Harlinda KuspradiniPutri dari pasangan (Alm) Drs HM Kusosi, MSi dan dr Suprapti ini banyak memotivasi mahasiswa didiknya untuk tekun dalam menimba ilmu maupun melakukan riset yang menjadi harapan dan kebanggaan bangsa. Tumbuh besar dalam didikan orang tua yang sehari-hari bergumul dengan lingkungan pendidikan, ia pun jadi pecinta ilmu pengetahuan. Maklum, semasa hidup, ayahnya Dosen Senior Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNMUL dan ibunya adalah Direktur Akademi Perawat Muhammadiyah.Alhasil, perempuan kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, 28 April 1975 ini pun sejak awal telah tertarik untuk terus-menerus mendalami ilmu pengetahuan dengan menjadi dosen dan peneliti. Ditambah setelah berkeluarga, suaminya yang bernama Yusuf Arif Setiawan juga peneliti dan konsultan ahli di Bank Indonesia.Bahkan sejak dini, seingat Harlinda, ia sudah dibiasakan oleh sang Ayah untuk membantunya mengetik dan mencarikan buku yang terselip. Jadi, buku mengambil posisi boneka sebagai sahabatnya bermain dalam kesehatan. Diskusi soal keilmuan pun mewarnai acara makan bersama di rumah.Tak heran, dalam pendidikan, Harlinda sampai pada pucuk pendidikan tertinggi, Strata 3, di usia yang masih muda. Begitu meraih gelar Sarjana di Fakultas Kehutanan, UNMUL jurusan Teknologi Hasil Hutan, ia langsung melanjutkan ke Strata 2 bidang Ilmu Kehutanan dan akhirnya menyelesaikan Strata 3 di bidang agrikultur (applied biological science) di United Graduate School of Agriculture, Gifu, Jepang.Bumi Kita Sangat Kaya

Harlinda saat Eksplotasi tanaman obat di hutan

Dari Strata 1- 3, Harlinda secara konsisten mempelajari ilmu kehutanan. Mengapa? Alasannya sederhana, tetapi logis sekali. Katanya, bumi kita, utamanya Kalimantan Timur di mana ia berdomisili selama ini, memiliki kekayaan hasil bumi yang tak akan kering untuk diteliti dan disimak rahasia khasiatnya. Tentu, bukan berarti bisa seenaknya digunakan tanpa cara yang benar. Alam harus diperlakukan secara adil, terukur dan tertata.

Terkait dengan itu, Harlinda pun bersemangat sekali melakukan penelitian. Tak sampai di situ, ia juga membawa hasil riset ilmiahnya itu ke forum seminar dengan tujuan mengajak para peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan. Dengan demikian, ilmu tersebut akan terus berkembang. Menurutnya, ilmu harus dibagi dan ilmuwan mesti membuka diri untuk menjalin kerjasama dengan pihak luar. Ia pun memberi contoh, bagaimana Laboratorium Kimia yang dibinanya itu telah menjalin kerja sama dengan Gifu University, Jepang; College of Herbal Bio-industry, Daegu Haany, Korea dan Kyushu University, Jepang. Contoh lain, saat pendidikan S3, ia beroleh dana penelitian dari MOMBUSHO dan Pemerintah Daerah hingga akhirnya memenangkan penghargaan dari L’Oreal-UNESCO (2010) tersebut.

Herbal Untuk Obat Antikaries Gigi

Harlinda Bersama Mahasiswa bimbingannya

Konsultan WWF (World Wild Fund) ini sangat tekun menggali khasiat-khasiat yang terkandung dalam kekayaan hasil hutan non kayu. Misalnya, tumbuhan aromatik, produk getah, resin, gaharu, produk dari lebah maupun tumbuhan yang mengandung obat. Masyarakat pedalaman melestarikan pengobatan tradisional sebagai kearifan lokal yang luar biasa.

Sebagai ilmuwan, Harlinda mencoba membantu melestarikan kearifan lokal tersebut dengan menggali kandungan fitokimia dan aktivitas biologi tumbuhan di hutan Kalimantan. Dari situ kelak khasiat-khasiat dalam herbal bisa dimanfaatkan untuk pengobatan manusia.

Satu hal menarik yang menjadi bahan penelitiannya adalah pasak bumi, tanaman khas Kalimantan yang dipercaya sebagai obat kuat bagi kaum pria. Setelah diteliti, muncul khasiat lain dari pasak bumi, yakni dedaunannya juga bagus untuk menghambat pertumbuhan bakteri gigi Streptococcus sobrinus dan Streptococcus mutans, lalu menurunkan produksi kadar asam dan pelekatan sel bakteri pada permukaan gigi yang membuat gigi hitam karena karies. Kandungan antioksidannya juga tinggi, jadi bagus untuk kesehatan tubuh secara keseluruhan.

Jadi Peneliti Lebih Banyak Sukanya

Harlinda mengaku bahagia, sekaligus tertantang menjadi peneliti. Dibilang suka duka, rasanya lebih banyak sukanya jadi peneliti. Punya kolega dan mahasiswa yang solid dan mau saling membantu. Peluang punya rekan di negeri orang, sesama peneliti pun, terbuka luas.

Kenangannya pun berlari ke Negeri Sakura ketika ia kuliah S3. Ia tak merasa susah, karena berada di tengah orang-orang yang sangat menyenangkan. Ditambah juga dukungan suami yang ketika itu merelakan undur selangkah dalam berkarier demi mendampingi dirinya. Memang, ketika itu ia boyong ke sana, dengan membawa putri mereka yang baru berusia 2 tahun. Jadilah, langkah Harlinda saat kuliah menjadi ringan dan mudah.

Harlinda Liburan musim semi saat kuliah di Jepang

Tak dilupakannya, bagaimana ketika kuliah dulu ia tak hanya meneliti, tetapi juga jadi pedagang. Menarik sekali, sebulan sekali pas hari Minggu, ia bersama suami dan anak mereka berangkat pagi, pulang jelang malam, berjualan bahan makanan halal bagi umat Islam dari Indonesia maupun negara lain yang tinggal jauh dari kota. Seru sekali, katanya.

Kini setelah selesai pendidikan doktoralnya, ibu dari dua putri dan seorang putra ini aktif menularkan kegemaran meneliti di antara mahasiswanya. Kebetulan laboratoriumnya dilengkapi fasilitas yang memadai dan kerap jadi pusat penelitian dari dalam dan luar kampus.

Sebagai dosen, ia tak henti belajar, bahkan masih merasa diri kurang dan ingin mengembangkan kualitas pembelajaran. Pengalaman dan ilmu pengetahuan, katanya, selain memperkaya diri sendiri untuk bekal pribadi dalam mengajar, juga bisa untuk berbagi dengan sesama. Dengan demikian, ilmu pengetahuan akan bermanfaat bagi kehidupan manusia seluruhnya.

Selain itu yang terpenting adalah membina keluarga di rumah. Perempuan penting berkarier di luar, tetapi juga mesti membina keluarga juga. Terlebih sekarang, arus globalisasi membawa dampak yang negatif, di samping yang positif. Karenanya, sambil mengajar, juga mendidik putra-putrinya, Harlinda ingin mendirikan PAUD (Pengajaran Anak Usia Dini) semacam play group atau kelompok bermain seperti di Jepang.

Katanya, di unit pendidikan anak-anak bawah lima tahun itu diajarkan bukan tulis-menulis, melainkan penanaman budi pekerti. Bagaimana anak berperilaku sopan santun, menjaga kebersihan, hidup disiplin, menggali kreativitas dan membangun sikap pantang menyerah. Nilai-nilai ini yang diharapkannya bisa menjadi benteng kepribadian yang kuat di diri anak dalam menyongsong kehidupannya di masa dewasa. (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?62958

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

lincoln