“Aduuuh … repot lah hidup di Amerika tanpa pembantu!”
“Semuanya musti dikerjain sendiri!”

Jika anda orang Indonesia tinggal di Amerika Serikat (AS), pasti Anda pernah mendengar “sajak” senada di atas, yang diungkapkan anggota keluarga atau teman Anda, bukan? Bahkan, jangan-jangan Anda sendiri pernah menggerutu soal Pembantu Rumah Tangga (PRT).

Di negeri yang serba otomatis seperti AS, tentu banyak keluarga Indonesia yang bisa bertahan mengerjakan tugas sehari-hari di seputar rumah secara mandiri. Dari urusan mengasuh anak, masak cepat buat keluarga, bersih-bersih rumah atau apartemen, termasuk buang sampah, sampai laundry. Meski, kabarnya ada saja isteri atau suami yang bertukar pantun seperti, “Buset deh… emangnya gue pembantu?”. Bagaimanapun juga, salut buat Anda, keluarga Indonesia di AS yang sukses tanpa pembantu.

Tentu saja tidak ada salahnya mempekerjakan PRT di AS. Apalagi jika sang majikan mengikuti aturan main dan hukum di AS. Juga, apabila si tuan dan nyonya rumah mengindahkan hak-hak dan kebebasan/keleluasaan terhadap sang PRT. Tetapi, apakah semua majikan asal Indonesia di AS begitu?

Pasangan Mahender, 56, dan Varsha Sabhnani, 49, boleh dibilang milioner, sukses dengan bisnis parfum di Amerika di tahun 2000-an. Mahendar asal Pakistan dan isterinya, Varsha, adalah keturunan India asal Indonesia. Keduanya menikah dijodohkan keluarga karena satu agama. Keluarga ini punya mansion di Long Island, New York.

Varsha yang sudah terbiasa punya banyak pembantu waktu dibesarkan di Indonesia ini meminta Nyonya Joti, ibunya, membawa pembantu dari Indonesia ke Amerika. Tidak cukup satu, tapi dua. Samirah diboyong ke Amerika 2002 dan Enung “diimpor” tahun 2005. Gaji kedua PRT dijanjikan akan ditransfer lewat keluarga Varsha di Jakarta ke keluarga pembantu di Indonesia.

Singkat cerita, New York geger dengan berita pembantu Indonesia yang kabur karena disiksa majikannya. Pada tanggal 13 Mei 2007, dengan mengenakan celana pendek dan sehelai handuk seadanya, Samirah muncul kebingungan di gerai Dunkin Donuts di kawasan Syosset, New York. Perempuan malang ini dengan bahasa isyarat mencoba menjelaskan situasinya. Yang jelas, mukanya babak belur menyisakan tanda-tanda kekerasan.

Polisi segera dipanggil dan petugas imigrasi segera mendatangi rumah Sabhnani dan mendapati Enung, pembantu Indonesia lainnya bersembunyi ketakutan di dalam closet.

Lewat penerjemah, kedua pembantu ini melaporkan kepada pihak berwajib bahwa mereka selama itu kerja paksa di rumah Sabhnani di Long Island. Mereka juga bercerita soal kelaparan, pemukulan dan penyiksaan di rumah tangga itu.

Kesalahan kecil bisa berakibat hukuman fatal buat Samirah dan Enung, seperti disayat pisau, disiram air panas oleh majikannya, dipaksa terus menerus naik turun tangga, harus mandi 30 kali dalam waktu 3 jam dan dipaksa telanjang keliling rumah! Samirah pernah dipaksa melahap 100 cabai pedas, kemudian 6 sendok bubuk cabai yang dicampur air garam, sampai muntah! Bahkan, sehabis muntah, Samirah pun dipaksa memakan muntahnya sendiri!

Seringkali dua pembantu malang ini sengaja dibikin kelaparan. Mau tidak mau, mereka makan dengan memungut sisa makanan yang sudah dibuang ke tempat sampah. Satu waktu, Samirah tidak diperbolehkan makan hingga jam 3 sore. Begitu laparnya, Samirah terpaksa menenggak susu dari kulkas. Ketahuan anak majikannya, Samirah langsung kena hajar Varsha. Perlakuan itu masih kurang lengkap. Samirah dipaksa mengulangi lagi adegan “mencuri” susu di depan kamera. Jika “mencuri” lagi, Samirah diancam, fotonya akan dikirim ke anak-anaknya di Indonesia.

Jika dihitung-hitung, Samirah dan Enung hanya digaji $100 per bulan untuk kerja 17 jam sehari tanpa hari libur dan gajinya praktis cuma 20 sen per jamnya. Gaji yang katanya akan ditransfer ke Indonesia tidak pernah menjadi kenyataan.

Akhir cerita sedih tadi, si nyonya rumah dihukum 10 tahun penjara dan masih meringkuk di penjara federal Waseca, Minnesota. Sedangkan, si tuan rumah yang diganjar 5 tahun penjara karena membiarkan si nyonya rumah melakukan aksi jahatnya. Keluarga ini kehilangan rumahnya, dijual sebagai ganti rugi perlakuan buruk mereka terhadap dua pembantunya. Samirah dan Enung ditolong dan ditampung oleh Catholic Charities dan tercatat memperoleh Visa T untuk tinggal secara legal di Amerika.

Kasus Samirah dan Enung adalah salah satu kasus paling tragis yang pernah dilaporkan menimpa PRT Indonesia di Amerika. Hak-hak mereka jelas-jelas dirampas oleh majikannya. Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan kondisi perlindungan hak para pembantu rumah tangga secara umumnya di Amerika Serikat?

Hukum federal AS memang tidak secara khusus memasukkan profesi PRT dalam Undang Undang (UU) Perburuhan. Tetapi bukan berarti, majikan bisa melenggang bebas dan memperlakukan pembantu seenaknya. Fair Labor Standards Act (FLSA) adalah UU federal yang bisa menjerat majikan nakal yang cuma menggaji PRT di bawah upah minimum. Majikan berisiko melanggar UU Imigrasi karena mempekerjakan (harboring) imigran gelap di rumahnya. Dan, jangan lupa, ada Victim of Trafficking and Victim of Violence Protection Act 2000 yang melindungi hak-hak PRT di AS, korban trafficking.

Dari 50 negara bagian, New York merupakan negara bagian pertama dan satu-satunya di AS yang sudah mengundangkan perlindungan terhadap para pembantu sejak 2010. Ini termasuk caregiver, housekeeper, tukang masak, home aid worker untuk panti wreda (nursing home) dan tukang kebun.

California mencoba menggolkan Undang Undang perlindungan terhadap PRT tahun ini. Tapi RUU dengan kode AB889 di California ini kandas kena veto Gubernur Jerry Brown September lalu. Gubernur Brown kuatir dengan konsekuensi pajak UU ini. Para aktivitas LSM dan pembuat UU di California masih berjuang keras menggodok UU perlindungan PRT menjadi kenyataan.

Asal Anda tahu saja, UU perlindungan terhadap PRT itu begitu penting di negara bagian seperti California, karena kebanyakan pekerja sektor ini adalah ratusan ribu perempuan dan kaum imigran, termasuk dari Indonesia. Semakin penting, karena banyak PRT ini merupakan korban human trafficking dan bisa saja berasal dari Indonesia. Menurut CIA, ada sekitar 17.500 orang (perempuan, lelaki dan anak) yang diperdagangkan dan masuk ke wilayah AS. Banyak yang dipekerjakan di industri seks dan termasuk menjadi PRT !

Perlindungan terhadap hak-hak PRT di AS memang soal pelik. Ini, karena pelanggaran majikan terhadap hak PRT sering terjadi di dalam rumah, tidak ketahuan orang. Lebih rawan lagi, sang PRT tidak berani buka suara atau melapor ke pihak berwajib, karena sangat tergantung majikan. Semakin parah lagi, karena sang pembantu tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan sama sekali buta soal hukum di AS. Yang terjadi adalah, banyak PRT terpaksa diam saja, meski ditekan majikannya selama bertahun-tahun.

September lalu, Presiden Obama menyempatkan diri bicara di depan banyak orang penting dalam acara Clinton Global Initiative (CGI) di New York.
Presiden kulit hitam pertama Amerika ini bicara soal ketidakadilan dan kekejaman Human Trafficking. Obama bilang, perdagangan manusia ini harus disebut sebagai Perbudakan Modern.

Dalam pidatonya Presiden mengatakan, “Ketika seorang perempuan disekap paksa bekerja di pabrik, atau terkurung di rumah sebagai Pembantu Rumah Tangga, sendirian dan diperlakukan secara kejam dan tidak bisa kabur, itu namanya Perbudakan”.

Menariknya, siang itu Obama memberikan penghargaan buat Ima Matul, orang Indonesia , staf dari Coalition Against Slavery and Trafficking(CAST) sebuah yayasan di Los Angeles, yang berjuang melawan perbudakan modern. Ima Matul adalah mantan PRT korban trafficking dari majikannya sendiri yang juga berasal dari Indonesia. Sekarang Ima menjadi juru bicara yang menyuarakan nasib sesama PRT di AS.

Terhadap para pembantu Indonesia di AS yang hak-haknya dilanggar majikan, Ima Matul berpesan, agar PRT yang bersangkutan tidak perlu takut. Ada organisasi yang membantu mereka.

“Susah juga ya, korban kekerasan dan trafficking yang lapor ke Konsulat Indonesia justru tidak didukung, malah dianggap menjelek-jelekkan Negara Indonesia”, ungkap Ima.

Nanny, maid, bediende , pembokat, pramuwisma, bibi, mbak dan si embok. Apapun sebutan Anda buat PRT kaum tak berdaya ini, hak-hak mereka sudah diakui secara luas di AS. Melalui film The Help yang sukses, nasib mereka makin diperhatikan. Suara mereka semakin didengar, bahkan diperjuangkan oleh artis Hollywood. Eksploitasi terhadap manusia, memang seharusnya dihentikan! (1006)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?50256

Untuk melihat artikel Amerika / Main Story lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :