Untuk nonton video part 2, Klik disini

Untuk nonton video part 3, Klik disini

McKenzie Global Institute, Bank Dunia, dan Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksi makro ekonomi Indonesia pada 2030, sekitar 18 tahun ke depan, akan melejit dari posisi 16 saat ini menjadi nomor 5 teratas di dunia! Sesuatu yang sangat menggembirakan, sekaligus tantangan. Salah satu kunci untuk mencapainya itu adalah ketersediaan transportasi yang andal, aman, nyaman dan terjangkau. Berikut hasil bincang Kabari dengan Wakil Menteri PerhubunganRI, Dr.Ir. Bambang Susantono.

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia tak luput terkena imbas dari krisis global pada 1998 dan 2008. Ketertinggalan terjadi di banyak bidang, termasuk transportasi. Belajar dari pengalaman menghadapi krisis yang pertama dan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki, Indonesia berhasil bangkit pada krisis yang kedua. Kondisi ekonomi makro bertumbuh pesat, tercatat Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi yang bisa bertahan di atas 6 persen pada tiga tahun terakhir pasca krisis.

“Dalam pertemuan Internasional, seringkali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta memberikan sharing pengalaman beliau dalam menghadapi krisis. Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan emerging economy, sekarang sedang cantik-cantiknya, giat membangun mengejar ketertinggalan di segala bidang,” ulas Doktor di bidang perencanaan prasarana dari University of California Berkeley, Amerika Serikat ini.

Geliat Mengejar Ketertinggalan

Akibat krisis, pembangunan praktis jalan di tempat untuk beberapa lama. Begitu kondisi ekonomi pulih, roda di segala lini pun kembali berputar. Masyarakat menggunakan sarana transportasi di berbagai moda. Lalu lintas di Jakarta, sebagai tolok ukur bagi wilayah lainnya, selalu macet. Bahkan ada anekdot katanya, ‘kalau tidak macet, bukan Jakarta namanya.’

“Di satu sisi, kemacetan satu gejala dari kondisi ekonomi yang sedang bullish, meningkat. Bayangkan, tiap hari ada permintaan nomor kendaraan di Samsat Metro untuk 1.200 motor dan 300 mobil. Tapi di sisi lain, ini mengingatkan tentang ketertinggalan kita akibat deadlock, terpuruk karena krisis yang lalu,” lanjut Ketua Alumni Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung yang hobinya bermusik dan travelling ini.

Tentu, mengurai total kemacetan butuh waktu. Tidak mungkin dalam dua tahun berjalan dapat terselesaikan secara total. Master di bidang tata kota dan pengembangan regional serta transportation engineering dari UC Berkeley ini menambahkan, “Dibutuhkan langkah sistematis yang harus dilakukan secara konsisten, agar bisa ahead of the demand dan pada waktunya kita punya sistem transportasi yang andal, aman, nyaman dan terjangkau.”

Perencanaan tata ruang dan transportasi, ibarat dua sisi mata uang. Keduanya harus baik dan benar. Bila tata ruang tidak benar, transportasi akan buruk. Begitupun andai transportasi tidak benar, tapi tata ruangnya bagus, hasilnya tetap tidak optimal. Untuk kota sekompleks DKI Jakarta, konsentrasi tata ruang terpusat di tengah kota. Harga rumah di kota mahal sehingga pemukiman pun bergeser ke pinggir kota, termasuk Depok dan Bekasi.

“Tercipta pola kemacetan ketika pagi orang berbarengan ke kota, dan sore hari kemacetan itu bergeser ke pinggir kota. Begitu hujan, bingung semua. Sebetulnya, pola pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, tengah giat bersolek membangun sarana dan prasarana transportasi yang lebih baik,” jelasnya lagi.

Langkah nyata yang sedang dilakukan adalah, membenahi dan memberdayakan moda transportasi kereta api (KA) commuter line (CL) yang membawa penduduk dari Bogor, Depok, Bekasi, Serpong masuk ke dalam kota. Tiba di Jakarta, mereka tumpah ruah. Dibutuhkan ‘transportasi antara’ yang memadai untuk mengantar mereka ke tujuan. Jakarta tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, melainkan mesti berkoordinasi dengan Pemda provinsi terkait, yaitu Jawa Barat dan Bekasi.

“Selain itu, kota sebesar Jakarta mestinya memiliki MRT (mass rapid transportation). Transportasi antara yang ada saat ini, bus rapid system (busway), terlalu berat menanggung volume pengguna transportasi,” kata pehobi musik dan travelling ini.

“Pembangunan yang giat dikerjakan lainnya adalah, membangun bandara internasional Soekarno-Hatta yang sudah ketinggalan. Dari segi kapasitas pun, bandara peraih Aga Khan Award di bidang Arsitektur itu tak lagi memadai”, katanya. Ditambahkannya lagi, bahwa “kita membangun terminal baru tak hanya di Jakarta, tetapi juga di Bali, Jambi, Tanjung Pinang, Balikpapan, Samarinda, Semarang, Surabaya, bahkan bapak ibu dari Sumatera Utara juga bisa menikmati terminal baru. Untuk Jakarta sudah saatnya mempunyai multiple airport, dengan dua bandara yang tandem, seperti ada di San Francisco dan New York.”

Adapun untuk meringankan beban jalan raya, Kementerian Perhubungan RI tengah membangun kereta api bandara dengan titik perhentian di tengah kota, yaitu di Manggarai dan Sudirman. Ini akan mengurangi kebutuhan naik mobil, dan KA memiliki keunggulan-keunggulan, di antaranya mampu mengangkut muatan dalam jumlah besar (masal), hemat energi, berjarak jangkau yang fleksibel, hemat lahan, ramah lingkungan, aman, nyaman, selamat, dan biayanya terjangkau.

Fenomena motor yang begitu banyak di Indonesia, menurut Bambang Susantono, memang sesuatu yang luar biasa. Ahli transportasi di luar negeri saja tidak punya ‘resep’ untuk mengatasinya, karena mereka tidak mengalami hal itu di negaranya. Negara yang mendekati kondisi di Indonesia, hanya Taiwan dan Vietnam, lalu disusul India. Namun ke depan, hemat Bambang Susantono, dengan makin tersedia dan membaiknya transportasi umum, kemungkinan besar masyarakat akan beralih dan meninggalkan motor.

Pekerjaan rumah untuk Jakarta adalah menata ulang sistem transportasi yang baik dan memadai, di mana satu moda dengan moda lainnya saling terpadu, jadwal tiba dan berangkat tepat waktu dan kelak akan tercipta kota layak huni yang menyenangkan.

“Waktu belajar di Amerika, saya seorang transit dependent, yaitu orang yang sangat tergantung pada angkutan umum. Kebetulan kuliah di UC Berkeley, saya merasakan bagaimana enaknya punya satu kota yg dilengkapi dengan sistem transportasi yg baik, tepat waktu, bersih, nyaman, sehingga kita bisa mengelola waktu dengan baik. Jadi, tidak dimarahi dosen karena datang terlambat, ha ha ha,” kenang Bambang Susantono, yang kembali ke Indonesia pun tertantang untuk lebih menggeluti dunia transportasi.

Ia bergabung dengan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), lalu menjadi ketuanya. Pada periode kepemimpinannya itulah, MTI melakukan reformasi, dari semula bersifat elitis dengan anggota kaum akademisi saja, lalu dibuka kepada berbagai pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat. Bersama berjuang, karena sama-sama memiliki kepentingan, kepedulian dan daya juang serupa untuk membenahi transportasi. Hingga kini suara MTI benar-benar didengar pemerintah dan menjadi sumber acuan masyarakat terhadap permasalahan transportasi di Indonesia.

Perjuangkan Transportasi Yang Humanis

Lahir di Yogyakarta, Jawa Tengah, lalu pada umur 6 bulan dibawa orang tuanya—Brigjen (purn) dr Muhammad Susantono, dan Roestini yang berdinas di Nangroe Aceh Darussalam. Selama 5,5 tahun di sana, kemudian pindah ke Jakarta hingga menamatkan sekolah di SMA Kanisius.

Lulus Fakultas Teknik Sipil ITB, ia bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum dan mendapatkan beasiswa kuliah di UC Berkeley, Amerika. Kala itu berangkat bersama istri, Lusie Indrawati Susantono dan seorang putri, Nurul Parameswari Susantono (20). Di Negeri Paman Sam ini, lahir putri kedua mereka, Diannisa Paramitha Susantono (18). Berhasil meraih dua gelar master dan doktornya, kembali ke Tanah Air dan ditugaskan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

“Saya ditugaskan di bidang infrastruktur dan pengembangan wilayah, persis sekali dengan dua bidang master saya bila digabung. Kemudian ditempatkan di Kementerian Perhubungan, dan dipercaya menjadi Wakil Menteri Perhubungan. Jadi, kebetulan sekali jabatan yang diberikan selalu sesuai dengan latar belakang pendidikan saya. Tuhan Maha Mengatur,” ujar Bambang Susantono yang aktif di organisasi di dalam dan luar negeri. Di antaranya, menjadi President of Intelligent Transportation System se-Indonesia yang merupakan bagian dari dewan untuk Asia Pasifik, lalu anggota Dewan Pengarah di yayasan tentang perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan yang berpusat di Johanesberg, Afrika Selatan. .

“Kata Ayah saya, jabatan itu seperti kita memakai baju. Kadang mengenakan batik, kadang kasual, kadang berseragam. Nah, yang tidak berubah adalah diri kita yang sebenarnya. Dan kelak bila tidak menjabat lagi, saya ingin tetap menjadi pendidik hingga akhir hayat saya,” ujar dosen mata kuliah kebijakan transportasi, perencanaan kerja transportasi dan project finance pada Program S2 dan S3 di UI dan Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD).
Di ujung bincang-bincang, Wamenhub Bambang Susantono mengingatkan, bahwa kata kunci dalam membenahi transportsi adalah role sharing, berbagi peran, antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

“Sepatutnya kita menyatukan langkah bersama. Dari awal, sikap, visi, konsistensi dan platform kerja saya adalah memperjuangkan transportasi yang humanis dan benar-benar meng-uwong-kan masyarakat.” (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?50851

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :