Pemerintah
akan menalangi kekurangan pembayaran ganti rugi korban luapan Lumpur Lapindo di
Sidoarjo, Jawa Timur. Jumlahnya sekitar Rp 1,1 Trilyun rupiah. Langkah ini
diambil karena korban Lapindo terus mendesak pemerintah untuk segera melunasi
kekurangan pembayaran. Di sisi lain, PT Minarak Lapindo Jaya tidak sanggup
membayar. ”Pemerintah akan mendorong, mempercepat, mungkin dengan skema pinjam
pembiayaan ke perbankan,mungkin Lapindo tidak punya uang untuk itu,” kata
Soekarwo setelah menghadiri rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, seperti dikutip Antara.

PT Minarak Lapindo Jaya adalah pihak yang ditunjuk PT Lapindo Brantas melakukan
pembayaran ganti rugi. Pihak Minarak sebenarnya bersedia mencicil pembayaran
ganti rugi hingga akhir tahun 2012 tapi masyarakat minta segera dilunasi.
Bupati Sidoarjo Saifulllah menjelaskan, dana talangan tersebut akan dipinjam
dari bank atau diambil dari anggaran pendapatan belanja negara
(APBN).Pembayaran ganti rugi sebesar Rp1,104 triliun akan diberikan kepada
13.146 kepala keluarga (KK), tapi tidak termasuk tiga desa, yaitu Desa
Pejarakan, Kedungcangkring, dan Desa Besuki.

Ketiga desa tersebut masuk dalam peta terdampak sehingga pembayaran ganti
ruginya dilakukan pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
(BPLS). Persoalan ganti rugi dan berapa nilai ganti rugi korban lumpur Lapindo
sebenarnya telah diatur secara jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun
2007. Kenyataannya, pembayaran ganti rugi terus tersendat.

Dari sekitar 13.000 berkas yang mengajukan klaim ganti rugi, baru 7.400 atau
sekitar 60% yang sudah dibayar lunas,sisanya ada yang baru dibayar 20% atau
belum dibayar sama sekali. PT Minarak selama ini beralasan pembayaran ganti
rugi harus disesuaikan dengan kemampuan keuangan perusahaan tersebut. Banjir
Lumpur Panas Sidoarjo atau Lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2006.

Banjir terjadi setelah lumpur panas menyembur di lokasi pengeboran Lapindo
Brantas di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo,Jawa Timur. Semburan lumpur selama berbulan-bulan ini menenggelamkan
16 desa di tiga kecamatan yang meliputi kawasan permukiman, pertanian, dan
perindustrian

Ada
yang bermasalah

Namun
ada17 keluarga korban lumpur Lapindo di Desa Gempolsari, Kecamatan
Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, belum menerima ganti rugi sama sekali. Warga
yang berada di peta terdampak ini bahkan belum menerima uang muka 20 persen
dari PT Minarak Lapindo Jaya seperti korban lumpur Lapindo lainnya. “Kami
belum menerima sepeser pun,” kata seorang korban lumpur Lapindo, Solikin,
35 tahun.

Mereka terus meratapi nasib yang tak kunjung mendapat ganti rugi sejak hampir lima tahun lumpur Lapindo
menyembur. Mereka tetap bertahan meski harus kebanjiran setiap musim hujan.
Maklum, rumahnya berhadapan langsung dengan Kali Ketapang yang kerap meluap.

Rata-rata ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Butuh sepekan untuk
surut, lantaran tak ada saluran air di belakang rumahnya yang hanya berjarak
sekitar 200 meter dari tanggul penahan lumpur. Saat banjir, ia bersama ketiga
anaknya terpaksa beraktivitas dalam genangan air. “Anak-anak tak bisa
belajar, tidur tak nyenyak,” kata Solikin.

Rumah yang dihuni Solikin itu terlihat sederhana. Luasnya hanya 75 meter
persegi. Hanya pesawat televisi sebagai barang berharga yang tersisa. Sejak
luapan lumpur Lapindo, air sumurnya tercemar berwarna kuning kehitaman dan
terasa asin.

Akibatnya, setiap hari Solikin terpaksa mengeluarkan biaya tambahan membeli air
seharga Rp 2 ribu per jeriken. Padahal, sejak lumpur Lapindo meluap
penghasilannya sebagai buruh pabrik kerupuk terus merosot. Lantaran, omzet
pabrik kerupuk anjlok.

Menurut Solikin, PT Minarak Lapindo Jaya menolak membayar lahan sesuai
ketentuan yaitu lahan kering dibayar Rp 1 juta per meter persegi. Lahan Solikin
dihargai sebesar Rp 120 ribu per meter persegi dengan status tanah sawah.
Padahal, kata Solikin, sesuai bukti kepemilikan tanah letter C berstatus tanah
kering. “Sejak 1950, kami bayar pajak tanah kering,” ujarnya.

Berbagai cara telah ditempuh Solikin, mulai dari mengadukan ke anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Bupati Sidoarjo, Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, hingga Menteri Pekerjaan Umum. Namun, hingga kini tak ada kejelasan
mengenai status pembayarannya

Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, Andi Darussalam Tabusala, menjelaskan
jika berkas yang belum dibayar tersebut, bermasalah. Menurut dia, ada
ketidaksesuaian antara laporan tim verifikasi Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo (BPLS) dengan foto satelit, keterangan saksi, serta berkas lain.
“Tak dibayar dulu karena bermasalah,” katanya.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36654

Untuk melihat artikel Nusantara lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :