Di awal zamannya, Kasunanan atau Kesultanan Surakarta menjadi satu dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun, pada perjalanan waktu, mereka terpisah. Pada era Kemerdekaan RI, Raja tak lagi berkuasa, namun berperan sebagai pemangku adat saja. Sesuai amanat Pakubuwono XII, fungsi struktural di dalamnya tetap berjalan hingga kini.

Awal April lalu Kabari berkesempatan mengunjungi Keraton Surakarta Hadiningrat di Solo, Jawa Tengah bersama rombongan The Royal Tour C1279, yang merupakan alumni dari SMPN 12 Jakarta. Kagum rasanya melihat keraton yang sampai saat ini masih melestarikan adat istiadat, tata krama dan pengelolaan kasunanan seperti diamanatkan oleh para leluhur. Kasunan Surakarta Hadiningrat kini termasuk Cagar Budaya yang menjadi saksi perjalanan sejarah yang luar biasa.

Beruntung sekali, karena ketika itu Kabari dapat bertemu dengan para pangeran dan putri keraton, bahkan sempat mewawancarai Dra Gusti Raden Ayu (GRAy) Koes Murtiyah Wandansari, MPd, yang biasa disapa Gusti Mung. Ia putri dari Raden Mas Suryaguritna yang dinobatkan sebagai Putra Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Aryo Hamengkunegoro Sudibya Rajaputra Narendra Mataram, sebelum kemudian menjadi Sri Susuhunan Pakubuwono (PB) XII.

Ia juga anggota DPR Komisi II untuk periode 2009-2014. Komisi II ini menangani Aparatur Negara, Pemerintahan Dalam Negeri, Agraria, dan Otonomi Daerah. Adapun di Kasunanan Surakarta Hadiningrat sendiri, perempuan bangsawan ini merupakan Pangageng Sarana Wilapa Kraton atau Sekretaris Jenderal Keraton Surakarta.

Dalam Catatan Sejarah

Sejarah mencatat, sesuai Perjanjian Giyanti, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua wilayah kekuasan, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sejak 17 Februari 1745, Surakarta resmi menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Raja Pakubuwana III, sedangkan Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sultan Hamengkubuwana I.

Pada masa dulu, Kasunanan Surakarta merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja. Tetapi pada masa Pakubuwono XII, setelah melampaui hingar-bingar perjalanan sejarah, kasunanan bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia. Fungsinya pun tidak lagi bersifat politis, tetapi lebih sebagai entitas budaya yang keberadaannya dilindungi secara hukum.

Yang menarik, kasunanan ini dibangunan dengan pola tata kota yang sama seperti Surakarta di masa terdahulu. Terletak di pusat Kota Solo, tepatnya di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Di dalam kompleks keraton, terdapat Museum Keraton Surakarta dan Masjid Agung yang bisa digunakan oleh wisatan untuk beribadah. Kasunanan Surakarta Hadiningrat pun menjadi daya tarik dan ikon budaya Kota Solo, dan Jawa Tengah pada umumnya.

Riwayatmu Kini

Pada Maret 1992 pemerintah RI mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya yang termasuk di dalamnya keraton sebagai kekayaan budaya bangsa yang penting sekali artinya dan perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Untuk menjaga kelestariannya, diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasannya.

Sayang sekali, dalam pelaksanaannya tidak sesuai harapan. Seperti disampaikan GRAy Koes Murtiyah kepada Kabari, Kasunan Surakarta yang kini dipimpin oleh Hangabehi yang bergelar Sameyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan (SISKS) Pakubuwana XIII, Kasunanan Surakarta seperti keraton-keraton lain di Indonesia, tidak diperhatikan dengan baik.

“Bila pemerintah menjalankan amanat perundang-undangan, kehidupan keraton-keraton di Indonesia tidak bernasib seperti sekarang ini. Misalnya, seperti Keraton Surakarta. Mereka melihatnya seolah ada konflik di dalamnya, padahal tidak. Sejak Pakubuwono XII memutuskan Kasunanan Surakarta Hadiningrat bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia, Kasunanan tidak lagi berfungsi secara politis. Tapi secara non politis, keraton tetap mempunyai lembaga-lembaga yang berperan mengurusi keraton ini agar tetap hidup sesuai aturan yang diwariskan para leluhur,” ujar perempuan kelahiran 1 November 1960 ini.

“Yang ada sekarang, semua harta keraton sudah dikuasai negara. Tapi ironisnya, keraton itu sendiri tidak diurusi oleh pemerintah. Hal ini tidak hanya dialami Kasunanan Surakarta, tapi juga oleh semua keraton di Indonesia. Ada otonomi daerah yang tanggung jawabnya dipegang oleh Gubernur Jawa Tengah, tapi tidak maksimal. Mereka mengatakan, ‘Adanya dana segini, cukup-tidak cukup, ya sebegitu. Ini ‘kan pelecehan sekali,” ujar lulusan S1 dan S2 dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta.

Di banyak kesempatan, Gusti Mung gigih menyampaikan pesan agar keberadaan keraton di negeri ini diperhatikan secara layak. Ia pernah didampingi Dr KP Eddy S Wirabhumi, SH, MM, selaku penasihat hukum Karaton Surakarta, menjumpai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama, Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH. Ia meminta kejelasan tentang pengelolaan keraton sebagai bagian dari budaya nasional. Pasalnya, menurutnya, pihak Karaton Surakarta Hadiningrat sebagai pelaku dalam kebudayaan tidak pernah diikutsertakan dalam penataan dan pelestarian budaya keraton. Sebagai institusi kebudayaan, keraton semestinya dapat diakui menjadi lembaga adat.
Ketua MK tersebut mengatakan, setelah reformasi seharusnya keraton sebagai entitas budaya secara bertahap semakin kuat, karena Undang-Undang Dasar 1945 telah menjaminnya. Dalam Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (3) mengenai masyarakat hukum adat yang di dalamnya termasuk keraton telah diatur sangat tegas mengenai pengakuan negara atas entitas budaya.

“Keberadaan MK, sebagai lembaga peradilan pengawal konstitusi, juga bertugas mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk merealisasikan dan melaksanakan program-program perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Ini perlu dilakukan supaya janji konstitusi terhadap penghormatan dan perlindungan kepada masyarakat hukum adat keraton sebagai unit kebudayaan dapat terwujud,” ujar Jimly, ketika itu.

Suara Hati Keluarga Keraton

Dengan segala kesulitan yang ada, Kasunanan Surakarta Hadiningrat berusaha tetap berdiri dan lestari. Budaya luhur keraton hingga kekayaan seni budaya luhur terus dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari. Syukurlah, penghargaan dan simpati datang dari perorangan, kelompok seperti C1279 maupun bangsa lain. Seperti penghargaan yang diberikan Pemerintah Jepang kepada GRAy Koes Murtiyah berupa Fukuoka Prize ke-23. Ia mendapat penghargaan atas kiprahnya bersama para abdi dalem dan seniman di Keraton Surakarta dalam melestarikan tarian tradisional keraton Jawa yang merupakan budaya asli berusia tua, lebih dari 300 tahun.

Di ujung wawancara, Gusti Mung yang juga mendapat penghargaan Bintang Sri Kabadyan (penghargaan bagi mereka yang berjasa kepada Keraton) menambahkan, “Saya meminta Pemerintah kembali mengurusi keraton. Berikan pada posisi sebaik-baiknya. Jangan dibunuh pelan-pelan. Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak mau mati, tapi banyak keraton lain yang sudah mati. Kami akan terus menjalankan amanat almarhum Bapak, Pakubuwono XII, bahwa meski keraton hanya tinggal sedikit, kami tetap mempertahankan aturan keraton, tidak boleh melenceng.” (1003)

Untuk share  artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?55571

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :