Tolere '82-FHUI.Untuk mewujudkan Indonesia yang  lebih baik, beberapa waktu lalu digelar seminar nasional tentang urgensitas reformasi regulasi yang merupakan kerja sama antara Bappenas dan FHUI. Acara yang digawangi oleh para alumni Tolere ’82 ini menghadirkan 4 tokoh andal di negeri ini.

Satu fakta tak terbantahkan, regulasi di negara kita membutuhkan penataan ulang. Kondisi regulasi kita masih diwarnai oleh banyaknya undang-undang yang multitafsir, berpotensi konflik, tumpang tindih, ketidaksesuaian asas, lemah dalam efektivitas implementasinya, tidak harmonis/sinkron, tidak ada dasar hukumnya, tidak ada aturan pelaksanaannya, tidak konsisten hingga menimbulkan beban yang tidak perlu, baik terhadap kelompok sasaran maupun kelompok yang terkena dampak

Diani Sadiawati.

Diani Sadiawati.

Demikian disampaikan Dr Diani Sadiawati, SH, LLM, Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)di awal seminar. Juga ditemukan tidak adanya korelasi sinergis antara kebijakan dengan regulasi, serta kualitas regulasi yang rendah seperti tertuang dalam hasil riset The Worldwide Governance Indicators (WGI) yang dibuat oleh para ahli di negara industri dan negara berkembang.

“Sangat krusial melakukan reformasi regulasi untuk mencapai target pembangunan bidang regulasi 2015-2019, yakni mewujudkan sinergitas antara kebijakan dan regulasi untuk terciptanya sistem regulasi nasional yang sederhana dan tertib dalam mendukung pembangunan keunggulan komparatif perekonomian, berbasis SDA (sumber daya alam) yang tersedia, SDM (sumber daya manusia) berkualitas dan berkemampuan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi),” lanjut Diani.

Wicipto Setiadi.

Wicipto Setiadi.

Sementara itu Dr Wicipto Setiadi, SH, MH, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, menyoroti pentingnya 4 langkah dalam menyusun program legislasi nasional (prolegnas): simplifikasi regulasi yang ada (existing law), rekonseptualisasi tata cara pembentukan regulasi, rekonstruksi kelembagaan pembentuk regulasi dan penguatan/pemberdayaan SDM yang berintegritas di bidang perencanaan regulasi.

Yang urgen dilakukan dalam waktu dekat adalah melakukan simplifikasi regulasi yang ada. Seluruh kementerian dan lembaga mesti mengevaluasi seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Dari situ melakukan evaluasi dan mereformasi regulasi untuk mengeliminasi terjadinya over regulated, tumpang tindih dan disharmoni dalam perundang-undangan yang ada,” urainya. “Bila ini dilakukan, maka kelak dapat terwujud regulasi yang sederhana dan tertib dalam menyusun rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015-2019.”

Maria Farida Indarti.

Maria Farida Indarti.

Prof Dr Maria Farida Indarti, SH, MH, Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi, menggarisbawahi hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan perundang-undangan.

“Membuat undang-undang itu mudah, tapi susah. Teknis membuatnya mudah, karena bisa dipelajari. Hanya banyak hal yang harus menjadi konsiderasi. Misalnya, undang-undang itu sifatnya mengikat ke dalam atau keluar, memperhatikan sistem negara sampai ketentuan dalam penyusunan prolegnas. Disebutkan, prolegnas harus ada sebelum Rencana Anggaran Pendapat Belanja Negara (RAPBN) didiskusikan di DPR. Kalau sebaliknya, prolegnas itu isinya akan berupa agenda-agenda pembuatan undang-undang. Tentu tidak demikian yang dimaksud,” ujarnya.

“Pada dasarnya tidak semua peraturan mesti dibuat jadi undang-undang. Secara hierarki, reformasi regulasi harus melihat suatu peraturan itu dapat harmonis, sinkron baik terhadap peraturan di atasnya maupun yang sejajar, vertikal dan horisontal, serta tidak tumpang tindih.”

Muhammad Yusuf.

Muhammad Yusuf.

Dr Muhammad Yusuf, SH, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mengungkapkan urgensinya reformasi regulasi dalam pencegahan pemberantasan pencucian uang. Ini merupakan terobosan yang tertuang pada UU No 8 Tahun 2010 dalam upaya perampasan aset hasil korupsi. Dengan kata lain, memiskinkan koruptor!

Pada dua dekade terakhir, praktik tindak pidana korupsi (tipikor) dan dampak buruk yang ditimbulkannya begitu mengkhawatirkan. Penanganan korupsi di Indonesia sempat sulit dilakukan karena terkendala oleh hukum pidana yang diadopsi sekarang, yaitu pembuktian negatif (Pasal 183 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), yang sejalan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Selain juga penegak hukum masih menganut paham Follow the Suspect, ‘Cari, tangkap, dan hukum orangnya, selesai’.

“PPATK menganggap ini tidak tepat. Seperti banyak dilakukan negara lain, yang efektif adalah melakukan pendekatan ‘Follow the Money’. Yang kita ‘tembak’ bukan orangnya, melainkan uangnya. Langkah ini bisa menelusuri dari mana sumber dana berasal, lalu mengalir ke mana penggunaannya, dan kelak mengantar kita ke pelaku intelektual korupsi tersebut. Uang hasil korupsi pun bisa diselamatkan. Tidak sampai lari ke luar negeri. Saya bersyukur KPK dan jaksa memakai pendekatan ini,” jelas Muhammad Yusuf.

Selain reformasi regulasi, hemat Muhammad Yusuf, perlu diperbaiki mekanismenya. Pertama, sangat perlu membuat bank data atau pusat data informasi yang memuat definisi hukum dan terminologi hukum. Kedua, membangun sistem IT yang terkoneksi antara Bappenas, Kementerian Hukum dan HAM dan Sekretariat Negara (Setneg). Ketiga membuat daftar para ahli hukum dari multidisiplin ilmu hukum di Indonesia. Mereka akan menjadi referensi dalam mengusut kasus hukum. Yang tak bisa diabaikan di samping itu adalah membina SDM yang memiliki integritas tinggi. (Buyung Zulfiar/foto: Raskas P Roebiono)

Untuk share artikel ini klikwww.KabariNews.com/?60161

Untuk melihat artikel Jakarta lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

th_Alan180x180copy