselamatkan, kata Roostien.

Begitulah kiprah perjuangan kemanusiaan seorang Roostien Ilyas. Bermula dari mendirikan pusat pendidikan di Pasar Induk Kramat Jati dengan membuat Taman Belajar bagi anak-anak pasar setempat yang tidak bersekolah. Mereka penjual jasa seperti kuli panggul, ojek payung, dan diajarkan keterampilan montir, perkayuan dan potong rambut. Mereka juga diajarkan cara mengatur uang, mengejar konsumen, belajar sopan santun, etika dan keramahan.

Dari situ kiprahnya terus menasional. Saat kejadian Timor Timur, anak-anak tak terperhatikan. Dibangunlah Rumah Ceria yang menjadi hak paten seorang Roostien Ilyas. Di situ diisi dengan kertas dan gambar warna-warni, balon-balon, bunga yang semarak, sehingga anak yang masuk ke rumah itu menjadi gembira, mencairkan luka dan dendam batin mereka. Intinya, memberi trauma healing. Rumah Ceria ini terus didirikan di tempat bencana alam dan daerah terjadinya konflik.

“Panutan itu memang penting sekali. Dan apa yang saya lakukan adalah terpulang dari latar belakang saya. Ibu telah memberi saya inspirasi untuk berbuat bagi sesama. Selain itu, Ibu Yohana Sunarti Abdul Harris Nasution, yang telah mengajar dan mendorong saya membuat Yayasan Nanda Dian Nusantara dan berkiprah sampai kini. Saya akan terus merangkul dan membela anak-anak Indonesia, dan kaum perempuan yang termajinalkan sampai kapanpun,” tandas Roostien. (1003)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/78354

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Hosana

 

 

 

 

Kabaristore150x100-2