Kampung Laweyan adalah sentra
batik yang terkenal di Kota Solo. Mayoritas penduduk di kampung ini
bekerja sebagai pengrajin batik. Batik-batik itu dipajang langsung di
depan rumah mereka yang disulap menjadi ruang pamer atau butik. Ada
yang terlihat mewah ada pula yang sederhana. Tapi nuansa kuno tetap
dipertahankan.

Kampung Laweyan sebelah utara kebanyakan
membentuk “jalan mati”, di mana jalan ini terkesan sepi karena berada
di antara tembok-tembok rumah yang saling membelakangi. Sedangkan di
daerah selatan dekat Kali Kabangan, rumahnya cenderung terbuka dan
membentuk “jalan hidup” di mana pintu-pintu bagian depan rumah saling
berhadap-hadapan sehingga memungkinkan interaksi.

Berjalan
di kampung Laweyan seperti menyusuri masa lalu. Tembok bangunan dan
gang-gang sempit dipercaya masih seperti dulu. Belum banyak berubah.
Bahkan di kawasan utama kampung Laweyan dimana banyak terdapat rumah
butik, suasananya sedikit mirip seperti nuansa KotaGede di Yogyakarta
atau kawasan di belakang museum Fatahillah, Jakarta. Begitu tua dan
anggun.

Cerita Batik dan Mbok Mase

Kampung
Laweyan sudah ada sejak 1500 sebelum masehi. Dan sejak kerajaan Pajang,
Laweyan yang berasal dari kata Lawe (bahan sandang) telah menjadi pusat
perdagangan bahan sandang seperti kapas dan aneka kain. Laweyan semakin
pesat ketika Kyai Ageng Anis (keturunan Brawijaya V) dan cucunya yaitu
Raden Ngabehi Lor Ing Pasar yang kelak menjadi raja pertama Mataram
bermukim di Laweyan tahun 1546 M. Kyai Ageng Anislah yang kemudian
mengajarkan cara membuat batik kepada masyarakat Laweyan.

Lama
kelamaan Laweyan berkembang menjadi pusat industri batik sejak jaman
kerajaan Mataram. Dulu para saudagar batik yang tinggal di Laweyan
membangun rumah besar-besar dengan tembok menjulang. Konon para juragan
batik juga membangun lorong atau jalan rahasia di dalam rumah mereka
menuju rumah juragan batik lainnya di Laweyan. Kabarnya ketika itu
mereka bersikap oposan alias berseberangan dengan pihak keraton.
Sehingga lewat jalan-jalan rahasia mereka bisa leluasa melakukan
pertemuan-pertemuan dengan sesama saudagar batik untuk membahas kondisi
sosial politik saat itu.

Ada satu cerita menarik menjelang
runtuhnya Keraton Kartasura Hadiningrat pada periode 1740-1750. Kala
itu laskar etnis Tionghoa mengobrak-abrik keraton karena marah akan
inkonsistensi Pakubowono II dalam melawan Belanda. Pakubowono II
melarikan diri ke sebuah goa di tepi Sungai Laweyan, Solo. Beliau
meminta bantuan pinjaman puluhan kuda dari para saudagar batik Laweyan.
Tetapi, permintaan itu ditolak mentah-mentah. Kenapa?

Menurut
peneliti sejarah dari Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret
Surakarta Soedarmono, meski patriakis sebenarnya penguasa kampung
Laweyan adalah kaum perempuan atau yang disebut Mbok Mase. Kelompok
Mbok Mase ini anti gaya hidup priyayi yang suka foya-foya, gila hormat
dan juga berpoligami.

Gaya hidup keluarga Mbok Mase
bertolak belakang dengan kehidupan priyayi ketika itu. Jika kaum
priyayi mendapatkan kehidupan enak karena garis keturunan, Mbok Mase
sebaliknya. Mereka terbiasa keras sejak kecil untuk mendapatkan hasil.
Sehingga Mbok Mase amat menghargai uang. Tapi yang unik, untuk
menyaingi kaum priyayi yang mereka benci itu, para Mbok Mase juga
membangun rumah-rumah besar mirip keraton.

Dalam tesis
yang ditulisnya, Soedarmono menyebutkan Mbok Mase adalah pemegang kuasa
atas jalannya perdagangan batik Laweyan. Mengapa demikian? Karena
pekerjaan membatik butuh ketelitian dan kesabaran tinggi, dan hanya
kaum perempuan yang dianggap mampu melakukannya. Sang suami hanya
memegang peranan 25 persen dengan sebutan Mas Nganten. Seorang Mas
Nganten boleh melakukan apa saja yang diinginkannya asal tidak
poligami, foya-foya, dan tidak menyakiti hati Mbok Mase.

Secara
psikologis boleh dibilang usaha batik menjadi cara bagi Mbok Mase agar
terhindar dari penindasan kaum lelaki. Dengan menguasai usaha batik,
Mbok Mase memiliki bargaining kuat ketika berhadapan dengan lelaki.

Laweyan Redup

Pada
awal abad ke 20, industri batik tulis bergeser menjadi batik cap.
Pergeseran ini membuat banyak tenaga kerja lelaki masuk ke industri ini
sebagai tukang cap.
Laporan De Kat Angelino tahun 1930
menunjukkan, sebuah perusahaan batik besar di Laweyan bisa memproduksi
60.400 potong batik per tahun. Dan dalam satu tahun, penghasilan bersih
juragan batik Laweyan bisa mencapai 60.400 gulden!

Hingga
tahun 70-an, masih banyak Mbok Mase-Mbok Mase di Laweyan. Perdagangan
batik ketika juga masih semarak. Tapi keadaan berubah begitu masuk
dekade 70-an dimana rezim Soeharto menggalakkan industri batik printing
yang biayanya jauh lebih murah dan efisien. Sontak batik Laweyan redup
pamornya. Banyak pabrik batik tutup. Satu persatu Mbok Mase-Mbok Mase
pun tumbang menyisakan saksi kejayaan berupa rumah-rumah besar
bertembok menjulang. Keturunan keluarga Laweyan yang sampai sekarang
masih bertahan adalah Danar Hadi dengan nama produk batiknya yang juga
bermerk “Danar Hadi”.

Lebih dari 30 tahun Batik Laweyan
bagai hidup segan mati tak mau. Lalu pada tahun 2004 pemuda bernama
Alpha Febela Priyatmono yang menikah dengan seorang wanita dari
keturunan pembatik Laweyan, menulis sebuah tesis untuk program S-2
Arsitektur UGM tentang kampung Laweyan. Usai
menulis tesis, Alpha semakin jatuh cinta dengan kampung Laweyan. Ia
lalu berupaya menghidupkan kembali gairah kampung Laweyan seperti jaman
kejayaannya dulu. Bersama warga Laweyan Alpha membentuk lembaga
kepeloporan bernama Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL)
pada September 2004.

Usahanya ternyata disambut baik,
ekonomi di kampung batik Laweyan mulai bergeliat kembali. Kini jumlah
pengusaha batik Laweyan meningkat pesat menjadi 56 pengusaha padahal
pada tahun 2004 jumlahnya hanya 22 pengusaha.

Selain sisi ekonomi, Laweyan juga tengah berbenah menjadi kawasan heritage dan menjadi daerah wisata andalan kota Solo.(yayat)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?32976

Untuk melihat Berita Indonesia / Nusantara lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

________________________________________________________

Supported by :

April Insurance Agency