Tan. Namanya Tan Joe Hok. Nama yang telah jauh melampaui masa sekarang. Di usia yang sudah sangat senja, dia masih mengingat banyak hal yang telah terjadi, antara dirinya, bulutangkis dan Indonesia. Seperti pelangi, hidupnya berwarna.

Lahir di Sumedang ketika zaman malaise baru berakhir. Malaise mulai melanda sekitar tahun 1929 dengan jatuhnya saham di New York. Kemudian, berimbas pada tingkat perekonomian negara di seluruh dunia yang membuat keadaan semakin terpuruk. Ketika malaise berakhir, datang masa perang dunia II dan pendudukan Jepang atas Indonesia.

Zaman itulah yang yang membuat kehidupan keluarga Tan Joe Hok sulit. “Saya lahir di jaman yang salah,” katanya. Tan, anak kedua dari tujuh bersaudara harus hidup serba terbatas dan pindah dari Sumedang ke Bandung. Di Bandung pun, keluarganya harus berpindah-pindah.

Ketika keluarganya menempati sebuah rumah sederhana di Gang Kote Bandung, dia mulai melihat para tetangga main bulutangkis. Lantas pindah ke kawasan Cicendo Bandung dan menempati rumah berpekarangan luas. Ayahnya membuat lapangan bulutangkis sederhana di halaman rumah mereka dengan garis terbuat dari bambu. Setiap hari, lapangan itu tak pernah sepi. Sejak pagi sampai malam, keluarga Tan dan para tetangga bergantian bermain badminton di sana.

Saat itu, Tan yang berusia 13 tahun, hanyalah ‘anak bawang’ yang ditugasi membawa kok dan raket. Keseringan menonton membuat minatnya untuk bermain bulu tangkis makin besar. Saat itu dia tidak memiliki raket, menggunakan kelom (sandal dari kayu) milik ibunya. Dengan kelom dan kok bekas yang bulunya tinggal tiga lembar, dia sering mengajak pembantu mereka bermain badminton.

Meski hanya memakai kelom, banyak yang memuji kemampuan Tan main bulu tangkis. Mereka mengatakan, gerakan kaki dan tangannya cepat sekali. Orang yang sudah bermain puluhan tahun pun gampang dikalahkan. Tan yang tak mengerti teknik, hanya belajar soal gerakan kaki dari pertandingan tinju yang sering disaksikannya di Bandung.

Melihat permainan Tan, seorang pemain bulu tangkis Bandung saat itu, Lie Tjoe Kong memuji bakat Tan. Dia mengajaknya masuk Blue White, klub bulu tangkis terkuat di Bandung. Blue White inilah cikal-bakal Klub Mutiara yang di masa depan menghasilkan pemain hebat seperti Christian Hadinata, Imelda Wigoena, dan Ivanna Lie.

Mendengar pujian itu, Tan tak menyia-nyiakan kesempatant tersebut, dengan berlatih tiap hari mulai pukul lima pagi. Tan harus berlatih di lapangan bulu tangkis PB Pusaka di Jalan Kiara Condong. Meski bangunannya terbuat dari bilik, lapangannya cukup bagus karena sudah dipoles semen.

Dari sinilah kariernya sebagai pemain bulu tangkis terus melesat. Berkali-kali ikut kejuaraan dan selalu menang. Ketika usianya 15 tahun, Tan sudah menang di Kejuaraan Bandung. Selanjutnya, mulai mengikuti kejuaraan nasional. Dua tahun kemudian, pada 1954, dia jadi juara Indonesia, mengalahkan Njoo Kim Bie, pebulu tangkis dari Surabaya yang saat itu sedang tenar dan terkenal dengan smash-nya yang mematikan. Dua tahun berikutnya, giliran pemain terkenal Eddy Jusuf dikalahkannya.

Tan juga diundang mengikuti pertandingan di India Timur, Bombay, New Delhi, Calcutta, Ghorapur, dan Jabalpur pada 1957 dan dia selalu menang. Lalu Tan, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan, dan Njoo Kim Bie terpilih sebagai tim pertama Indonesia untuk merebut Piala Thomas 1958, dan berhasil. Kemenangan pertama tim Indonesia di Thomas Cup pun disambut meriah dengan tabuhan beduk di masjid, dentingan lonceng di gereja, serta disiarkan di radio. Mereka juga diarak dari Jakarta ke Bandung, lewat Puncak.

Dia lantas menjadi menjuara All England pada 1959 dan meraih medali emas Asian Games tiga tahun kemudian. Tan diulas panjang-lebar di majalah Sport Illustrated,majalah olahraga bergengsi di Amerika, ketika usianya 22 tahun. Mereka menyebutnya sebagai pemain tak terkalahkan.

Setelah berturut-turut meraih kemenangan di kejuaraan All England, Kanada, dan Amerika Serikat, Tan memutuskan menggantung raket. Dia tak kembali ke Indonesia namun menuju Texas, AS karena mendapat beasiswa untuk kuliah di Baylor University, jurusan Premedical Major in Chemistry and Biology. Untuk biaya hidup sehari-hari, dia bekerja serabutan. Apa saja dikerjakan, termasuk menjadi petugas pembersih kampus yang dibayar satu jam 50 sen dolar. “Saya bekerja delapan jam agar bisa menyambung hidup. Saat itu untuk makan sekitar satu dolar. Saya mau menjalani pekerjaan itu demi selesainya sekolah saya, “kata Tan.

Tapi rupanya panggilan untuk terus bermain bulu tangkis tak bisa diredam. Saat menjalankan studi di Baylor (1959-1963), Tan masih sempat pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Jakarta pada 1961 dan di Tokyo pada 1964. Bahkan, pada 1962, dia juga pulang untuk Asian Games dan menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih medali emas di arena Asian Games. “Saya akhirnya memilih tinggal di Indonesia dan mengurungkan niat kembali ke Amerika meneruskan studi S-2 saat Presiden Soekarno mencanangkan ‘Ganyang Malaysia’ dan ‘Ganyang Antek Imperialis “, lanjut Tan.

Namun, peristiwa Gerakan 30 September mengubah segalanya. Sebagai warga keturunan Tionghoa, Tan dan teman-teman mulai mendapat perlakuan berbeda. “Kami seperti dianggap bukan bagian dari bangsa ini. Saya yang dulu dijunjung tinggi setinggi langit di bawah bendera Merah-Putih harus antre berjam-jam membaur dengan warga Glodok dan daerah lain demi mendapat SBKRI bahwa saya orang Indonesia”katanya.

Tahun 1967. Kolonel Mulyono dari CPM (Korps Polisi Militer) Guntur, mengumpulkan semua anggota tim Piala Thomas di mess atlet Senayan. Para atlet yang menggunakan nama berbau Tionghoa diperintahkan mengganti nama. Kolonel Mulyono sudah menyiapkan nama pengganti masing-masing.

Hari itu juga, anggota tim Piala Thomas menyandang nama baru. Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra,Lie Po Djian menjadi Pujianto, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan,Wong Peks Sen menjadi Darmadi, Tjong Kie Nyan menjadi Mintarya, dan Tjia Kian Sien menjadi Indratno. Tan juga diubah menjadi Hendra Kartanegara. Nama Hendra diberikan oleh Panglima Kodam Siliwangi waktu itu, H.R. Dharsono.” Sedang Kartanegara saya karang sendiri. Pokoknya, nama Tan tidak hilang. Jadilah nama saya Hendra Kartanegara. Pergantian nama itu bagi saya amat menyakitkan, “ lanjutnya.

Situasi tersebut membuatnya meninggalkan Indonesia pada tahun 1969 untuk menjadi pelatih bulu tangkis di Meksiko dan Hong Kong. “ Saya kembali ke Jakarta pada 1972 dan mendirikan usaha di bidang pest control, jasa pengendalian hama”, kata Tan.

Namun kecintaan terhadap bulu tangkis tetap tak terbendung. Bersama Tahir Djide, dia menjadi pelatih tim Piala Thomas 1984. Tim Indonesia terdiri atas Liem Swie King, Hastomo Arbi, Icuk Sugiarto, Christian Hadinata, Hadibowo, dan Kartono akhirnya sukses mengalahkan Han Jian dan kawan-kawan dari RRT.

Tapi perlakuan terhadap warga keturunan tak juga berakhir. Tan ingat, ketika kerusuhan melanda Jakarta pada Mei 1998. Waktu itu dia baru ditinggalkan istrinya yang meninggal dan kesulitan mencari tiket untuk anak-anaknya. “Saya ingin anak-anak segera meninggalkan Jakarta”, katanya. Mereka tak mendapat tiket dan rumah mereka di kawasan Pancoran tak mengalami kerusakan.

Tan sekarang menghabiskan masa tua dengan tetap di Jakarta dengan berbagai kegiatan ; menonton dan melihat berita lewat televisi, belajar bahasa asing dan memotret. Dia aktif di Komunitas Bulu Tangkis Indonesia, perkumpulan mantan atlet dan pengurus. Mereka membantu teman-teman atlet yang masa tuanya kurang beruntung, sakit-sakitan dan kehabisan uang. “Makanya saya selalu berdoa: Tuhan, jika waktunya tiba, janganlah saya dipersulit, bawalah saya dengan damai”, tutupnya. (1002)

Profil :

Nama : Tan Joe Hok (Hendra Kartanegara)
Lahir : Bandung, 11 Agustus 1937
Istri : Goei Kiok Nio (almarhum)
Anak: Mariana Kartanegara, Didik Kartanegara
Pendidikan: SD, SMP, SMA di Bandung, Premedical Major in Chemistry & Biologi, Baylor University, Texas, AS (1959-1963)

Prestasi :
– Juara Kejurnas Surabaya 1956
– Juara Piala Thomas 1958, 1961, dan 1964
– Juara All England 1959
– Juara Kanada Terbuka 1959
– Juara Amerika Serikat Terbuka 1959
– Juara Asian Games 1962

Karier Pelatih:
– Pelatih Meksiko 1969-1970
– Pelatih Hong Kong 1971
– Pelatih Tim Thomas Indonesia di Kuala Lumpur 1984
– Pelatih PB Jarum Kudus

Penghargaan:

– Pelatih Olahraga Terbaik Siwo/PWI Jaya 1984
– Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia atas prestasi menjadi juara di tiga pertandingan selama dua pekan, yakni All England, Kanada Terbuka, dan Amerika Serikat Terbuka pada Oktober 2007

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?48896

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :