Membaca sejarah majalah Tempo, sebetulnya sama dengan melihat
perjalanan pers Indonesia. Mereka mengalami dua jaman; Orde Baru dan
Reformasi. Sama dengan perjalanan demokrasi di Indonesia, terpasung dan
kemudian mendapatkan kebebasan berekspresi.

Tempo, majalah mingguan yang desainnya mirip Time ini terbit pertama
kali pada April 1971. Saat itu, Tempo menurunkan berita utama soal
cedera parah yang dialami Minarni, pemain badminton andalan Indonesia di
Asean Games Bangkok, Thailand. Bermodal Rp 20 juta oleh Yayasan Jaya
Raya milik pengusaha Ciputra; dan dikelola oleh para seniman yang
mencintai pekerjaannya.

Para seniman dan wartawan itu adalah Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto
(kemudian keluar), Usamah, Fikri Jufri, Christianto Wibisono, Toeti
Kakiailatu, Harjoko Trisnadi, Lukman Setiawan, Syu’bah Asa, Zen Umar
Purba, Putu Wijaya, Isma Sawitri, Salim Said, dan lainnya. Juga Eric
Samola, orang kepercayaan dari Yayasan Jaya Raya juga turut serta
mengelola Tempo.

Tak dinyana, majalah yang menuliskan reportasenya dengan bentuk
bercerita yang memikat ini cukup laku dipasaran. Edisi pertama laku
sebanyak 10 ribu eksemplar dan edisi kedua 15 ribu eksemplar. Pada tahun
ke 10, Tempo berhasil menjual 100 ribu eksemplar.

Dari dulu sampai sekarang, kekuatan utama Tempo adalah pada
investigasi dan ketidakberpihakannya. Misalnya , tak segan majalah ini
mengkritik perumahan Pantai Indah Kapuk tergenang banjir dengan judul
‘Janji-janji Ciputra’. Ciputra marah. Karena ia adalah komisaris utama
Tempo.

Tetapi itulah “jalan” yang dipilih Tempo. Ia terus tidak berpihak
meski harus melawan “orang tuanya” sendiri. Jalan yang mungkin tidak
mudah diambil oleh pers dalam era industri. Karena itulah Tempo selalu
dicari orang diawal minggu.

Perjalanan Tempo sama panjangnya dengan perjalanan demokrasi di negara ini. Dengan menyimak kisah Tempo dalam buku Cerita di Balik Dapur Tempo
ini, kita dapat melihat tak hanya perjalanan sejarah majalah tersebut,
melainkan juga keberadaan pers di masa Orde Baru. Pelemparan bom molotov
kantor redaksi setelah Tempo atau beberapa kali Tempo harus ke
pengadilan melawan pengusaha-pengusaha besar.

Tercatat, dua kali pernah diberangus. Pertama pada 12 April 1982,
Tempo diberangus oleh Ali Moertopo (Menteri Penerangan). Tempo dianggap
telah melanggar kode etik pers. Diduga, pemberangusan karena Tempo
meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang
berakhir rusuh. Presiden Soeharto, tidak suka dengan berita tersebut. 7
Juni 1982, pemberangusan Tempo dicabut setelah Goenawan membubuhkan
tanda tangan di secarik kertas yang berisi permintaan maaf Tempo dan
kesediaan untuk dibina oleh pemerintah.

Tempo juga pernah ditinggalkan oleh sebagian besar wartawannya karena
alasan kesejahteraan. Sekitar 31 wartawan Tempo memilih keluar dan
mendirikan majalah yang hampir sama, ‘Editor’. Pembenahan manajemen pun
dilakukan dan kesejahteraan karyawan juga diperhatikan. Konflik dianggap
sebagai momentum untuk membenahi kekurangan. “Yang bagus bukanlah
organisasi yang sempurna, tapi organisasi yang tak terlalu sulit
disempurnakan, diperbaiki,” kata Goenawan.

Pemberangusan kedua adalah 21 Juni 1994. Tiga media massa cetak
diberangus sekaligus , yaitu Tempo, Detik, dan Editor. Diduga, Menteri
Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan utama yang membahas keberatan pihak militer terhadap impor yang dilakukan oleh Menristek BJ Habibie.

Pemberangusan tiga media tersebut di atas menyulut berbagai
demonstrasi massa. Salah satunya, demonstrasi berdarah pada 27 Juni 1994
oleh para mahasiswa, dan buruh. Di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga terjadi demonstrasi. Sebagian wartawan sepakat mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka menuduh PWI berdiri di bawah ketiak pemerintah.

Untuk menerbitkan Tempo kembali, saat itu, amat sukar. Keluarga
Presiden Soeharto yang diwakili Hasyim Djojohadikusumo, memberikan
syarat: berita Tempo harus diketahui oleh Keluarga Presiden Soeharto,
pemimpin redaksi harus ditentukan oleh mereka, dan mereka bisa membeli
saham Tempo. Para pengurus Tempo menolaknya. Mereka rela Tempo tidak
pernah terbit lagi. “Ini adalah persoalan integritas diri” alasannya.

Jatuhnya Presiden Soeharto pada reformasi 21 Mei 1998 dan naiknya BJ
Habibie sebagai Presiden memberi angin segar bagi masa depan Tempo. BJ
Habibie mencabut pemberangusan Tempo dan mereka terbit kembali.
“Kami makin sadar ada sesuatu yang lebih berharga ketimbang nafkah dan
kepuasan profesional, yakni kemerdekaan dan harga diri,” tulis editorial
perdana Tempo setelah diberangus. Perkembangan Tempo selanjutnya, amat
menggairahkan. Tiras mencapai sekira 60 ribu eksemplar tiap kali terbit.
Untuk iklan, Tempo meraih 41 persen porsi iklan dibandingkan para
pesaingnya. Persentase tersebut meningkat dan pada tahun 2005 menjadi 70
persen.

Dalam perjalanannya Tempo menerbitkan majalah berbahasa Inggris, Tempo Magazine
dan menjual saham. Dana segar yang kurang lebih Rp74 milyar itu
digunakan untuk mendirikan Koran Tempo, pelunasan utang anak perusahaan,
dan penambahan modal kerja. Kini Tempo telah memiliki radio (Green Radio), TV (Tempo TV), dan kantor berita (KBR 68H).

Buku ini memberikan gambaran, bahwa pers sebaiknya konsisten dengan
idelismenya. Meskipun tekanan terus datang, pantang surut untuk
menyuarakan kebenaran. (1002))

Judul : Cerita di Balik Dapur Tempo
Penulis : Tim Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : Desember 2011
Tebal : 334 halaman
Harga : Rp. 65.000

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?38026

Untuk

melihat artikel Buku lainnya, Klik

di sini

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :