Tingkat kenyamanan tinggal di beberapa kota besar di Indonesia menurun. Di antaranya pemicunya adalah penataan kota, tingkat kriminalitas, dan biaya hidup yang semakin melambung. Jika tidak segera dibenahi, bakal dikalahkan oleh kota-kota baru yang dibentuk swasta.

Paparan penurunan tingkat kenyamanan tinggal di kota itu, dipaparkan oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP). Sekjen IAP Bernardus R. Djonoputro memaparkan, posisi wali kota cukup berperan untuk menjaga warganya tetap nyaman tinggal di kota.

”Aspek mana yang dibenahi dulu, itu terserah masing-masing wali kota,” tekannya di Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU) Kamis (26/5).

Dari hasil survei yang dilakukan IAP tahun ini, tercatat rata-rata indeks kenyamanan tinggal di kota sebesar 54,26 persen. Artinya, 54,26 persen responden yang disurvei mengaku nyaman tinggal di kota. ”Kondisi itu di tingkat nasional,” tutur Bernardus. Tapi jika dikupas di tingkat kota, indeks kenyaman tinggal di kota banyak yang masih berada di bawah angka tadi.

Misalnya di Jakarta, indeks kenyamanan masyarakat sebesar 50,71 persen. Artinya, hampir separuh warga Jakarta merasa tidak nyaman tinggal di ibu kota yang dipimpin Fauzi Bowo itu.

Di antara aspek penilaian kenyamanan yang rendah di Jakarta adalah, kualitas penataan kota, jumlah ruang terbuka, pencemaran lingkungan, besarnya biaya hidup, dan tingkat kriminalitas. Rata-rata, tidak sampai 20 persen warga Jakarta yang mengaku nyaman dari beberapa aspek penilaian tadi.

Selanjutnya kondisi di Surabaya. Tingkat indeks kenyamanan di kota yang dipimpin Wali Kota Tri Rismaharini ini lebih baik dibanding Jakarta. Yaitu indeks keseluruhannya tercatat 56,38 persen. Artinya, lebih dari separuh responden yang disurvei mengaku nyaman tinggal di Surabaya.

Namun, tekan Bernardus, ada beberapa aspek layanan publik yang harus diperbaiki di Surabaya sehingga indeks kenyamanan warga bisa naik. Di antaranya adalah, tingkat pencemaran lingkungan, kualitas angkutan umum dan jumlah ruang terbuka hijau. Untuk kualitas penataan kota, indeks kenyamanan sudah menyentuh angka 46 persen.

Kota dengan indeks kenyamanan terendah adalah di Medan. Di kota tersebut, 46,92 persen responden mengaku nyaman tinggal di kota. Aspek yang paling besar menyumbang tingkat ketidaknyamanan di kota Medan adalah kualitas penataan kota. Selanjutnya adalah, jumlah ruang terbuka hijau dan tingkat kriminalitas yang dinilai kurang sehingga membuat warga merasa tidak nyaman tinggal di kota.

Bernardus mengatakan, pemetaan hasil survei itu memang tidak terlalu mendalam. Dia hanya menentukan objek survei berdasarkan kriteris ekonomi. Yaitu ekonomi rendah, sedang, dan tinggi. ”Tapi pemetaan ini bisa digunakan untuk perbaikan,” kata dia.

Kondisi kenyamanan tinggal di kota yang rendah, menurut Bernardus, tidak bisa dipandang sebelah mata. Dampak yang bakal muncul adalah, pertumbuhan kota-kota baru yang dikembangkan swasta. ”Kota-kota baru yang berada di kawasan satelit bakal berkembang lebih pesat,” tandasnya.

Kerugian lainnya adalah, selama ini kota juga berfungsi sebagai pusat layanan publik dan pusat perekonomian. Masyarakat yang butuh layanan publik di kota, bisa merasa tidak nyaman. Selain itu, rendahnya tingkat kenyamanan tinggal di kota, bisa berdampak negatif di kabupaten-kabupaten lainnya dalam satu provinsi.

Untuk share artikel ini klik
www.KabariNews.com/?36803

Untuk melihat artikel Nusantara lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :