Awalnya kota ini dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan konsep kota hijau (the green city).
Dikelilingi berbagai perkebunan yang mulanya milik warga Belanda dan
Belgia. Disamping perkebunan karet dan kelapa sawit juga tembakau Deli
yang amat terkenal. Hasil perkebunan di Medan dapat membangun negara
Belanda menjadi suatu negara moderen. Tidak heran jika daerah ini
dijuluki dengan Deli, tanah dollar.

Sesuai dengan konsep kota hijau maka pohon mahoni, pohon kecapi dan
pohon keras lainnya ditanam di jalan tengah kota. Mahoni ditanam
sepanjang jalan menuju ke pelabuhan Belawan yang panjangnya 25 km dari
pusat kota. Pembangunan alun-alun juga menjadi perhatian Belanda dan
awalnya dikelilingi oleh pohon beringin. Luas alun-alun lebih kurang 4
hektar dan bernama lapangan Esplanade yang artinya lapangan yang luas. Disekelilingnya dibangun stasiun kereta api (Deli Spoorweg Maatschappij), hotel (Hotel De Boer), bank (the Javasche bank) dan kantor pos (Post Kantoor).

Meski tak disangkal pembangunan itu dipergunakan untuk kepentingan
perusahaan perkebunan milik Belanda tapi diakui, bahwa begitu perhatian
mereka akan sebuah pembangunan kota agar kota dapat berfungsi secara
maksimal dan effisien. Belanda tidak melupakan pembangunan pertokoan
yang menjual barang barang jadi. Semua pusat kegiatan ini berada pada
satu kawasan yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Di bawah jalan di tengah kota ditanam riol, tempat pembuangan air
limbah dimana orang bisa berjalan kaki di dalamnya. Tali air juga
terdapat didalam kota. Kota Medan berada didataran yang rendah (DAS Deli) dan merupakan daerah tujuan jatuhnya air dari tanah Karo (pegunungan) dikala hujan. Mereka juga tidak lupa membangun Waterleiding (sekarang PAM) dimana airnya dapat diminum tanpa dimasak, pada saat itu.

Bangunan rumah sakit, pasar, pembangkit listrik dan air bersih
dibangun secara terpisah dan berjarak serta bersifat permanen. Dengan
demikian kegiatan kota tidak tertuju pada satu titik yang dapat memicu
kemacetan lalu lintas.

Belanda tidak membangun bangunan dimana ada lahan yang tersedia, tapi
berdasarkan pada suatu perencanaan tata ruang kota yang dapat
memberikan layanan terbaik untuk masyarakat. Mereka selalu menjaga jarak
supaya ditemukan ada ruang terbuka hijau sehingga suasana menjadi
nyaman. Gedung dibangun berwibawa untuk menggambarkan, bahwa
pemerintahan juga berwibawa dan disegani oleh siapa saja.
Tapi itu cerita masa lalu. Itu Medan yang telah lalu. Medan hijau yang tinggal kenangan.

Kini, sedikit saja yang dapat dilihat sebagai bukti perencanaan tata
kota Medan yang benar saat itu. Rupanya perubahan kota bukan saja
dilakukan oleh tenaga ahli perencana kota, tapi juga oleh pemerintah
kota dan pengguna ruang kota, terutama jika masing-masing pihak tidak
patuh dengan aturan aturan yang seharusnya dipedomani.

Sampah menumpuk dimana-mana. Disiplin masyarakat terhadap keberadaan
kota sudah tidak terlihat lagi. Banyak anggota masyarakat yang berbuat
seenaknya tanpa pengawasan. Rasa segan pada polisi dan pejabat kota
sudah sangat menurun. Dahulu hanya dengan pentungan, polisi dapat
menertibkan masyarakat dan menghalau pencuri. Tapi kini? Senjata api pun
tidak ditakuti.

Esplanade yang menjadi paru-paru kota serta tempat bermain
dan olahraga bagi remaja dan orang tua pensiunan, sekarang sebagian
sudah berubah menjadi cafe, toko buku bekas dan kantor polisi.
Medan dipenuhi kepentingan kapitalis yang berantakan tak terencana.
Rumah toko ada di mana-mana. Medan telah berubah menjadi kota Ruko
(rumah toko).

Ketidaknyamanan ini terbukti pada survei yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAPI).
Dari hasil survei yang dilakukan awal tahun ini, tercatat rata-rata
Indeks Kenyamanan kota Medan adalah 46,92 persen. Artinya, hanya 46,92
persen responden yang mengaku nyaman tinggal di kota, selebihnya tak
menyukai daerah kota untuk ditinggali. Medan berada di Indeks terendah
dari sepuluh kota besar di Indonesia. Indeks tertinggi adalah kota
Yogyakarta yang mencapai Indeks kenyamanan hampir 80 persen. Masyarakat
Yogya mengaku sangat merasa nyaman tinggal di kota Yogyakarta.

Pemicu ketidaknyamanan kota Medan antara lain penataan kota yang
buruk, jumlah ruang terbuka hijau dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
Tiga faktor ini membuat anggota masyarakat tak lagi merasa nyaman hidup
di Medan. “Jika tidak segera dibenahi, bakal dikalahkan oleh kota-kota
baru yang dibentuk swasta” kata ketua IAP, Bernandus.

Medan sekarang memang maju luar biasa. 2,1 juta penduduknya kini
memerlukan kota penyangga yaitu Deli Serdang. Banyak komuter di sana.
Bekerja di kota Medan tapi tingal di Deli Serdang. Pelabuhan Belawan
terletak sekitar 20 km di utara kota merupakan pelabuhan besar.
Pelabuhan ini merupakan yang terpenting di wilayah selat Malaka karena
aktivitas pelabuhan tersebut yang sangat sibuk dan padat.
Bandar Udara Internasional Polonia yang terletak di dalam kota,
merupakan bandara penting dan menghubungkan Medan dengan Banda Aceh,
Padang, Pekanbaru, Batam, Palembang, Jakarta, Gunung Sitoli serta Kuala
Lumpur, Penang, Ipoh, Alor Setar di Malaysia, dan Singapura. Karena
dianggap tak bisa menampung arus penumpang masuk dan pergi dari Medan,
sebuah bandara internasional baru di Kuala Namu di kabupaten Deli
Serdang kini sedang dalam pembangunan.

Medan juga memiliki jumlah universitas dan sekolah yang cukup banyak.
827 Sekolah Dasar, 337 Sekolah Menangah Pertama dan 288 Sekolah
Menengah Atas serta 72 Perguruan Tinggi berada di kota Medan.
Mayoritas penduduk kota Medan sekarang ialah suku Jawa dan Suku-suku
dari Tapanuli (Batak, Mandailing ), Karo dan Minangkabau. Juga
keturunan India dan Tionghoa. Populasi orang Tionghoa cukup banyak,
sehingga tak heran perdagangan dan Perguruan Tinggi Tionghoa berada di
sini. Warga India tinggal di sekitar Jl. Zainul Arifin dan lebih dikenal
sebagai Kampung Keling yang merupakan daerah pemukiman orang keturunan
India.
Perubahan pola pemukiman kelompok-kelompok etnis juga terjadi. Etnis
Melayu yang merupakan penduduk asli kota, banyak yang tinggal di pinggir
kota. Etnis Tionghoa dan Minangkabau banyak yang tinggal di sekitar
pusat-pusat perbelanjaan. Pemukiman orang Tionghoa dan Minangkabau itu
sejalan dengan arah pemekaran dan perluasan fasilitas pusat
perbelanjaan. Orang Mandailing juga memilih tinggal di pinggiran kota
yang lebih nyaman. Oleh karena itu terdapat kecenderungan di kalangan
masyarakat Mandailing untuk menjual rumah dan tanah mereka di tengah
kota, seperti di Kampung Mesjid, Kota Maksum, dan Sungai Mati.

Jadi apabila ada seseorang yang telah meninggalkan Medan dalam jangka
waktu lama, mungkin hanya bisa menatap sedikit pohon tua yang tersisa,
gedung Balai Kota lama, Kantor Pos Medan, Menara Air dan Titi Gantung
serta Gedung London Sumatera sebagai sisa keteduhan Medan di masa
lampau. Juga Istana Maimun, Mesjid Raya Medan dan juga rumah Tjong A Fie
di kawasan Jl. Jend. Ahmad Yani, Kesawan sebagai sisa kejayaan masa
lalu. Medan tak lagi sebuah kota hijau. Dia telah maju sesuai keinginan
pengelolanya; kota ruko. (Indah)

Untuk share dan memberi komentar pada artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37275

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37275

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :