Aris Rusiyadi Ristam (58) dan Rusiyah (52) boleh dibilang pasangan yang langka di era saat ini. Tatkala orang merasa cukup punya dua anak saja, mereka justru 17 kali menyambut kelahiran anak-anaknya selama 39 tahun pernikahan. Semua lahir lewat persalinan normal, dan tanpa seorang pun yang kembar. Repot? Jangan ditanya! Tapi keluarga itu tetap saja bersuka cita, bahkan sebagian anak telah berkeluarga justru memilih tinggal bersama di bawah satu atap.

Rumah di Desa Kutaliman, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah itu cukup besar. Penataan interiornya terasa lapang dan nyaman, karena ruang tamu disatukan dengan ruang keluarga. Di situ anggota keluarga dari orang tua hingga cucu berkumpul, ngobrol atau sekadar bersantai, menonton televisi. Praktis tak kurang dari 15 anggota keluarga yang tinggal di situ, karena sebagian ada yang pindah setelah berkeluarga.

“Beginilah keluarga kami, banyak anggotanya. Anak kami 17 orang dengan 9 cucu. Kalau Iedul Fitri semua pulang, wah, ramailah rumah ini. Semua atas perkenan-Nya, karena waktu menikah, kami tak berencana punya 17 anak,” ujar Rusiyah, seraya menjelaskan, bahwa dalam perjalanannya ada seorang anak dan cucunya yang wafat. Jadi yang ada kini sebanyak 16 anak dan 8 cucu.

Menikah usia muda

Pada 1974, tatkala Rusiyah usia 14 tahun, baru kelas 4 SD, ia dipersunting Aris. Tanpa lama menanti, setahun menikah, lahir anak pertama, kemudian disusul adik-adiknya dengan selisih jarak kelahiran cukup dekat. Mereka adalah Darmiati (38), Darsito (35), Darsini (34), Saripin (32), Saliyah (30), Rikoh Riyanto (28), Eliyanto (26), Heki Setiowati (25), Kiki Novita Wulandari (20), Nova Andiana (18), Zaena Rislamuna (16), Apri Setiawan (14), Febby Ayuningsih (11), Alif Nanda Saputra (9), Nevalina (8), dan Faditya (7). Septi Melani, anak ke-4, meninggal di usia 3 tahun kaena sakit.

“Syukurlah kesemua anak lahir secara normal dan lancar. Capeknya itu setelah bersalin. Dalam satu waktu saya mesti mengurus bayi, memperhatikan kakak-kakaknya yang masih kecil juga, lalu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Wah, hebohnya. Repot sekali. Sekarang saja sudah cukup sela, karena anak-anak sudah besar dan cukup mandiri,” lanjutnya

Keunikan lain dari keluarga ini, jenis kelamin anak dari si sulung hingga bungsu, selang-seling, diawali dengan perempuan. Hanya pada anak tengah terdapat tiga kelahiran anak pria. Dari cerita sang ayah, Aris, rupanya di familinya ada yang punya banyak anak. Ia sendiri, misalnya, sulung dari tujuh bersaudara. Bahkan di keluarga kakeknya ada yang punya 13 anak. Jadi, cukup terbiasa dengan ramainya anak.

“Kini ada 15 orang tinggal di sini, maka Kartu Keluarga memakai dua lembar. Kolomnya kehabisan, tak muat mencatat semuanya. Ha ha ha,” timpal Aris tentang keluarganya. Ada 6 anaknya sudah menikah, tinggal di rumah sendiri, bahkan seorang anaknya menikah dengan orang Malaysia dan menetap di negeri jiran itu.

Istri Aris, sempat mengikuti program Keluarga Berencana (KB) untuk membatasi kelahiran anak, tapi badannya jadi tak sehat. Seperti kering dan lemas, berat badan turun. Tidak tahan dengan reaksinya, ia berhenti KB, kemudian malah lahir terus anaknya hingga mencapai 17 orang. Langka, karenanya pasangan ini sering didatangi aparat desa yang bertugas sebagai tim penyuluh KB. Yang pasti, ia tidak anti KB, melainkan karena tak cocok ia tak memakai alat kontrasepsi. Diharapkan Rusiyah, Faditya positif jadi anak bungsunya. Ia sudah capek bila harus melahirkan lagi.

Keluarga Sederhana

Untuk membiayai keluarga besarnya, Aris mengandalkan beternak kambing, kini ada sekitar 20 ekor, yang dirintisnya dari nol. Sekitar beberapa hektar sawah juga jadi andalan untuk mengumpulkan rupiah. Kini anak-anak yang telah mentas menyokong ekonomi keluarga, sehingga beban Aris jadi lebih ringan.

“Kami bersyukur, meski tidak berpendidikan tinggi, rata-rata lulus sekolah dasar saja, anak-anak mudah diatur. Tidak ada yang aneh-aneh, apa lagi menyusahkan. Mereka begitu lulus SD, langsung bekerja di Jakarta, juga di luar negeri,” papar Aris lagi, sambil menjelaskan di rumah itu ada 8 buah kamar, masing-masing ditempati 3-4 orang. Satu kamar mandi untuk semua. Jadi, pasti mengantri kalau hendak mandi. Untuk mandi, satu batang sabun habis dalam 2 hari saja. Pasta gigi? Tube ukuran besar habis dalam seminggu. Bagaimana dengan makanan untuk keluarga?

Mereka masak sekitar 3 kilogram beras setiap hari, namun tentu akan berlipat jumlahnya jika semua anak sedang berkumpul. Untuk lauk pauk teman nasi, Rusiyah tak repot. Sayur mayur dipetik dari kebun sendiri, kemudian membuat dadar telur atau menggoreng tahu tempe. Terkadang membuat lauk dari ayam atau ikan. Tidak mengada-ada, dan berjalan alamiah saja.

Pekerjaan rumah juga dibagi dengan anak dan menantu yang tinggal di sana, dari memasak hingga mencuci baju dan membersihkan rumah serta pekarangan. Karena terbiasa hidup secara bersama-sama, tradisi gotong royong dijunjung tinggi oleh mereka. Tidak ada iri hati atau sikap-sikap yang memicu pertengkaran. Hal ini, karena Aris dan Rusiyah menerapkan perlakuan adil bagi semua. ‘Ringan sama dijinjing, berat sama-sama dipikul’. Jadi, mereka hidup rukun dan gembira.

Yang membuat Rusiyah sedih adalah, ketika ada anggota keluarganya yang sakit. Kekhawatiran langsung dirasakannya, karena pernah mengalami kondisi yang berat. Zaena, anak kesebelasnya, pernah sakit panas. Selama 40 hari ia tak mau makan, karena demam tinggi. Bisa dibayangkan kecemasannya, karena untuk bergerak dan minum saja, anak itu kesulitan. Lemas dan uring-uringan menahan demamnya.

Rusiyah memang punya kebiasaan mencoba merawat sendiri dulu anggota keluarga yang sakit. Bila dalam beberapa waktu tidak sembuh, barulah ke dokter di Puskesmas dekat rumah. Pengalaman kehilangan anaknya yang meninggal karena sakit juga memberi pelajaran berharga baginya. Meski terakhir hanya bersekolah kelas 4 SD, ia cukup berpikir jeli untuk tidak mengulangi kesalahan atau keterlambatannya mencari pertolongan kesehatan bagi keluarganya.

Bagaimana komentar anak-anak Aris-Rusiyah sendiri dengan keberadaan keluarga besarnya? Darsito, anak keduanya, mengaku sewaktu kecil sempat merasakan repotnya punya banyak saudara.

“Terutama kalau kami sudah kumpul semua pada malam hari. Aduh, rumah berisik sekali. Ada adik-adik yang menangis, atau berlarian ke sana-sini. Wah, bukan main rasanya. Tapi syukurlah, dengan bertambahnya usia, kami anak-anak sudah besar dan dewasa, kami bisa bekerja dan saling membantu. Kami kompak,” katanya.

“Tapi saya pribadi tidak ingin punya banyak anak. Cukup dua anak saja. Saya tidak yakin akan sekuat dan semampu orang tua kami dalam memperjuangkan keluarga dan membesarkan anak-anak. Mereka sangat tangguh. Orang tua yang luar biasa, menurut saya”, tambahnya lagi. (1003)

Untuk share artike ini, Klik www.KabariNews.com/?55541

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :