KabariNews – Antrian yang lumayan panjang di depan Graha Bhakti Budaya, TIM  pada Senin, (10/11) tidak menyurutkan niat Ari untuk menonton film dokumenter kedua besutan sutradara asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer.  “Gak apa-apa deh yang penting bisa nonton film ini, gratis lagi” katanya dia.

Ari kala itu tidak sendiri, melainkan bersama teman-teman satu universitas datang untuk menonton film yang berhasil memperoleh berbagai penghargaan bergengsi di luar negeri. “Penasasaran sih seperti apa film keduanya ini jadi saya ajak saja temen-temen ikut nonton” tuturnya kepada kabarinews.    Ari ini cukup beruntung kebagian nonton film The Look of Silence pada putaran pertama pada pukul 4 sore, lantaran mereka yang tidak kebagian nonton di putaran pertama harus rela menunggu kurang lebih dua jam lamanya di putaran selanjutnya.

Film The Look of Silence atau Senyap seperti film Jagal/The Act of Killing, adalah film dokumenter mengenai pembantaian massal 1965 di Sumatera Utara. Berbeda dengan film Jagal yang mengambil perspektif para pelaku pembantaian tersebut, film Senyap mengambil perspektif penyintas dan keluarga korban. Film ini bercerita mengenai keluarga Adi Rukun yang mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana kakaknya dibunuh dan siapa yang membunuhnya. Sebagai adik bungsu, Adi bertekad untuk memecah belenggu kesenyapan dan ketakutan yang menyelimuti kehidupan para korban, dan kemudian mendatangi mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan kakaknya.

Sementara itu Joshua Oppenheimer seperti dikutip dari filmsenyap.com, mengatakan film Senyap menjelajahi apa yang dirasakan oleh penyintas dalam realitas seperti itu. Membuat film mengenai genosida bagaikan berjalan di tengah medan ranjau penuh dengan pernyataan klise yang sebagian besarnya ditujukan untuk menciptakan protagonis heroik (kalau bukan tokoh suci), dan oleh karena itu menawarkan sebuah penghiburan bahwa, di dalam bencana moral akibat kekejian, kita semua tidaklah mirip dengan para pelaku kekejian itu.

Tapi menampilkan para penyintas sesuci mungkin dalam rangka meyakinkan diri kita sendiri bahwa kita adalah orang baik akan terlihat seperti memanfaatkan para penyintas untuk menipu diri kita sendiri. Hal seperti ini merendahkan pengalaman para penyintas, dan tidak menolong kita dalam memahami apa artinya menyintas dari sebuah kekejian, dan apa artinya menjalani hidup yang dihancurkan oleh kekerasan massal, dan dibungkam oleh teror. Pengetahuan navigasi yang diperlukan untuk menempuh medan ranjau klise tadi hanya bisa didapatkan dari menjelajahi kesenyapan itu sendiri.

“Sebagai hasilnya, film Senyap, saya harap, menjadi sebuah puisi tentang kesenyapan yang lahir dari teror—sebuah puisi tentang pentingnya memecah kesenyapan itu, tetapi juga tentang trauma yang datang ketika kesenyapan itu dipecahkan. Mungkin film ini adalah sebuah monumen bagi kesenyapan—sebuah pengingat bahwa, walaupun kita ingin meneruskan hidup, memalingkan pandangan, dan memikirkan hal-hal lain, tak ada yang bisa mengembalikan keutuhan apa yang telah dirusak” katanya. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?72501

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________

Supported by :

intero