LYF_MSFIMG_7601_Husni checks Abubakar comaHusni Mubarak Zainal bisa dibilang dokter yang lain daripada yang lainnya. Walaupun asli dan besar di Indonesia tetapi dokter muda ini melalang buana demi pengabdiannya sebagai dokter sampai ke pedalaman negeri Afrika  bersama organisasi kemanusiaan medis internasional bernama  Médecins Sans Frontières atau Doctors Without Borders. Sebut saja negara-negara seperti Malawi, Sierra Leone dan wilayah Afrika lainnya pernah didatanginya. Harry Prasetyo dari   kabarinews.com kali ini berkesempatan  melakukan wawancara dengan Husni Mubarak Zainal mengenai serpak terjangnya sebagai dokter muda di negeri Afrika, berikut petikannya.

Kabari: Bisa diceritakan bagaimana awalnya Anda dapat mengabdi sesuai profesi Anda sebagai dokter di negara Afrika?

Saya bekerja di negara-negara Afrika sejak bergabung dengan organisasi kemanusiaan medis Doctors Without Borders/Dokter Lintas Batas (MSF) yang menyediakan layanan medis di negara-negara yang mengalami krisis kemanusiaan, khususnya di benua Afrika. Pertama kali saya mendengar tentang MSF adalah saat bencana tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004. Waktu itu, saya terkesan dengan cara kerja MSF yang bisa cepat menyediakan layanan medis di situasi darurat bencana. MSF masih memiliki beberapa program di Indonesia saat itu, sehingga tidak sampai 48 jam, MSF sudah tiba di Banda Aceh dan mulai mendirikan layanan medis termasuk pembedahan, selain juga membagikan makanan serta mendirikan fasilitas air dan sanitasi. Saat itu saya masih mahasiswa, tapi saya menyimpan cita-cita untuk bekerja sebagai dokter di situasi kemanusiaan yang sangat membutuhkan seperti di lokasi bencana atau daerah yang terkena dampak konflik. Saya lalu mengirim lamaran kerja ke MSF tahun 2011 saat masih bekerja sebagai dokter PTT di Buton Utara, Indonesia. Hingga kini, saya sudah bekerja di empat penugasan,  Malawi, Sudan Selatan, Sierra Leone, dan sebentar lagi Pakistan.

Kabari: Jika dilihat dari usia dokter tergolong muda, apakah ini merupakan tantangan tersendiri bagi Anda dengan berkunjung ke negara-negara Afrika dan memberikan pelayannannya kesana?

Tentang usia, sampai sekarang belum pernah menjadi kendala. Bekerja dengan MSF berarti harus siap ditempatkan di daerah-daerah terpencil di sudut dunia karena MSF memilih bekerja di daerah yang sangat membutuhkan dan belum mendapat bantuan yang cukup (bahkan nama negaranya mungkin tidak pernah saya sadari ada di peta), saya juga harus siap bekerja dengan rekan-kerja dari berbagai negara, dengan range usia dan pengalaman yang berbeda pula. Di Sierra Leone kemarin, saya ditugaskan di bangsal anak bersama dua dokter anak yang senior, yang seorang dari Tiongkok dan yang satu lagi dari Norwegia. Meski saya dokter termuda dalam tim, saya bertugas sebagai team leader yang bertugas mengatur jadwal kerja para dokter, menyusun protokol kesehatan bersama-sama,  mengadakan pelatihan medis bagi tenaga medis di rumah sakit, mengatur rujukan pasien ke RS lainnya. Usia hanya salah satu faktor. Hal yang lebih penting adalah ketekunan untuk selalu belajar dan juga punya pengalaman berorganisasi – dua hal ini yang saya tempa sejak masih kuliah. Dalam menangani kondisi medis pasien, tentunya saya selalu belajar dari rekan-rekan dokter yang lebih senior di MSF dan tak pernah berhenti belajar dari buku-buku teks medis. MSF juga mengadakan pelatihan untuk terus meningkatkan kemampuan para staf medisnya, misalnya baru-baru ini saya mengikuti pelatihan manajemen pelayanan medis.

IMG_0342Kabari: Tentu ini merupakan perjalanan tersendiri bagi hidup Anda. Tepatnya di kota-kota mana saja di Afrika  yang Anda kunjungi? Lantas apa yang yang Anda temukan disana dan apa yang dikerjakan Anda? misalnya tingkat kemiskinan, atau kesehatannya seperti apa bisa dijelaskan? Bagaimana dengan penyakit HIV / AIDS sendiri di sana?

Tempat penugasan pertama saya adalah Malawi, di sana HIV/AIDS adalah penyebab kematian utama anak muda. MSF membantu Kementerian Kesehatan untuk mendesentralisasi layanan bagi pasien-pasien HIV dan TBC di desa-desa supaya para pasien yang miskin di desa-desa bisa ikut tes HIV dan mendapat pengobatan di desa mereka sendiri, tanpa harus pergi jauh dan meninggalkan pekerjaan mereka di desa. Lokasi tugas saya adalah puskesmas Thekerani, di perbatasan Mozambique. Staf medis di Malawi terbatas dan beban kerjanya cukup tinggi. Tak jarang, kita harus melakukan tugas-tugas dari A sampai Z, mulai dari: pendaftaran pasien, tes laboratorium sederhana, mencarikan obat, hingga mengganti sprei tempat tidur pasien. Tak sedikit pasien di Malawi yang datang dari daerah-daerah yang jauh, mereka jalan kaki berjam-jam, bahkan ada yang jalan kaki beberapa hari untuk mencapai klinik kami.

Kalau di Sudan Selatan, situasinya berbeda karena lokasi kerja saya adalah kamp pengungsi. Sampai sekarang, kondisi di Sudan Selatan masih sangat memprihatinkan. Sudan Selatan adalah negara termuda di dunia yang terbebas dari Sudan (Utara) pada tahun 2011.  Di Sudan Selatan, lokasi kerja saya adalah kamp pengungsian Doro di negara bagian Maban. Wilayah kerja saya tandus dan gersang, dijejali barisan tenda-tenda pengungsi. Jadi, benar-benar seperti perkampungan besar in the middle of nowhere. Setiap hari, klinik kami di Doro hampir selalu kewalahan karena jumlah pasien melebihi kapasitas klinik. Sebagian besar pengungsi tiba dalam keadaan sangat lemah dan dehidrasi setelah berjalan kaki berhari-hari. Anak-anak yang kurang gizi, lemah, dan lesu selalu mengisi ruangan klinik. Kami sempat menghadapi wabah Hepatitis E akibat kondisi sanitasi di kamp sangat buruk.

Kabari: Selain di kota tersebut dimana lagi Anda ditempatkan?

Penempatan ketiga saya di Sierra Leone, negara yang pernah hancur karena perang saudara selama satu dekade. Sampai sekarang, Sierra Leone masih menempati peringkat bawah dalam hal pembangunan manusia, hal ini bisa dilihat dari angka kematian ibu dan anak yang sangat tinggi. Satu dari tiga anak di sana meninggal sebelum berusia lima tahun. Pemerintah sudah menggratiskan layanan kesehatan untuk ibu dan balita, namun masih banyak kekurangan: misalnya, ada fasilitas kesehatan di sebuah desa namun tenaga medis dan persedian obat-obatannya tidak ada. Saya sering dengar cerita dari ortu pasien yang ke klinik, tetapi dokternya tidak ada atau obatnya habis sehingga harus beli sendiri di luar. Di Sierra Leone, MSF mengelola sebuah rumah sakit (RS) rujukan untuk ibu hamil dan anak-anak dengan penyakit kritis di desa Gondama, distrik Bo.

Saya bertugas di bangsal anak RS tersebut bersama ’clinical health officers’ dan perawat setempat serta rekan dokter anak dari Tiongkok, Kenya, Norwegia. Karena RS kami adalah RS rujukan, anak-anak yang dibawa ke RS MSF umumnya adalah pasien yang sudah dirawat di klinik atau RS lain namun kondisinya tidak membaik. Jadi, kondisi pasien banyak yang sudah sangat lemah ketika tiba. Ada juga pasien yang datang tanpa membawa catatan medis, atau sudah diberi obat herbal yang sayangnya justru memperparah kondisi mereka.  Sierra Leone sendiri adalah daerah endemis malaria, terkadang orangtua menyepelekan penyakit itu dan membawa anak-anak ke RS baru ketika keadaannya sudah parah, misalnya saat anak sudah terkena malaria otak atau cerebral malaria, yaitu saat malaria menginfeksi otak hingga anak dapat jatuh koma.

IMG_2080 (1)Kabari: Bagaimana dengan perasaan Anda sendiri  melihat suatu tempat yang jauh dari tempat kelahiran Anda dan menemukan suatu kondisi yang mungkin tidak mengenakkan? apakah itu sudah resiko tersendiri yang memang harus dijalankan oleh dokter?

Perasaan saya? Tentu sebagai dokter saya sedih melihat pasien yang kondisinya tidak membaik, padahal semua hasil diagnosis sudah kami tindak lanjuti, obat yang ada kami berikan. Di awal penugasan saya dengan MSF, saya sempat sangat khawatir tidak bisa menolong para pasien. Untungnya saya tidak sendiri, dan spesialis MSF di kantor pusat bisa dikontak sewaktu-waktu. Apabila saya menemukan kondisi pasien yang tidak pernah saya temui sebelumnya, saya tidak segan membuka buku, belajar lagi, bertanya kepada senior dan spesialis MSF. Hal yang terpenting adalah sebagai dokter kita sudah berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Bahkan ketika kondisi pasien tampak seolah tak mungkin diselamatkan, kita harus memberikan setiap detail perawatan yang mampu kami berikan di RS MSF.

Kabari: Tentu sebagai dokter pasti akan merasa senang jika  melihat pasiennya sembuh bagaimana dengan Anda sendiri? Selain menjalani profesi sebagai dokter apa saja yang Anda lakukan untuk menghabiskan waktu disana?

Ya, tentu saya sangat gembira kalau keahlian yang saya miliki bisa membawa kebaikan bagi hidup seseorang. Untuk menghabiskan waktu, tergantung saya sedang ditugaskan di mana. Di Sierra Leone kemarin, cukup kondusif karena saya tinggal di Bo, sebuah kota kecil. Jadi, saya bisa membeli bahan-bahan mentah di pasar, dan memasak. Saya dan kolega MSF yang lain suka menonton Jamie Oliver’s 15 minute recipes, dan sering ingin mempraktikkannya. Sayangnya, di tempat tinggal kami tidak ada banyak pilihan sayur selain daun singkong dan papaya hahaha. Beberapa kali kami juga menyempatkan berkunjung ke obyek-obyek wisata seperti pantai, dan lainnya. Kalau sehari-hari, di waktu luang saya membaca buku, menulis atau berolahraga.(1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?67450

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan