Rucina Balinger MA

Ia berdarah Amerika, tetapi justru dikenal sebagai penari topeng Bali yang andal. Gembira mendengarnya, tapi sebagai orang Indonesia asli, kita sekaligus tertantang untuk lebih mampu menghargai kekayaan seni budaya bangsa sendiri. Kini, Nyonya Anak Agung Gede Putra Rangki dari Puri Peliatan Ubud ini aktif mencerdaskan anak-anak yang tidak mampu. Cintanya memang telah tertambat di Bali.

Usia Rucina Ballinger MA, demikian nama lengkap perempuan ini, baru 21 tahun tatkala datang ke Bali pada 1974 untuk riset skripsinya di Indiana University. Ia melakukan studi komparatif tentang agarma, tarian dan drama tradisional masyarakat Bali. Tapi, begitu mendarat di Pulau Dewata, ia jatuh pada melihat konsep masyarakat Bali terhadap makna kekeluargaan dan hubungan batin mereka dengan leluhur. Selain juga alamnya yang masih asri dan seni budayanya yang tinggi.

Empat bulan ia tinggal di rumah penduduk yang sangat sederhana, belajar menari 4 jam sehari selama 6 hari dalam seminggu dengan almarhum maestro tari topeng dan tari gambuh, I Nyoman Kakul. Ia pelajari adat istiadat dan upacara keagamaan di pura desa, berguru pada Sang Ayu Ketut Muklin dan Ni Ketut Arini Alit. Perempuan yang periang itu pun merasa betah. Tetapi ia harus kembali pulang. Lulus S1, ia melanjutkan kuliah S2 di Hawaii dengan topik sama, yaitu tarian-tarian kuno.

Katanya, Hawaii mirip dengan Bali, memiliki tarian kuno yang erat terkait pada kegiatan spiritual masyarakatnya. Di Amerika, pada 1979, ia turut mendirikan grup kesenian Bali bernama Gamelan Sekar Jaya. Tiap tahun menggelar pentas seni di California, lalu kerap mengundang guru tari dari Bali dan ia sendiri menjadi penari utamanya di acara itu. Dan pada tahun itu juga, ia pernah bekerja sebagai Staf Lokal Konsulat Jenderal RI San Francisco.

Jatuh Cinta dan Menikah Dengan Pria Bali

Menari di acara adat bali

Lima tahun kemudian, Rucina kembali ke Bali lagi, kali itu mengantar 15 mahasiswa Amerika untuk belajar tari Bali, bahasa lokal, adat istiadat, budaya masyarakat desa dan tari Bali. Ia tinggal 3,5 bulan di Ubud. Di sanalah ia mengenal Anak Agung Gede Putera Rangki atau Gede Rangki, yang mengajar bahasa dan budaya Bali. Setiap hari bertemu, akhirnya keduanya saling jatuh cinta dan setahun kemudian menikah. Untuk keharmonisan perkawinan, Rucina lebur ke dalam kehidupan di Pulau Bali.

Pada 1987, lahir putra sulung mereka, Anak Agung Anom Dharma Raja, lalu disusul sang adik, Anak Agung Arie Khrisna Prabu. Menikah dengan latar belakang dua budaya punya tantangan tersendiri, persisnya dalam menerapkan pola hidup dan pola didik, maupun lebih memilih kebudayaan Ayah atau Ibu dalam kehidupan sehari-hari. Bila dikirimkan ke keluarga Rucina di Amerika berarti anak-anak akan terasing dari adat istiadat leluhur sang ayah. Sementara, Rucina ingin anaknya juga tumbuh dengan menyerap karakter moderat seperti hasil pendidikan ala negerinya.

Diambillah jalan tengah, yakni memberikan mereka pendidikan plus. Tetap menguasai bahasa lokal sebagai keturunan ksatria dari puri, namun menanamkan nilai kesetaraan gender untuk menghargai perempuan. Sikap yang sesungguhnya berlawanan dari tatanan masyarakat Bali yang cenderung menomor-duakan perempuan. Namun, untuk keperluan Pura Desa Pakraman, Rucina menyerahkan otorita pada suaminya yang berkasta tinggi dan punya tanggung jawab moral kepada masyarakat setempat.

Total Jadi Perempuan Bali

Rucina Bersama Gus Dur

Kini di usia yang akan masuk kepala 6, Rucina total menjadi perempuan Bali. Menjadi ibu rumah tangga, juga memasak untuk keluarga, meski juga tak pandai. Selain itu aktif menjadi pendamping anggota keluarga puri, terkadang masih menari upacara agama di pura. Itulah momen yang sangat dinikmatinya, karena memberinya rasa tenang dan damai.

Sekarang kegiatannya bertambah, yakni membantu keluarga korban bom Bali dengan teman-teman di Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP) serta memberikan pendidikan kepada anak-anak dari keluarga miskin. Dari kepeduliannya terhadap nasib masyarakat Bali yang kurang beruntung itu, menumbuhkan gagasan pada dirinya untuk memperbaiki kondisi Bali. Bagus bila masyarakat di sana mengikuti perkembangan zaman dan era globalisasi, tetapi tidak semestinya menyisihkan adat istiadat, konsep kekeluargaan dan kekerabatan. Nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur. Kalaupun mengandalkan pariwisata untuk memperoleh penghasilan, tapi hal itu dilakukan tetap dengan kesadaran untuk melestarikan nilai budaya.

Sesuai dengan kepandaiannya menari, Rucina juga mendirikan sanggar tari untuk melahirkan penari-penari dari masyarakat lokal yang kelak mampu mengusung kesenian dan budaya Bali. Bersama sang suami, ia mengajar para siswa, wisatawan dan mahasiswa asing. Dan utamanya, untuk mencerdaskan masyarakat miskin dan terbelakang. Untuk kegiatannya ini, ia beroleh Paul Harris Award.

Keterampilan Rucina menari topeng Bali terbilang langka, karena biasanya diperankan oleh laki-laki. Agaknya kecintaannya pada Bali secara keseluruhan tak dapat disangkal. Sampai kapan pun, akan menari dan mengenalkan seni budaya Bali ke mancanegara maupun orang-orang asing. Ia juga mendirikan Grup Seni Tari dan Lawak Gedebong Goyang yang keseluruhan anggotanya perempuan asing yang bersuamikan pria Bali. Di antaranya, Kerry Pendergrast (Swiss), Suzan Kohlik (Australia), dan Antonella de Sanctis (Italia). Pementasan disajikan dengan menggabungkan tari dan lagu dalam bahasa Bali dan Indonesia, diselingi komedi kritikan bagi diri sendiri. Lucu! Rucina Ballinger, MA akan terus menjadi orang Bali dan mencintai Bali. (1003).

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?57712

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Rosy Law