RA Kartini.

Terlepas dari permasalahan yang perlu dibenahi, pendidikan tetap menjadi kunci bagi maju-mundurnya suatu negara. Di tangan ibulah, proses pencerdasan anak selaku generasi penerus itu berawal. Karenanya, sungguh mengharukan ketika para ibu berjuang sekuat daya menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi. Padahal mereka sendiri tidak mengenyam pendidikan yang memadai. Ikuti kisah heroik para ibu yang layak menjadi inspirasi bagi kita semua!

RA Kartini pada 4 Oktober 1902 menulisi Prof Anton dan istrinya di Belanda, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Di tulisan lain pada tahun 1903, RA Kartini juga mengungkapkan, betapa sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal.”

Sebuah pandangan yang sangat melesat jauh dari eranya. Itulah RA Kartini, seorang perempuan sejati, pahlawan pendidikan bagi bangsa ini. Sangat tepat apa yang dikatakannya, karena potret generasi penerus di masa depan tergantung penuh pada pendidikan yang ditanamkan oleh seorang ibu di masa awal kehidupan anak. Tak berlebih jika disebut, Ibu sebagai guru generasi, pejuang pendidikan. Berikut kisah mereka!

Kayuh Sepeda dengan Satu Kaki, Antarkan Anak ke Sekolah

Marsita antar anak ke sekolah.

Terlahir dalam kondisi fisik tidak sempurna pada 26 September 1972, sebagai anak ketiga dari 7 bersaudara. Masita, demikian sang Ayah, Sopiyan (73), menamainya. Meski tak punya kaki kanan dan tangan kanan, lalu kaki kiri pun hanya berupa dua jari yang menyatu, serta tak lancar bicara, tapi warga Jl Sempurna, Dusun Melati I Tembung Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara itu, diterima dengan tangan terbuka oleh orang tua dan keenam saudaranya yang sehat semua. Karena itu Masita pun tumbuh dengan rasa percaya diri, dan tak pernah merasa kecil hati.

Berkat bimbingan dan didikan orang tuanya yang sederhana, perempuan berdarah campuran Jawa-Padang ini bisa menerima takdirnya dengan ikhlas. Ia tidak bersekolah, bukan karena orang tuanya malu akan kecacatannya atau enggan membiayai pendidikan untuknya, tetapi memang karena tak punya biaya.

Ayahnya hanya seorang kuli bangunan. Masita pun lebih belajar dari alam dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Tapi dari didikan orang tuanya itulah, meski terlahir penuh keterbatasan, ia mampu jadi pribadi mandiri dan juga terbiasa mengurusi rumah.

Karena itu tatkala pemuda yang juga cacat, bernama Djasman datang melamar, Masita menerimanya. Jadilah kedua insan ini ke pelaminan pada 27 Agustus 2001. Tak lama, lahir buah cinta mereka yang diberi nama Fajar pada 25 November 2002.

Marsita dengan keluarganya, bapak dan anaknya.

Kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Ketika Fajar berusia 3 tahun, ia menjadi yatim. Keluarga Djasman ingin membawa Fajar, tapi Masita menolaknya. “Fajar satu-satunya harta saya yang berharga. Saya bersumpah untuk menjaga dan memberinya pendidikan yang terbaik. Meski saya tak bersekolah, juga belum punya pendapatan sendiri yang memadai, saya akan mendidik Fajar agar jadi orang,” katanya.

“Saya tidak minder atau kecil hati dengan keadaan saya. Dan yang pasti, saya akan mendidik Fajar supaya mandiri, jadi orang yang baik dan giat belajar. Ia anak tunggal saya, dan saya ingin sekali dia bersekolah tinggi, meski harus berjuang sekuat daya,” ujar Masita, yang tiap pagi ia mengayuh sepeda rakitan dengan kakinya sejauh 6 kilometer pulang balik mengantar Fajar ke sekolah. Tekad Ibu demi masa depan anaknya mampu mengalahkan fisik yang penuh keterbatasan sekalipun.

Kuliahkan Anak dari Berjualan Kangkung Liar

mama domaina sedang layani orang beli kangkung (satu)

Usianya sudah 53 tahun, tetapi tiada hari dalam hidupnya tanpa berjualan kangkung untuk pendidikan anak-anaknya. Ia tak punya latar belakang pendidikan maupun memiliki keterampilan yang bisa dijadikan gantungan nasib dalam mencari uang. Tetapi perempuan itu sadar benar, bahwa kehidupan anak-anaknya pasti menjadi lebih baik bila mereka berpendidikan.

Karena itu sepeninggal suaminya, Zakarias Emogoin, yang meninggal pada 2003, ia melanjutkan pekerjaan suaminya mencari kangkung liar di rawa. Itulah satu-satunya cara ia bisa mendapatkan uang untuk membiayai makan keluarga dan menyekolahkan mereka. Sebagai ibu, meski sendirian, ia rela bekerja keras. Setiap pagi ia seakan menggelandang, mencari lahan-lahan tidur yang ditumbuhi kangkung liar. Ia sendiri tak punya lahan atau kebun sendiri. Jangankan itu, untuk makan pun harus mengais rezeki dulu.

