Di tengah krisis bahan bakar dan kebutuhan untuk menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM)
di Indonesia dalam 6 bulan ini, pertanyaan yang sering terlupakan
adalah, seberapa banyak cadangan minyak di Indonesia dan bagaimana
pengelolaannya? Seberapa bagus mutunya dan seberapa lama cadangan itu
dapat kita berikan kepada generasi selanjutnya ?

Ada sekitar delapan daerah penghasil minyak bumi besar di Indonesia,
terbesar adalah Riau , bisa menghasilkan 365.827 barrel per hari dan
mutunya masuk yang terbaik.
Ada 6 blok minyak di Riau, yaitu Blok Rokan, Mountain Front Kuantan,
Siak Blok, Selat Panjang, Coastal Plains & Pekanbaru dan Malacca
Strait. Kesemuanya dioperasikan oleh perusahan asing dan lokal yaitu Chevron, Petroselat, Pertamina, Bumi Siak Pusako, Sarana Pembangunan Riau, dan Kondur Petroleum.

Blok Rokan berupa ladang minyak yang berukuran sangat besar dan
berada di Duri. Kebanyakan hasil dari blok ini adalah minyak minas.
Minas adalah minyak yang berkualitas paling baik karena sangat kental
dan berharga sangat mahal di pasaran. Blok Rokan saja mampu menghasilkan
340.206 barrel per hari, lebih dari sepertiga total produksi harian di
Indonesia. Selain memiliki hasil alam minyak bumi, Riau juga memiliki
gas bumi.
Penghasil minyak kedua setelah Riau adalah Kalimantan Timur (Kaltim). Perusahaan minyak yang bekerja di Kaltim adalah Total, Chevron, Vico,
dan Medco (Indonesia). Sementara blok yang dioperasikan bernama
Sanga-sanga, Mamburungan, Kutai, dan Mahakam (Total). Produksi per
harinya bisa mencapai 134.626 barrel.

Penghasil minyak bumi ke tiga yang cukup besar adalah dari laut,
yaitu bentangan laut dari Sumatera bagian tenggara sampai dekat Jawa
Barat. Minyak di lepas pantai ini mampu menghasilkan minyak sebesar
65.154 barrel per harinya. Perusahaan yang mengoperasikan adalah British Petroleum (BP), Pertamina, dan Conoco Philips.

Propinsi Kepulauan Riau (Kepri) adalah daerah penghasil minyak yang
cukup besar. Berada di posisi ke empat dengan hasil 61.575 barrel per
hari, selain juga memiliki cadangan gas bumi yang cukup besar. Daerah
ini dikelola oleh Premier Oil, Conoco Philips dan Star Energy.

Di posisi kelima penghasil minyak bumi adalah propinsi Jawa Timur.
Jatim memiliki cadangan minyak yang besar dan dua terbesar adalah blok
Cepu dan dan blok Brantas. Dua blok ini dapat menghasilkan 52.616 barrel
per hari. Selain dua blok di atas juga ada di Blok Tuban, Kangean blok,
Madura, Bawean, dan Gresik. Perusahaan pengelolanya adalah Hess, Total, Kodeco Energy, Mobil Oil, Lapindo, Kangean Energy, Pertamina, dan Petrochina. Lapindo milik Bakrie yang menghebohkan itu adalah pengelola blok Brantas.

Sumatera Selatan menempati posisi ke-enam sebagai penghasil minyak
bumi Indonesia dengan Blok Rimau, Selatan dan Sumatera Tengah, Lematang,
Koridor, Pendopo & Raja blok dan Ogan Komering. Seluruh blok ini
dioperasikan oleh Pertamina, Medco, Talisman, Golden Spike, dan Conoco Philips. Produksinya setiap hari 41.057 barrel.

Dua terbawah penghasil minyak besar Indonesia adalah propinsi Jambi
dan Papua Barat. Jambi setiap harinya menghasilkan 19.506 barrel
dikelola oleh Petrochina, Pearl Oil, dan Conoco Philips.
Mereka mengelola Blok Jabung, Bangko, Tungkal dan Jambi Selatan blok B.
Sedangkan Papua Barat menghasilkan minyak bumi sebanyak 14.811 barrel
per hari, dikelola oleh Pertamina, Petrochina dan British Petroleum. Ketiga perusahaan ini mengelola Blok Tangguh, Salawati Kepala Burung dan Kepala Burung.

Saat ini seluruh hasil minyak Indonesia sekitar 912.899 barrel per
hari, sedangkan kebutuhan Indonesia adalah 1,3 juta barrel setiap hari.
Selebihnya harus di impor dari perusahaan asing yang juga mengambil
minyak Indonesia. Suatu keadaan yang ironis.

Dari sekian banyak perusahaan minyak di atas, sebagian besar adalah
perusahaan asing. Indonesia selalu memperpanjang kontrak dengan
perusahaan-perusahaan itu. Blok Cepu misalnya. Grup Exxon yang
beroperasi di sana mendapat 45 persen dari minyak yang dihasilkan,
Pertamina 45 persen dan 10 persennya adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Mengapa kontrak selalu diperpanjang? Teknologikah? Bukan. Sudah
puluhan tahun di Cepu berdiri Akamigas (Akademi Minyak dan Gas), milik
Pertamina. Lalu di ITB dan UGM
juga ada Jurusan Pertambangan yang menghasilkan tenaga pintar yang siap
jadi pengelola. Belum lagi universitas swasta lain seperti Trisakti
yang punya lulusan andal.

Sebenarnya teknologi minyak sudah dikuasai bangsa ini sejak Belanda
pergi dan terjadi nasionalisasi sekitar tahun 1950-an. Pertamina
sebenarnya bisa mengelola sendiri karena mereka memiliki teknologi.
Permodalan mungkin bisa diatasi karena puluhan bank dalam negeri dapat
dengan mudah menyetorkan uang senilai Rp 30 triliun yang dibutuhkan.
Dengan gelontoran minyak begitu banyak dan kebutuhan serta harganya yang
selalu meningkat, bank mana yang tak mau mengambil keuntungan untuk
membantu Pertamina?

Jadi apa penyebab kontrak dengan perusahaan asing diperpanjang?
Jawabannya adalah, mental para pejabat yang tak mau bersusah payah,
dengan mudah menyerahkan kekayaan alam ke pihak asing. “ Mental
penjajah dan dijajah inilah yang tak bisa lepas dari bangsa ini,” kata
mantan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie.

Bisakah kita mengharapkan Pertamina menjadikan Indonesia sebagai
salah satu lumbung minyak dunia dan mampu melakukan pemetaan cadangan
minyak baru? Dengan begitu didapatkan data tentang lokasi minyak bumi
baru di Indonesia.

Tapi itu tentu dengan catatan, mental pejabat yang berwenang
mengelola lokasi-lokasi minyak tidak tergadai. Dengan begitu, mungkin
tak banyak orang yang makin miskin, karena pemerintah menarik subsidi BBM. Kita tidak seharusnya miskin di negara kita yang kaya. Tapi memang, terlalu banyak ironi di negara ini.(1002)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?38033

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :