Sepintas Dian Syarief tak berbeda dengan perempuan pada umumnya. Tampak sehat dan energik. Tapi saat ingin melihat gambar atau foto, dia harus mendekatkan matanya. “Ini gambar apa ya?” ujarnya memastikan. Ketika orang disampingnya heran, dia berucap “ Penglihatan saya hanya tinggal lima persen saja”.

Dian Syarief menderita low vision setelah Systemic Lupus Erythematosus (SLE/Lupus) dideritanya sejak 12 tahun lalu. Penyakit yang lebih dikenal dengan Lupus ini memaksa Dian hidup dengan berbagai pengorbanan. Ia tidak bisa lagi melihat jam tangan. Dian harus memencet tombol di jam tangan yang bisa bersuara untuk menunjukkan jam saat itu.

Dian Syarief lahir di kota kembang, Bandung pada 21 Desember 1965. Kedua orangtuanya adalah dokter. Prof. Dr. dr. Rudy Syarief , sang ayah dan dr. Oemmy R. Syarief MMBAT. Semasa kecil dan remaja, Dian dikenal sebagai anak yang cerdas. Tak heran selepas lulus dari SMA, anak kedua dari lima bersaudara ini diterima di jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Setelah lulus dari ITB pada tahun 1990, Dian mulai merintis karir di Bank Bali (sekarang Bank Permata, red) Bandung dan mutasi ke Jakarta. Dia juga menikah pada tahun yang sama dengan teman semasa kuliah, Eko Priyo Pratomo. Puncak karirnya adalah ketika dia menjabat manajer humas di Bank Bali. Setelah 9 tahun berkarir di Bank Bali cobaan pun datang.

Di tahun 1999, bermula dari gejala-gejala bintik-bintik merah yang dianggap Dian sebagai gejala penyakit biasa, barulah Dian tersadar akan hadirnya penyakit ganas yang bersarang dalam tubuhnya. Pengecekan laboratorium mengungkapkan bahwa kadar trombositnya tinggal 10 persen. Bintik-bintik merah itu ternyata merupakan pertanda pendarahan di kulit.

“Kata dokter, bila trombositnya turun sedikit lagi, pembuluh darah akan pecah kemana-mana,” kenang Dian yang memiliki hobi memasak ini.

Esoknya, sum-sum tulang belakangnya diambil untuk dilakukan pengecekan ulang. “Baru ketahuan saya bukan terkena demam berdarah, melainkan terserang lupus,” lanjutnya.

Untuk menaikkan kadar trombosit dalam darahnya, Dian mengkonsumsi sejenis tablet sebanyak 20 butir sehari. Namun, efek samping dari obat tersebut cukup membuat Dian merana. “Kulit menjadi keriput, di bibir tumbuh sariawan parah, kaki mengecil dan muka membengkak,” aku Dian.

Setelah sekitar sebulan mendapatkan perawatan dengan mengkonsumsi tablet prednisone, akhirnya Dian dinyatakan sembuh. Perubahan fisik setelah mengkonsumsi obat yang dijuluki ‘obat dewa’ itu cukup mengganggu aktivitasnya bekerja. Akhirnya dia memutuskan berhenti bekerja.

“Jenis penyakit lupus yang saya alami menyerang darah, karena itu kemudian saya diberi obat-obatan yang bisa meningkatkan trombosit.,” lanjut Dia. Lupusnya juga menyerang syaraf mata sehingga penglihatannya tinggal 5 persen saja. Lupus berlawanan dengan HIV. Bila HIV, tubuh kekurangan antibodi namun di Lupus antibodi “memakan” beberapa sistem di tubuh itu sendiri.

Sampai sekarang, Dian telah menjalani 18 kali operasi untuk menyelamatkan jiwanya. Termasuk pengangkatan rahim. Di saat keterpurukan, berbagai pihak termasuk suami dan kedua orang tuanya tetap mendukung dan memberikan semangat tanpa henti. Dari situlah, ia mampu mengobarkan semangat untuk tetap bertahan hidup dan berjuang untuk melawan penyakit yang dideritanya. “Dukungan moril suami, orang tua, saudara-saudara, para sahabat dan semua yang mengenalku benar-benar sangat berarti bagiku,” tutur wanita berkerudung ini.

Dian sangat aktif pada Syamsi Dhuha Foundation (SDF) yang didirikannya sejak tahun 2004. Dia membuat program Care for Lupus dan berbagai pelatihan untuk Odapus . Juga pembuatan buku-buku komik untuk mensosialisasikan penyakit Lupus. Tak hanya itu saja, ia juga aktif sebagai pembicara dalam berbagai acara diskusi mengenai penyakit lupus. Pengalaman hidupnya memang banyak memberikan inspirasi bagi odapus-odapus lainnya dan masyarakat awam.

Kegiatan lain yayasan ini adalah memfasilitasi berbagai penelitian ilmiah. Selain itu, sejak tahun 2006, SDF mengupayakan obat murah bagi Odapus. Tahun lalu SDF juga telah mengajukan kenaikan plafon Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi OKM (Odapus Kurang Mampu) kepada Kementerian Kesehatan RI.

Dengan begitu, odapus-odapus lain yang masih harus berjuang melawan lupus dapat memperoleh perhatian lebih. Terlebih biaya yang harus ditanggung oleh para penderita untuk menjalani berbagai pengobatan diakui Dian, sangatlah mahal. “Biaya pengobatan saya saja sekarang kira-kira Rp 600 ribu sebulan, bahkan sempat memerlukan dana Rp 1,3 juta per minggu. Bagaimana dengan odapus dari kalangan tak mampu harus menghadapinya? Padahal selama hidupnya odapus sangat tergantung kepada obat,” tandasnya.

Juni tahun lalu, satu abstrak SDF berjudul ‘How to Make Friend with Lupus‘ juga diterima panitia the 9th International Congress on SLE di Vancouver, British Columbia – Canada. Dian tidak hanya mempresentasikan konsepnya, tapi juga menerima penghargaan internasional bernama International Lifetime Achievement Awards.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36770

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :