Tidak banyak orang yang mau belajar alat musik Jawa alias gamelan. Lebih-lebih di Negeri Paman Sam. Namun, Christina Sunardi berbeda. Selain lihai memainkan gamelan, dia mengajarkannya kepada para mahasiswanya.

Ibunya berdarah Jerman dan sang ayah adalah keturunan kulit hitam Amerika. Lahirnya pun di California. Sama sekali tidak ada “warna” Indonesia dalam tubuh Christina Sunardi.

Namun, jangan tanya tentang kecintaan Christina kepada Indonesia. Tak hanya pintar berbahasa Indonesia, perempuan 34 tahun itu juga trampil memainkan gamelan, perangkat musik khas Jawa yang di Indonesia tak digemari sebagian besar anak muda.

Dia mengaku banyak mengkoleksi barang khas Indonesia dan dia pajang di ruangan kerjanya. Kain batik, replika wayang kulit Gatot kaca dan beberapa wayang potehi dan topeng Cirebon. Ada juga gender, salah satu peranti gamelan yang ia beli di Klaten.

Berawal di 1997. Saat itu Christina berstatus mahasiswi di University of California, Berkeley. Dia mengambil jurusan musik. Dalam sebuah kesempatan, dia mengikuti program pertukaran mahasiswa dengan Indonesia. Kebetulan dia ditempatkan di Jogjakarta.

Kecintaannya akan musik-musik etnik semakin membahana selama dirinya tinggal di Kota Gudeg itu. Dia seakan berada di tempat yang pas untuk belajar gamelan. Seperti diketahui, Jogjakarta adalah salah satu daerah di mana gamelan masih sangat eksis. ”Saya suka suaranya. Sangat lembut,” ungkap Christina tentang latar belakang kecintaannya pada gamelan.

Dasar pencinta musik, Christina tak hanya belajar gamelan. Dia juga mempelajari ragam musik lain di Nusantara. Mulai Bali sampai Sunda. Selain musik, dia juga mendalami seni tari dari daerah-daerah tersebut. Dia menguasai beberapa jenis tarian seperti kecak, remo, dan jaipong.

Semangat belajar Christina sungguh besar. Tak hanya di Jogjakarta, dia juga menjelajah beberapa kota di Jawa Tengah serta Jawa Timur untuk menambah ilmu. Lambat laun, pengetahuannya pun meningkat. Dia tak hanya menguasai musik dan tari, tapi juga mulai memahami budaya Indonesia. Hal itu sedikit banyak memengaruhi gaya hidupnya. Selain bahasa Indonesia, dia menguasai sejumlah kosakata bahasa Jawa. Christina bahkan sangat medok saat berbicara dalam bahasa Indonesia.

“Kalau musik, saya banyak dipengaruhi Jogja. Namun, kalau bahasa, saya lebih dekat dengan Jawa Timur,” ujarnya.

Sayangnya, petualangan Christina di Indonesia tidak berlangsung lama. Krisis ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia memaksanya pulang kampung ke Amerika. Program yang diikutinya berakhir lebih cepat. Namun, kondisi itu tak melunturkan rasa cinta Christina pada Indonesia. Terlebih, hatinya pun sudah tertambat pada seorang pria lokal bernama Sunardi. Jalinan asmara keduanya tumbuh karena sama-sama menggeluti kesenian Jawa.

Setelah krisis berlalu, Christina mendapat kesempatan kembali ke Indonesia. Petualangannya pun berlanjut. Dia memperdalam ilmu gamelan dan menari di sebuah sanggar di Tumpang, Kabupaten Malang. Dia juga sempat belajar menyanyi lagu-lagu Jawa serta beberapa kali tampil sebagai sinden.

Dia juga meleburkan diri dalam aneka budaya lokal. Suatu ketika, Christina tampil sebagai salah seorang pendukung dalam perhelatan budaya bantengan yang sangat khas di Malang. Dia juga mempelajari tari kuda lumping. “Hanya sebatas penari, tidak sampai makan kaca,” selorohnya.

Christina juga terus mendekatkan diri dengan warga lokal. Salah satunya dengan tampil dalam panggung kesenian saat perayaan Agustusan. Dalam sebuah kesempatan setelah menghibur penonton di panggung, Christina mendapat bayaran Rp 5 ribu. Hal itu membuatnya terkejut. “Sebenarnya saya tidak mau dibayar. Uang itu akhirnya saya simpan,” ungkapnya.

Pada 2002, hubungan Christina dengan Indonesia semakin lengkap. Setelah melewati masa pacaran cukup lama, dia akhirnya menikah dengan Sunardi. Sejak itu pula Christina menambahkan kata Sunardi di belakang namanya. Pasangan tersebut kini menetap di Seattle dan sebagai dosen di University of Washington di kota tersebut.

Christina kini menyandang status asisten profesor ethnomusicology, bidang studi yang mempelajari musik dari ragam budaya yang berbeda. Terutama dari luar Barat. Selain musik Jawa alias gamelan, di University of Washington juga diajarkan musik dari negara-negara Asia lainnya.

Mahasiswanya pun tidak banyak. Hanya 14 orang. Namun, hal itu tidak mengurangi semangatnya untuk menularkan seni gamelan kepada mahasiswa Amerika. “Saya ingin orang Amerika tahu bahwa Indonesia memiliki kesenian yang hebat. Saya ingin orang Amerika tahu lebih banyak tentang Indonesia,” tuturnya.

Butuh ketelatenan dan kesabaran ekstra bagi Christina untuk mengajarkan gamelan kepada mahasiswanya. Salah satu yang paling sulit adalah “memaksa” mahasiswanya untuk berkonsentrasi. “Harus fokus,” tegasnya. Lantunan suara gamelan keluar lewat pukulan yang teratur. Tidak boleh asal pukul.

Christina juga harus sangat bersabar. Dia mengajak mahasiswanya mengenal satu demi satu peranti gamelan. Mulai gong, gambang, gender, bonang, kenong, kendang, sampai pekik. Juga, alat-alat musik pendukung lain seperti seruling, siter, serat rebab. “Kalau mereka sudah bosan dengan alat musik yang satu, saya hentikan dan ganti dengan yang lain,” ujarnya.

Tantangan lainnya adalah menyelaraskan budaya Amerika dengan falsafah gamelan. Christina pun harus berkali-kali mengingatkan mahasiswanya agar melepas sepatu ketika memasuki arena panggung tempat gamelan. Dia juga meminta mahasiswanya untuk “menghormati” gamelan dengan tidak duduk seenaknya kala memainkan alat musik tersebut. Dalam sebuah kesempatan, Christina hanya bisa geleng-geleng kepala ketika menyaksikan mahasiswanya menabuh gong sambil mendengarkan musik lewat earphone.

Beragam masalah dan tantangan itu tak membuat dirinya ciut nyali. Dia justru semakin bersemangat untuk menularkan ilmu kepada mahasiswanya. Christina beruntung karena para mahasiswa sangat antusias belajar gamelan.

Lebih dari itu, dukungan dari universitas pun begitu besar. Untuk kelengkapan gamelan, dia mendapatkan bantuan dari Seattle Surabaya Sister City Association (SSSCA).

Bagi Christina, Indonesia sudah seperti negeri keduanya. Selain karena suaminya berasal dari Indonesia, dia sangat mencintai budaya Nusantara. Pengalaman tinggal dan kecintaan pada budaya membuat dirinya tidak bisa lepas dari Indonesia. Sebagai dosen, dia ingin mahasiswanya mengenal lebih banyak tentang Indonesia.

Christina juga aktif terlibat dalam beberapa pertunjukan budaya Indonesia di Amerika. Beberapa waktu lalu, misalnya, dia ikut meramaikan pertunjukan penari Didik Nini Thowok di Seattle. Dalam waktu dekat, dia berencana kembali ke Indonesia. Ada banyak hal yang membuat dirinya kangen Indonesia. Bukan hanya seni budayanya, tapi juga masakan. “Saya ingin makan soto,” ungkapnya.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36778

Untuk

melihat artikel Profil lainnya, Klik
di sini

Mohon
beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :