Akhir bulan September lalu, Syaeful Chaniago terpekur. Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)
Maluku bertubi-tubi menerima pembatalan kedatangan tim beberapa negara.
Tgl 30 September – 2 Oktober, Ambon menjadi tuan rumah untuk acara
Konferensi Pemuda Internasional. Sudah 125 delegasi internasional
mendaftarkan diri, namun delegasi Amerika Serikat, Inggris dan Australia
membatalkan hadir pada acara ini.

“Saya paham, delegasi itu membatalkan karena ada larangan pergi
sementara dari negara mereka ke Indonesia,” kata Syaeful. Larangan pergi
ini berkaitan dengan kerusuhan yang pecah di Ambon, tgl 11 September
lalu.

Padahal, awal Oktober ada 2 acara internasional berlangsung di Ambon.
Konferensi Pemuda Internasional dan Ambon Jazz Festival. Banyak
perwakilan negara ingin ke Ambon. Tapi bila negara bersangkutan ragu
akan keamanan Indonesia, mau bagaimana? “ Kami mati-matian menyakinkan
dunia, bahwa Ambon aman,” kata Syaeful. Tapi semua acara itu sukses,
meski beberapa negara dan peserta membatalkan keikutsertaannya.

Maluku, Nama Besar dengan Konflik Tiada Henti

Maluku dan Ambon adalah wilayah dengan nama besar. Indonesia
mencatat nama terkenal seperti J . Leimena, Johannes Latuharhary, Prof.
Dr GA Siwabessy (Menteri Kesehatan Indonesia, 1966-1978), Max Sopacua,
George Toisutta, Rexy Mainaky, Elias Pical, Daniel Sahuleka, Harvey
Malaiholo, sampai Sylvia Pessireron (penulis). Maluku memiliki semuanya;
pahlawan, negarawan, politikus, militer, olahragawan, penyanyi sampai
seniman. Tapi wilayah ini tak surut dari berbagai gejolak yang bernuansa
SARA (Suku, Agama Ras). Kenapa?

Tahun 1999, adalah tahun tak terlupakan bagi masyarakat Ambon.
Kerusuhan yang bernuansa agama terjadi disana dan meninggalkan luka
yang amat dalam di hati masing-masing orang. Banyak tokoh dan pihak
terlibat, antara lain masyarakat Ambon yang tinggal di Jakarta. Tentu,
dengan berbagai kepentingan. Akibatnya, beberapa solusi diambil
pemerintah. Misalnya dengan pembagian wilayah khusus Islam dan Kristen
yang kadang memperparah keadaan. 

Setelah itu, kerusuhan demi kerusuhan kembali berulang. Damai dan
konflik seakan berpacu. Damai seakan hanya terucap di bibir. Meski tak
sebesar 12 tahun lalu, kerusuhan yang bersifat SARA sering tak terelakkan.

Dan kerusuhan yang sama berlangsung pada Minggu,11 September 2011 lalu.
Terpicu karena kematian seorang tukang ojek yang mengalami kecelakaan
tunggal. Tak lama kemudian, beredar pesan singkat bahwa sang tukang
ojek meninggal karena dibunuh. Isu beredar dengan cepat di seluruh
Ambon, dibumbui isu agama. Dan, bentrokan tak terelakkan.

Minggu siang itu, langit kota Ambon diwarnai asap hitam yang
membumbung di beberapa lokasi. Salah satu yang parah adalah dekat Gereja
Protestan Maluku (GPM) Silo Ambon yang
terletak tidak jauh dari tugu Trikora. Sebuah kendaraan roda empat dan
beberapa kendaraan roda dua terbakar.

Suara tembakan mulai menggema di pusat kota. Sejak itu situasi menjadi
menegangkan. Sebagian warga berkerumun di tepi jalan. Beberapa
diantaranya membawa parang. Sementara polisi tampak berjaga di jalanan,
sebagian bersiaga membawa senjata api.

Pihak keamanan yang berusaha memulihkan keadaan dengan memberikan
tembakan peringatan serta menutup beberapa ruas jalan, termasuk menjaga
gereja Silo untuk melokalisir bentrok antar warga. Tujuh orang
meninggal dunia dan puluhan lainnya mengalami luka berat dan luka
ringan. Selain itu sekitar 200 rumah warga hangus terbakar karena
menjadi sasaran kelompok yang bertikai.

Polisi secara tegas menampik tewasnya tukang ojek itu karena pembunuhan.
“Kejadian yang menimpa tukang ojek adalah murni kecelakaan. Saat
korban mengendarai sepeda motor lantas hilang kendali dan menabrak pohon
dan rumah seorang warga bernama Okto. Dia sempat dibawa ke rumah sakit
tapi nyawanya tidak tertolong. Lalu beredar isu dia dibunuh. Hasil
otopsi tidak ada tanda-tanda kekerasan. Murni kecelakaan,” kata Kepala
Hubungan Masyarakat (Humas) Kepolisian Indonesia, Inspektur Jenderal
Polisi Anton Bachrul Alam, pada malam setelah kerusuhan berlangsung.

Kenapa Ambon Begitu Rentan dengan Isu SARA?

“ Akar masalah di Ambon bukan soal agama. Bisa jadi karena masalah
ekonomi dan kecemburuan sosial,” kata Abdul Mu’ti, tokoh Muhammadiyah.
Memang sejak penjajahan Belanda sampai awal reformasi, Ambon menyisakan
banyak hal. Saat Belanda berkuasa, kaum Kristen seakan memperoleh
perlakuan khusus. Mulai dari kemudahan pendidikan, maupun kesempatan
bekerja. Padahal, kaum Islam di Ambon pun banyak, namun tak tersentuh
oleh kebijakan Belanda ini.

Ketika Orde Baru, kaum Islam banyak menduduki jabatan politis dan
birokrasi. Namun saat itu, Soeharto terlalu sibuk berkonsentrasi
membangun Jawa. Sehingga Indonesia Timur hampir tak terjamah, padahal
banyak kekayaan alam yang tak terolah di wilayah ini. Di Papua, Maluku,
Nusa Tenggara Timur, kehidupan kurang layak ditemui di mana-mana dan
akses informasi juga menjadi kendala.

Akibatnya mudah diduga. Dalam keadaan perut tak terisi dan
pertumbuhan ekonomi yang berjalan lambat, serta kesempatan berkembang
yang terbatas, membuat emosi mudah tersulut. Pendeta Henrek Lokra yang
mewakili Persatuan Gereja Indonesia (PGI)
mengatakan, bahwa masyarakat Ambon sudah bosan diadu domba. “Mereka
ingin kehidupan di Ambon kembali normal dan berjalan seperti biasanya,”
katanya.

Ucapan Pendeta Hendrek tak main-main. Bangunan yang terbakar pada
kerusuhan besar tahun 1999 lalu, mulai dibangun kembali. Sebenarnya,
sedikit orang di Ambon yang mau membangun rumah yang telah terbakar,
karena mereka kuatir akan dibakar lagi. “ Namun mereka percaya kerusuhan
tak akan berlangsung lagi. Mereka benar-benar tak mau berkonflik, “ujar
Pendeta Hendrek.

Pada malam setelah kerusuhan itu terjadi, para tokoh-tokoh agama dan
masyarakat setempat segera mengadakan rapat koordinasi untuk meredakan
suasana. Romo Benny Susetyo selaku perwakilan Konferensi Wali Gereja
Indonesia (KWI) menyesalkan lambatnya
tanggapan aparat penegak hukum dalam mencegah terjadinya kerusuhan.
“Polisi harus mengakui lambat menanggapi respon di masyarakat,” kata
Romo Benny.

Jusuf Kalla (mantan Wapres RI) yang datang ke acara Konferensi Pemuda
Internasional di Ambon itu juga menegaskan hal senada. “Banyak orang
menyatakan, konflik Maluku itu adalah konflik agama, tapi saya
menyatakan, konflik Ambon bukan konflik agama. Agama hanya diikutkan dan
disisipkan saja dalam konflik”, ungkapnya. Jusuf Kalla adalah salah
satu penggagas terbentuknya Perjanjian Malino. Perjanjian itu adalah
salah satu upaya pemerintah untuk mendekatkan dua pihak yang bertikai
karena perbedaan keyakinan di Ambon dan Poso.

Dan memang, konflik yang mengatas namakan agama sudah berlangsung
bertahun-tahun dan sulit dihentikan. Hal itu, karena masyarakat
berseteru atas nama agama dan keyakinan mereka. Karena itu, sudah
saatnya masyarakat Ambon dan sekitarnya tidak mudah terpancing dan perlu
berfikir jernih. Dengan begitu ucapan ‘Kita orang Basudara’ (kita semua
bersaudara) tak hanya sekadar ucapan di bibir saja. Tak menjadi hal
yang jauh panggang dari api. Tapi persaudaraan dan kedamaian yang
meresap di hati, di sanubari. (Arip Budiman dan Indah Winarso)

Video Diskusi Ambon Papua, Paparan Romo Benny Susetyo, Klik disini

Video Diskusi Ambon Papua, Paparan Dr Abdul Mu’ti (Part 1), Klik disini

Video Diskusi Ambon Papua, Paparan Dr Abdul Mu’ti (Part 2), Klik disini

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37372

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :