Tidak banyak sutradara muda yang bisa melahirkan film berkelas internasional. Salah satunya Adhyatmika. Pria yang akrab disapa Mika itu merupakan sutradara muda Indonesia yang sedang naik daun. Usianya baru 22 tahun, tapi namanya sudah mengharumkan Indonesia di dunia perfilman internasional. Pada 10 September lalu, film pendek berjudul ‘Democracy is Yet to Learn’ (Masih Belajar Demokrasi) yang disutradarainya berhasil menjadi pemenang festival film pendek yang diadakan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. Mika mendapat penghargaan langsung dari Menlu AS Hillary Clinton.

Tema itu sejalan dengan pemahaman Mika bahwa demokrasi adalah sesuatu yang subyektif dan percaya bahwa demokrasi merupakan sebuah proses. ‘Democracy Video Challenge’ bertujuan membuka dialog tentang demokrasi yang dirangkum melalui video pendek.

Pada kompetisi tahun lalu itu, terdapat sekitar 700 video yang masuk dari 89 negara. Ketujuh ratus video tersebut diseleksi oleh juri independen yang diketuai oleh Hernando de Soto, Presiden Institute of Liberty, untuk memilih 18 video sebagai finalis. Proses akhir seleksi menggunakan media youtube yang memberikan kesempatan bagi publik untuk memilih video terbaik. Dari 18 video, Mika terpilih bersama lima pemenang lain yang mewakili kawasan dunia yang berbeda, antara lain dari Spanyol, Ethiopia, Iran, Nepal dan Colombia. Film yang dibuat oleh Mika dilihat sekitar lebih dari 150 ribu orang.

Tahun 2010 menandai tahun ketiga ‘Democracy Video Challenge’ tersebut. Kompetisi yang diselenggarakan bersama antara lain oleh State Department, the Center for International Private Enterprise, the International Republican Institute, the Motion Picture Association of America, NBC-Universal, dan YouTube ini diluncurkan pertama kali secara online dan di PBB pada saat perayaan International Day of Democracy, tanggal 15 September 2008.

Prestasi Mika dan pertemuan dengan Hillary pun tak membuat Mika tinggi hati dan cepat puas. Bahkan, dia terpacu untuk menghasilkan karya-karya terbaik lainnya. Ia mengaku baru saja menyelesaikan penggarapan film pendek berjudul ‘It Could Have Been a Perfect Word’. Film yang diproduksi tiga hari dan menghabiskan biaya tak lebih dari USD 200 tersebut sudah didaftarkan untuk mengikuti lomba festival film internasional di Singapura.

Kecintaan pada film dilakukan secara tak sengaja. Mika memiliki penyakit menahun. “ Separuh dari masa sekolah saya habiskan di rumah sakit. Saya langganan sakit vertigo,” ucap lulusan Puttnam School of Film, Lasalle College of The Arts, Singapura itu.

Saat menjalani perawatan di rumah sakit, Mika memilih menghabiskan waktu untuk menonton film. Dari situlah dia mengaku mulai mencintai film. Mika sangat suka film-film karya sutradara kawakan Steven Spielberg. Buku-buku dan majalah tentang pembuatan film mulai dikumpulkan. Sejak saat itu, dia memutuskan mendalami dunia film dan ingin hidup dari karya film.

Ketika masih SMA dia juga berhasil membuat sebuah film pendek berjudul 10.000 Kaki. Film tersebut menceritakan seorang anak yang terobsesi untuk naik pesawat. “Orang tua saya sangat mendukung pilihan saya,” ucapnya.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36782

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :