imagesKoalisi Frekuensi Milik Publik mencatat ada tiga partai politik yang dengan masif dan sewenang-wenang telah mengeksploitasi stasiun televisi untuk kepentingan kelompoknya semata. Padahal untuk bisa bersiaran, stasiun televisi menggunakan frekuensi milik publik yang diamanatkan UU Penyiaran agar dapat digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, bukan segelintir konglomerat atau partai politik.

Tapi pada kenyataannya, hal itu dilanggar justru oleh beberapa partai politik, yakni institusi yang seharusnya memahami hak publik atas frekuensi dan peran media massa sebagai pilar keempat demokrasi. Dalam siaran persnya (7/4), Partai politik tersebut malah menunggangi stasiun TV dan mengabaikan hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar. Karena itu kami menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk tidak memilih calon legislatif dari Partai Golkar, Partai NasDem, dan Partai Hanura dalam Pemilu Legislatif 2014.

Ketiga partai ini adalah yang petingginya memiliki stasiun televisi. Metro TV dimiliki oleh Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem. RCTI, MNC TV, dan Global TV dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo, yang adalah calon wakil presiden sekaligus Ketua Badan Pemenangan Pemilu dari Partai Hanura. Sedangkan TV One dan ANTV adalah stasiun televisi yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie, Ketua Umum dan calon presiden dari Partai Golkar. Sehingga, informasi dari keenam stasiun TV propaganda ini bias kepentingan politik yang menyebabkan isinya cenderung bersifat memihak, tidak akurat, dan cemar.

Melalui frekuensi publik, ketiga partai politik dan tokoh-tokohnya tersebut mendapatkan keuntungan yang tidak bisa dimiliki oleh partai politik lainnya—padahal tiap partai politik harus mendapatkan kesempatan yang sama dan setara. Lewat program non-berita, iklan, dan program berita, kemunculan mereka memperlihatkan arogansi dan kecurangan dalam memburu kekuasaan. Produk jurnalistik dipaksa untuk bersikap partisan dan menghamba pada partai politik, bukan kepada publik. Kritik yang dialamatkan kepada tokoh dari partai politik lain dilakukan terutama bukan untuk kepentingan publik, tapi semata-mata demi menggebuk musuh politik. Bahkan, penggalangan dana bencana yang dilakukan stasiun TV, yang berasal dari dana pemirsa, juga diselewengkan untuk kepentingan kampanye politik.

Pesta demokrasi harus menjadi kemenangan bagi rakyat, pertama-tama dengan tidak memberikan tempat bagi mereka yang telah berlaku tidak adil dan lalim. Masa menjelang Pemilu harus dijadikan ujian bagi mereka yang sedang membujuk dukungan rakyat. Dan mereka yang gagal dalam ujian adalah mereka yang telah merampok frekuensi milik publik untuk memenuhi ketamakan diri dan kelompoknya.

Koalisi Frekuensi Milik Publik, terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jak), Center for Inovation Policy and Governance (CIPG),Gambar Bergerak, ICT Watch, Joglo TV (TV Komunitas), KontraS, LBH Jakarta, LISAN (Lingkar Studi Anak Nusantara), Lentera Anak Indonesia, Masyarakat Peduli Media, MataMassa Melek Massa, Pamflet, Paralegal Pemilu, Remotivi, Rumahpemilu.org, Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, dan SeJuK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman). (1009)

Untuk share artikel ini klik www.kabariNews.com/?62852

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

jason_yau_lie

 

 

 

 

Kabaristore150x100-3