Setiap pagi, ia sudah keluar rumah. Dengan bertelanjang kaki, ia kadang berjalan, kadang naik angkutan kota menuju rawa-rawa yang ditumbuhi kangkung liar. Ia membawa karung beras besar dan tali rafia. Tuhan Maha Pengasih, biasanya ia tak perlu terlalu jauh pergi, melainkan bisa ke rawa-rawa atau kebun tidur yang berada di sepanjang perumahan penduduk di Kelurahan Maro, Merauke. Tanpa alat bantu seperti pisau atau arit, dalam waktu sebentar, kangkung-kangkung itu telah berpindah wadah, mengisi karung kosongnya.

Mama Domanina Muyak.

Semua orang telah mengenalnya dengan baik, setidaknya selama bertahun-tahun melihatnya mengambil kangkung di sana. Bila dulu ketika sang suami masih hidup, Mama Kangkung, ia kerap disapa, bekerja berdua, tetapi kini sendirian. Penderitaan dan kemiskinan hal biasa baginya, sejak merantau pada 1980 dari kampung halamannya di Kabupaten Mappi, salah satu kabupaten pemekaran di Selatan Papua ke Merauke. Orang lain mungkin enggan melakukan ikhtiar seperti dirinya, tapi siapa nyana jika dari alam itulah ia bisa menyandarkan hidup dan membiayai pendidikan ketiga anakny—Petronela Emogoin (28), Yohana Florida Emogoin (23) dan Eferiska Emogoin (21).

“Anak kami tiga, dan untuk bisa mereka bersekolah, kami harus banting tulang dengan berjualan kangkung ini. Tidak ada hari libur. Tidak mencari kangkung, berarti ya tidak makan. Syukurlah almarhum suami ada menyimpan tabungan sebelum meninggal dari menjaga toko di Kota Merauke,” ungkap Mama. “Waktu suami meninggal itu, anak-anak sedang tumbuh besar. Petronela dan Florida masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jadi, sedang membutuhkan biaya yang sangat besar, apalagi menuntut ilmu di sekolah swasta.”

Sabar dan Guru Kehidupan Yang Andal

Yohana Florida yang telah lulus kuliah

Mama Kangkung tidak punya keterampilan dan latar pendidikan yang memadai. Tapi ia seorang yang tulus dan lurus. Di benaknya hanya satu: bagaimana dapat menjaga kelangsungan hidup anak-anak dan dirinya. Yang terpenting lagi, bisa bersekolah tinggi. Pantang baginya menengadahkan tangan di jalan menjadi pengemis, misalnya.

Sebagai ibu ia sadar, bahwa dirinya menjadi tumpuan bagi anak-anaknya, meski hanya bisa mengambil kangkung liar di rawa, menyiangi, lalu menjualnya, kangkung tetap menyelamatkan hidupnya.

“Dari pendapatan per hari, saya keluarkan Rp8.000 untuk transpor pergi-pulang dari rumah ke rawa-rawa yang ada kangkungnya. Kemudian berbelanja 1-2 kg beras, minyak goreng dan minyak tanah. Yang pasti saya harus menyisihkan Rp20.000 tiap hari untuk biaya sekolah anak-anak. Ketika anak-anak di SMA, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi tentu biayanya selangit, makanya selain berjualan kangkung, saya juga tambah berjualan ubi jalar dan pisang,” lanjutnya.

Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Perjuangan Domanina dalam mendidik anak-anaknya dari berjualan kangkung liar pun membuahkan hasil. Petronela Emogoin, anak sulungnya, berhasil lulus Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Merauke dan sekarang menjadi guru honorer di kampung halamannya di Kepi, Kabupaten Mappi. Kemudian Florida terus melanjutkan pendidikan ke KPG Khas Papua, yaitu sekolah pendidikan yang menyiapkan tenaga guru, lalu lanjut ke kuliah program D2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang bekerjasama dengan Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura. Niat kuliahnya begitu kuat.

Florida anak Mama Kangkung saat diwisuda.

Berkat Tuhan, kata sang Mama, pada 2011 lalu Florida berhasil diwisuda. Dan kini tinggal anak bungsunya, Eferiska, yang membutuhkan bimbingan ekstra lembut. Boleh jadi anak ini tak tega melihat ibunya banting tulang, jadi anak itu tak mau melanjutkan pendidikannya yang sudah sampai di Kelas II SMA.

“Anak ini akan ikut Paket C, dan ijazahnya diakui Pemerintah, sehingga ia kelak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Saya hanya bisa berdoa, anak bungsu ini mau mengikuti jejak kakaknya. Yang penting berusaha, serahkan hasilnya kepada Tuhan. Tak bosan saya katakan kepada mereka, ‘Mama ini sudah bodoh. Jadi, kalian harus bersekolah supaya bisa memperbaiki hidup. Biarkan Mama berjualan kangkung, asalkan kalian mau bersekolah sungguh-sungguh,’” katanya. (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?58450

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :

Pacific-States