Bila Ke
Larantuka saat menjelang minggu Paskah, siap-siaplah berhadapan dengan hotel,
penginapan dan rumah penduduk yang penuh. Juga kapal ferry yang sesak dengan
penumpang dari Kupang. Penerbangan Bali-Kupangpun, selalu penuh sejak dua
minggu sebelum Paskah. Tak hanya turis mancanegara yang datang, tapi juga
penduduk Flores Timur – Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merantau di luar pulau.
Mereka akan pulang ke tanah kelahirannya.

Perayaan Jumat
Agung dan Paskah di Larantuka memang unik. Di sana, peristiwa penderitaan Yesus itu diungkapkan
secara utuh. Siapa saja boleh ikut serta. Tak hanya umat Katolik yang merayakan
Paskah karena perayaan di sana
merupakan paduan tradisi budaya dan ritual keagamaan umat Katolik.

Peninggalan Portugis

Prosesi Semana
Santa (Pekan Suci) ialah tradisi yang diwariskan pastor Portugis yang datang ke
Larantuka pada abad XVI. Tahun ini, umur prosesi itu mencapai lima abad. Di Portugis, negara asal prosesi
ini, sudah lama ditinggalkan. Selebihnya masih diadakan di Filipina dan
Syanyol. Inilah yang mendorong umat dari berbagai daerah dan mancanegara datang
di Larantuka.

Prosesi
diawali dengan Rabu Trewa (Rabu Abu). Berpusat
di dua lokasi yakni Kapela Wure (Kapela Tuan Ma) di Desa Wure, Kecamatan
Adonara Barat, Pulau Adonara, dan Kapela Pohon Sirih (Kapela Tuan Ana-Kapela
Yesus Kristus) di Larantuka. Trewa artinya bunyi-bunyian. Warga boleh memasang
musik atau bunyi-bunyian lain. Gereja masih boleh membunyikan lonceng hingga
pukul 20.00. Namun setelah misa Rabu malam, bunyi-bunyian tak dibolehkan.

Esoknya, perayaan
perjamuan terakhir, Kamis Putih pukul 10.00 Wita, suasana Larantuka sangat sepi
seperti halnya Nyepi pada masyarakat Hindu di Bali. Saat itu, diadakan persiapan
mengeluarkan Tuan Ma (patung Bunda Maria). Patung Bunda Maria di Kapel Maria
Pante Kebis, akan dimandikan oleh lima suku besar di
Larantuka.

Kegiatan memandikan
Patung Bunda Maria ini tertutup untuk umum. Namun, setelah pemandian, warga akan
mengambil air mandi di bak lalu dipindahkan ke botol untuk dibawa pulang. Air
ini diyakini memiliki khasiat. Tuan Ma hanya dikeluarkan setahun sekali saat rangkaian
Paskah

Tradisi
Paskah di Larantuka pada Jumat Agung dilakukan di laut. Prosesi laut mulai
pukul 12.00 WIB dari pantai Kota
menuju pesisir, ke desa Pohon Sirih. Sebelum menuju kapel Tuan Ma dan Tuan Ana
(patung Yesus Kristus anak Allah), warga lebih dahulu menyambut Tuan Meninu
(Yesus Kanak-kanak) di pinggir pantai Desa Pohon Sirih.

Prosesi
pengantaran Tuan Meninu diawali oleh satu orang terpilih dari suku khusus yang
menjunjung patung Tuan Meninu dari atas kapel menuju sampan khusus. Pada sampan
ini, Tuan Meninu diletakkan di bagian depan dan satu orang pembawanya di
belakang. Prosesi pengantaran ini diiringi warga menuju ke armida (tempat penataan
patung) di dalam Kota Larantuka.

Untuk
membuka jalan, anak-anak suku khusus berada di barisan depan iringan prosesi
laut dari seberang Larantuka ini. Satu sampan berisi dua anak suku yang disebut
laskar kecil. Sebanyak 7-8 sampan laskar kecil ini mengawal Tuan Meninu. Di
belakangnya, warga mengikuti prosesi laut menuju ke pesisir. Perjalanan laut
menuju Pohon Sirih berlangsung satu jam. Di pesisir pantai, warga dari dalam
Kota Larantuka sudah menunggu. Setibanya di Pohon Sirih, Tuan Meninu diantar
menuju armida Pohon Sirih. Selanjutnya, warga berjalan menuju kapel Tuan Ma,
lalu menjemput Tuan Ana, dan bersama warga menuju Gereja Katedral Larantuka.

Ritual
keagamaan dilakukan dengan mencium salib (bagian dari penghormatan salib) di
Gereja Katedral Larantuka mulai pukul 15.00 Wita. Lalu pukul 18.00, umat
kembali menjalani prosesi yang dibuka dengan ovos atau peratapan. Ovos atau
nyanyian ratapan dilakukan di gereja selama 15 menit. Lalu umat keluar dari
gereja dan mengelilingi delapan armida di Larantuka. Tuan Ma dan Tuan Ana
beserta iring-iringan menjenguk delapan armida ini hingga pukul 03.00 Wita,
hingga kembali lagi ke gereja. Ini adalah puncak prosesi Semana Santa di
Larantuka.

Tapi, ritual
Paskah ini belum berakhir. Pada Sabtu pukul 07.00 Wita, Tuan Ma dan Tuan Ana
diantar pulang ke kapel masing-masing. Saat
Tuan Ma dan Tuan Ana kembali ke kapel masing-masing, suku mengambil alih
prosesi. Suku khusus mengemas kembali Tuan Ma dan Tuan Ana, lalu kapel pun
ditutup untuk umum. Berbagai suku, umat,
masyarakat Flores hingga tamu asing berbaur
dalam rangkaian prosesi lebih dari 24 jam ini.

Sabtu sore,
warga Larantuka melakukan Misa Sabtu Santo (Misa Malam Paskah), mulai pukul
18.00 Wita. Pada waktu inilah lonceng gereja boleh dibunyikan kembali. Selanjutnya,
ritual Paskah ditutup dengan misa. Misa Minggu dilakukan tiga kali, pukul
06.00, 08.00, dan 16.00 Wita.

Warga
kembali ke rumah dan melepas lelah. Selama mengikuti ritual suku dan
agama, semua umat bersemangat dan kuat secara fisik. Memang setelahnya tubuh
terasa lelah dan kebanyakan warga menikmati waktu istirahat seusai Misa Minggu.
Saat ritual Paskah, semua rumah
di Larantuka terbuka untuk siapa saja. Tamu asing boleh menumpang mandi atau
merebah di setiap rumah. Biasanya gereja juga menyiapkan pemandu wisata bagi
tamu asing yang ingin mengikuti prosesi.

Prosesi
Paskah di Larantuka memang satu-satnya di Indonesia. Itu juga yang membuat
warga NTT perantauan selalu mengusahakan ke Larantuka saat Paskah. “Saya selalu
ambil cuti dan pulang kampung selama seminggu untuk Paskah ini,” kata
Stanislaus Soda yang lahir dan besar di Larantuka dan telah 20 tahun tinggal di
Jakarta.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36648

Untuk melihat artikel Nusantara lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :