Untuk nonton video Part 2, Klik disini

Untuk nonton video Part 3, Klik disini

Gantungkan mimpi setinggi langit, demikian nasihat orang tua. Begitu nasihat yang disampaikan pasangan (alm) Syarifuddin Nasution dan istrinya, Hj Masliana Nasution kepada anak-anaknya, termasuk Hamsar Haical. Berbekal fotokopi ijazah dan 4 lembar pecahan lima puluh ribuan, pemuda itu merantau dari Medan ke Jakarta. Semangat, tekun, sabar, ulet dan berdoa membuatnya menaklukkan kota Jakarta.

Lahir di Medan, Sumatera Utara 37 tahun silam. Hamsar Haical, sapaan akrabnya, tumbuh bersama 4 saudaranya yang saling menyayangi, hingga kemudian lulus kuliah dari akademi perbankan pada 1996. Seperti banyak pemuda di Tanah Air, ia memegang ijazah sarjana, tapi belum punya pengalaman kerja. Namun yang membedakan dirinya, ia punya tekad yang besar untuk maju. Ia ingin sukses dan hidup sejahtera dengan ikhtiar sendiri. Ia malu meminta modal dari orang tua, karena masih ada adik yang membutuhkan biaya sekolah. Ia juga tak sampai hati membebani orang tua.

Melamar kerja di perusahaan, pikirnya, mayoritas orang melakukan itu. Tentu persaingan ketat, maklum daya serap tenaga kerja sedikit dibanding yang berebut mencari kerja. Waktu terus berjalan. Menunggu hanya menghilangkan peluang untuk menembus celah mencari rezeki. Akhirnya ia putuskan untuk meninggalkan kampung halaman, merantau ke Ibukota.

“Saya masih ingat, hari itu tanggal 20 Agustus 1996, pukul 5 sore saya menginjakkan kaki di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Uang tabungan hanya cukup untuk tiket pesawat, dan sisanya 200 ribu di kantung, pemberian Ayah. Saya tak tahu mau buat apa di Jakarta, yang pasti tekad saya satu: harus berhasil!” Hamsar membuka perbincangan.

Ikut Paman dan Membantu di Toko

Hal pertama yang tebersit di benak Hamsar kala itu adalah berniaga. Tapi apa yang akan dijualnya? Belum terpikir satu pun benda apa itu. “Ya, aku akan jadi usahawan saja. Berjualan, yang penting halal. Ijazah bolehlah ada, tapi aku tak mau menunggu. Aku harus bergerak, kalau tidak aku dilibas roda kehidupan ini,” ujarnya, meyakinkan dirinya.

Hamsar, sangat keras pendiriannya untuk mencapai cita-cita. Untuk langsung berdiri sendiri tentu diperlukan uang yang cukup. Ini tak mungkin dilakukannya.

“Empat bulan lamanya aku menganggur. Tinggal ikut paman di Pondok Cabe, Jakarta Selatan. Bantu-bantu di tokonya yang menjual suku cadang mobil. Itulah awal aku mengenal alat bernama shock breaker, kopling dan sebagainya,” kenang Hamsar ke masa-masa awal ia memulai kiprahnya di dunia usaha penjualan suku cadang. “Aku tak tahu liku-liku usaha ini. Banyak sekali onderdil mobil, ada ratusan. Tak kuingat semua. Hapal nama satu alat, lalu lupa alat yang lain. Begitulah”, katanya.

Tapi Hamsar tak mau menyerah. Meski pening kepala menghapal nama onderdil mobil, dari benda yang berukuran besar hingga yang kecil seperti busi, dicobanya menjejalkannya ke dalam ingatan. Berkat kemauan dan keuletannya belajar pada sang Paman yang bijak dan mengasuh, akhirnya ia menguasai usaha penjualan suku cadang.

Mandiri, Dirampok Penjahat

Pada 1997 Hamsar mencoba lepas dari pamannya untuk menjadi seorang sales man penyuplai barang suku cadang ke toko-toko. Sifatnya yang jujur, para agen percaya memberi barang untuk diedarkan olehnya. Rupiah demi rupiah ditabungnya sebagian, sementara sebagian lainnya dikirimnya kepada orang tua dan untuk biaya hidup sehari-hari. Hidupnya sudah mulai lumayan.

Tetapi baru saja bernapas lega, karena menemukan rejeki di perantauan, cobaan datang. Pada suatu hari, tatkala ia pulang mengantar onderdil ke toko rekannya, ia dirampok di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Memang waktu itu hari sudah malam. Rawan sekali berkendaraan motor sendirian.

Segerombolan penjahat mencegatnya secara mendadak sehingga Hamsar jatuh tersungkur. Belum sempat menyadari musibah yang menimpanya, ia sudah dipukul dengan benda tumpul. Tangannya patah. Penjahat itu lalu merampas motor dan tas yang dibawanya. Semua habis! Motor, bon tagihan, uang hasil tagihan digondol perampok.

Pantang Surut Langkah

Hamsar tidak mudah menyerah. Baginya, pantang surut langkah atau jera. Mimpinya untuk menjadi orang sukses tetap hidup. Paling tidak, jerih payahnya merantau meninggalkan orang tua dan saudara-saudara yang dicintainya di kampung halaman membuahkan hasil.

Setelah tangannya sembuh, ia langsung bangkit lagi. Sama sekali tidak trauma. Bahkan sampai sekarang, bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB) dari motor yang dirampok itu masih disimpannya. “Sebagai kenang-kenangan,” katanya. “Ini bukti sejarah perjuangan saya meniti kehidupan. Jangan pernah trauma, karena bila rasa negatif itu diikuti, kita akan kalah dan hanya jadi pecundang”, jelasnya.

Bertemu Jodoh di Kapal Laut

Singkat cerita, Hamsar terus menelusuri jalan usahanya yang penuh dengan aneka kendala itu. Hamsar tetap tabah dan tak pernah lupa atas nasihat ayah dan bundanya jangan patah hati untuk mengejar cita-cita dan terus maju. Karena itulah dari uang yang terkumpul, ia mulai membuka toko suku cadang berkat kepercayaan dari agen-agen yang memasok barang dan dibayar kemudian. Kepercayaan ini betul-betul dijaga Hamsar. Karena menurutnya, kepercayaan adalah kunci untuk menapaki dunia usaha atau di sektor apa pun.

Pada 1999, di sela kegiatannya berusaha, Tuhan mempertemukan Hamsar dengan Ratna seorang perempuan yang cantik. Mereka bertemu di atas kapal laut dalam perjalanan dari Jakarta ke Medan. Ketika itu ia berkenalan dengan seorang bapak, yang akhirnya mempertautkannya dengan anak perempuannya. Tiga tahun kemudian mereka menikah dan kini dikaruniai tiga anak, Nadila dan kembarannya Nadira (9), serta seorang adik lelaki, Maulana (4).

“Waktu menikah, kami juga tidak mau merepotkan siapapun. Dengan biaya sendiri naik ke pelaminan, lalu tinggal mengontrak di perumahan Maharaja, Depok. Dan syukurlah, kini kami tinggal di rumah sendiri, dan membuka unit toko onderdil dan suku cadang sendiri. Syukur selamanya kepada Tuhan Yang Maha Pengasih,” katanya.

Awalnya, ia dibantu oleh 4 karyawan dalam mengelola usahanya. Ada karyawannya yang bekerja sambil menyelesaikan kuliah dan ada juga yang sudah berkeluarga.
Syukurlah, ikhtiar ini bisa membuka lapangan kerja dan menghidupi anak buah yang saya anggap sebagai keluarga kami sendiri,” tandas Hamsar yang diamini oleh Ratna, sang istri.

Kisah hidup Hamsar Haical, patut direnungi kaum muda, bahwa hidup harus diperjuangkan. “Dengan bekerja keras”, kata Hamsar, “kita dapat memperoleh suatu hasil untuk diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Jangan pantang menyerah”, ujarnya, mengakhiri bincang-bincang dengan Kabari. (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?50246

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :