Buku Harta Amanah RI karya ANS

Buku Harta Amanah RI karya Safari ANS

Banyak orang Indonesia yang berbicara tentang Harta Amanah Sukarno, yang paham tentang ini, percaya  dengan ini hanya saja tidak pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi. Bisa dikatakan buku yang berjudul Harta Amanah Sukarno merupakan buku pertama yang membahas tema ini dari sudut pandang akademis. “Harta amanah ini tidak melulu soal klenik karena hal itu bisa dibuktikan secara ilmiah berdasarkan dokumen-dokumen dan wawancara dengan berbagai narasumber yang relevan, sebab ini untuk menghindari klenik seperti yang kita ketahui berbicara soal harta amanah Sukarno ini tidak bisa dilepaskan dari klenik” kata Safari ANS, sang penulis buku tersebut kepada kabarinews.com beberapa waktu yang lalu.

Ketertarikan Safari untuk mengulik lebih dalam Harta Amanah Sukarno  ini bermula ketika  dirinya menjadi reporter di majalah Warta Ekonomi dan tertarik untuk mengambil liputan soal ‘Harta Amanah Sukarno’ pada dekade 1980-an silam. “Yang terpikir oleh saya apa iya dalam masa akhir  Sukarno menjadi presiden yang kala itu hidupnya bisa dikatakan susah mempunyai kekayaan yang melimpah, itu yang banyak orang menilainya” kata dia. Namun, di satu sisi Safari menilai apakah dibalik  kesederhaannya malah terdapat aset yang melimpah di luar negeri. Namun sayang saat itu, walau dia sudah banyak melakukan wawancara  belum juga menemukan penjelasan yang masuk akal baginya.

Hingga suatu hari Safari menjadi pembawa acara niaga publik di salah satu televisi swasta di tahun 1990-an, dalam suatu kesempatan dia wawancara  Dirut Aneka Tambang saat itu. Nah, besoknya ada seorang Taiwan menelponnya dan minta ingin bertemu. Katanya, seperti yang ditirukan oleh Safari, Ingin membeli emas dalam jumlah yang besar, tetapi dugaan yang didapatkan dari anak buahnya mereka ingin memindahkan asetnya sebelum Taiwan diambil alih oleh China waktu itu. Berapa banyaknya? Safari mengatakan sebanyak 6000 ton.  “Jelas saja untuk emas sebanyak itu tidak punya, lantas tiba-tiba ada yang bilang di Jawa ada banyak emas”jelasnya. “Kami ke Yogyakarta, dan benar beberapa orang datang membawa emas dengan logo padi dan kapas, ada juga gambar Sukarno dan asli semuanya”imbuhnya. Safari pun berkesimpulan emas itu ada akan tetapi tidak bisa diperjualbelikan, ditambah lagi adanya nama Bank of Swiss dan yang lain-lainnya, sepertinya menurut Safari hal ini ada kaitannya dengan dunia luar.

Tahun 1990-an, Safari  mulai mencari hingga tahun 2000-an lantaran tidak tahan melihat dinamika salah satunya dokumen yang seliweran soal harta tersebut, dia memutuskan berkelana ke berbagai negara untuk melakukan riset dan wawancara dengan beberapa tokoh. “Memang ada sejarah panjang disitu, dan populer dengan istilah Monetary One (M1), selain nasionalis sekaligus politikus  ulung ternyata dia punya kegiatan ke-ekonomian internasional termasuk pertemuan dengan John F Kennedy, presiden AS yang tewas tertembak itu”tutur dia.

Diceritakannya, pada tanggal 14 November 1963 Sukarno pernah bertemu dengan John F Kennedy atau biasa disapa JFK.” semua orang ragu dengan pertemuan tersebut namun itulah trik Sukarno agar publik tidak mengetahui.” kata Safari. Atas dasar itu dia lantas mencari tahu, diawali dengan sebuah dokumen yang dimiliki oleh The New York Times yang me-record jadwal pertemuan tersebut hingga sampai pergi ke Museum Kennedy. Dan didapatkan di hari itu, benar adanya Sukarno dan JFK bertemu tetapi sifatnya tidak resmi. Tak hanya itu, Vatikan sendiri mempunyai dokumen yang menyatakan bahwa kedua presiden tersebut pernah bertemu di tanggal 14 November.

ilustrasi Emas batanganSafari berkesimpulan dokumen The Green Hilton Memorial Agreement yang ditandatangai oleh kedua presiden itu pada hari tersebut merupakan dokumen yang menyebutkan bahwa Amerika mengakui keberadaan aset Indonesia disana sebesar 57.000 ton emas kurang lebih. JFK mengakui perjanjian itu, hanya saja AS mengabaikan pengembaliannya, jadi dalam pengertian tidak apa-apa akan tetapi Amerika harus membayar sebesar 2.5 persen setahun. “Itu lah yang kemudian yang membuat orang-orang Indonesia kemudian menganggap bahwa Amerika punya utang ke Indonesia” tutur Safari.

Sebenarnya ada dialog kecil seperti yang dituturkannya waktu melakukan wawancara, harta itu boleh tidak dikembalikan asalkan Amerika Serikat membayar 2.5 persen. “JFK setuju dan mau membayar 2.5 persen asalkan indonesia membolehkan Amerika Serikat untuk melakukan aktivitas tambang baik mineral atau minyak  atau yang lainnya di Indonesia” kata Safari.  Dan jika satu butir pasir emasnya pindah dari indonesia ke Amerika, maka The Green Hilton Memorial Agreement dinyatakan berlaku. “JFK menyatakan setuju” kata Safari. Pada tanggal 28 November 1963, Sukarno menandatangi perjanjian kontrak kerja yang berhubungan dengan minyak dan yang lainnya. Namun beberapa hari berselang Kennedy tewas ditembak, perjanjian ini pun semakin kacau ditambah nasib tragis Soekarno yang dikudeta.

Akan halnya, masa perjanjian tersebut akan berlaku selama 600 tahun selagi ini tidak ada pembatalan atas perjanjian tersebut. “Memang masa berlakunya tidak disebutkan dalam perjanjian itu” kata Safari.  Indonesia sendiri, menurutnya malu-malu kucing untuk mengakuinya karena sering dibawa ke ranah klenik, namun ada saja yang secara ‘diam-diam’ pejabat Indonesia, seperti menteri yang masih aktif hingga mantan presiden, datang ke UBS/Bank Swiss untuk mencairkan dana tersebut tetapi tidak ada yang pernah berhasil,” kata Safari. Melihat masifnya mereka yang mencoba mencari bahkan untuk mencairkan harta tersebut, Safari hanya mengharapkan bukan seharusnya itu yang dilakukan. “Yang diharapkan itu minimal ada pengakuan dari Indonesia bahwa perjanjian ini benar adanya dan Sukarno sendiri sebagai pemiliki asetnya pada waktu itu” kata dia.

Dibantah Sejarawan

Menyoal Harta Amanah Sukarno dan The Green Hilton Memorial Agreement, Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam punya pandangan yang berbeda. Pasalnya, dia merasa curiga  bahwa dokumen tersebut  atau pun harta amanah nihil adanya antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Beberapa argumen dia sampaikan soal ketidakyakinan Soekarno memberikan emas kepada John F Kennedy, Presiden Amerikat Serikat saat itu.

Asvi berpendapat, pertama tidak adanya dokumen resmi yang dikeluarkan AS yang menyebut soal perjanjian perbankan antara Amerika dan Indonesia.  “Jika pun ada perjanjian lain ada pada dokumen AS tapi tidak menyebut soal ini,” kata Asvi. Dan yang kedua, soal adanya cap dan logo di dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian soal pinjaman emas itu terdapat cap burung garuda Indonesia. “Cap dan burung garuda itu biasanya dipakai oleh kabinet dan kementerian. Presiden menggunakan simbol padi dan kapas dan di tengahnya ada bintang,” kata dia.

Selain itu, Asvi pun meragukan dokumen The Green Hilton Agreement yang menjadi dasar penelitian Safari ANS yang menulis buku tersebut. “Saya lihat itu dari salinan dokumen, ada kata Geneva. Masa itu bukti otentiknya, kalau dokumen asli tidak ada itu,” pungkasnya kepada kabarinews.com. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?66255

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini