Matanya menatap wajah tamu dengan lemah. Tak ada yang bisa
keluar dari mulutnya selain erangan. Namanya Panji Akbar Pratama. Tiga
bulan lalu, Panji remaja warga kampung Cikaracak Desa Cikaracak
Leuwiliang, Bogor yang kurus kerontang ini tergolek lemas di rumah sakit
PMI Bogor. Waktu itu, puluhan wartawan berusaha mengambil gambarnya. Sekujur tubuh remaja yang menderita itu terdapat bekas luka.

Panji diduga disiksa saat berada di rehabilitasi jiwa dan narkoba di
Sukabumi. Orangtua Panji sendirilah yang mengirimnya ke sana, atas saran
seorang kerabat. Panji yang sejak berumur 2 tahun menderita autisme
memang tidak mendapat terapi yang seharusnya dilakukan pada anak
berkebutuhan khusus seperti dirinya. Dia sering trantum (marah-marah)
tanpa kendali di sembarang tempat. Memukul teman-temannya dan menyakiti
diri sendiri. Karena merasa tak sanggup, sang ibu menitipkan Panji di
tempat itu sejak tahun 2009. Ternyata keputusan Tita Andriana, ibu
Panji,adalah keputusan yang salah. Tita menduga, Panji tidak diurus dan
tak diberi makan yang layak oleh pihak rehabilitasi.

Hal itu terlihat dari badan Panji yang kurus kering. Fatalnya, Tita
dan suaminya jarang menjenguk Panji. Ia mengaku bila sejak awal tahun
lalu, tidak pernah menjenguknya. “Biasanya, sebulan sekali kami
menengok. Namun, karena saya sedang hamil, jadi belum bisa menjenguk
lagi,” bebernya. Itu membuat Panji bertambah parah. Tak ada komunikasi
yang baik dengan Panti rehabilitasi. “Waktu kami mengantarkannya,
tubuhnya tak terlalu kurus, “ kata Tita, ibu dua anak ini. Melihat
kondisi Panji, Tita bersama Pemerhati Perehabilitasi Khusus membawa
Panji ke RS Palang Merah Indonesia (PMI) Bogor.

Saat dijemput, Panji tinggal di dalam kamar seperti kandang bebek.
Tak hanya itu. Kedua tangannya diikat sambil ditutupi terpal. Saat
terpalnya dibuka, terlihat bekas luka dan bekas sundutan rokok di
sekujur tubuh.

Tak semua panti rehabilitasi memadai untuk anak-anak berkebutuhan
khusus. Tita memilih Panti Rehabilitasi untuk narkoba, karena dia tak
mau repot mengurus anak sulungnya itu. “Anak-anak yang berkebutuhan
khusus, memerlukan kasih sayang yang tulus dari orang tuanya, “ kata drs
Dyah Puspita, Psi, psikolog anak dari Universitas Indonesia. Menitipkan
ke Panti bukan solusi yang baik.

Menurut Dyah, orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus harus
berbesar hati menerima kenyataan, bahwa anak mereka menderita autisme.
Sifat dan tingkah laku anak ini memang berbeda dengan anak lainnya. Hati
orang tua yang menerima kenyataan anaknya, akan cenderung dapat
memberikan lingkungan yang nyaman untuk perkembangan mereka. “Manusia,
bagaimanapun keadaannya, jika tak diterima oleh lingkungan terdekatnya,
tidak akan berbahagia, “ kata psikolog yang juga memiliki anak
berkebutuhan khusus ini.

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, kemiskinan dan
pengetahuan yang amat minim terhadap spektrum autisme memang menjadi
masalah tersendiri. Keluarga dan masyarakat melihat autisme pada anak
sebagai beban dan sesuatu yang tak terpecahkan.

Ada perlakuan tragis seperti yang dialami oleh Panji. Agus namanya.
Agus adalah penderita autisme regresif (autisme yang tidak sejak lahir).
Remaja berumur 13 tahun ini adalah warga kampung Blukuk, Kecamatan
Kronjo, Kabupaten Tangerang. Dia telah dipasung keluarganya sendiri
selama 10 tahun. Hal itu dilakukan keluarga karena Agus kerap berlaku
kasar terhadap orang-orang.

Selain itu, orangtuanya yang hanya bekerja sebagai petani, tidak
mampu membiayai pengobatan dan terapi Agus. Kakak Agus, Fajar,
mengatakan, gejala autisme adiknya ini terlihat sejak berumur 3 tahun.
Karenanya, Agus menderita autisme regresif. Padahal sebelumnya, kata
dia, Agus bertingkah normal seperti anak biasanya. “Setelah 3 tahun dia
jadi aneh seperti suka ngomong sendiri dan kasar sama orang. Kalau dia
main keluar rumah sering menghilang, tidak kembali ke rumah,” ungkapnya.

Akibat keterbatasan ekonomi, pihak keluarga tidak mampu membiayai
pengobatan dan terapi Agus. Tak ada pilihan lain bagi keluarganya ,
selain memasungnya di samping rumah. Kaki kiri Agus diikat di rantai
besi yang telah disemen. Fajar mengemukakan alasan keluarga memasung
Agus. “Takutnya dia melukai orang atau menghilang, jadi terpaksa
dipasung,” papar Fajar.

Keterbatasan biaya pengobatan membuat penderita autisme, Lorenzius
Heri Kurniawan (13) juga mengalami hal yang hampir sama dengan Agus.
Warga desa Tembalang, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar diikat oleh
keluarganya sendiri selama lima tahun

Menurut pihak keluarga, hal itu terpaksa dilakukan akibat ulah Heri
yang sering mengamuk, hingga mengancam keberadaan orang-orang di
sekitarnya. Elizabet Giyanti (37) ibu kandung Heri menuturkan, perubahan
kondisi Heri dimulai sejak umur tiga tahun setelah kelahirannya pada
tahun 1997 lalu. Saat itu kondisi Heri sudah mulai tidak normal dan
sering marah-marah. Tingkah lakunya sering kali berubah-ubah. Misalnya
dia sering dengan tiba-tiba bertingkah aneh. “Tanpa ada sebab
kadang-kadang mendadak dia lari kencang terus kembali,” kata Giyanti.

Diceritakan Giyanti, sebelum itu, kondisi Heri normal. Terlihat dari
beberapa kosa kata yang dia ucapkan. Layaknya anak yang mulai belajar
bicara. Beberapa kata seperti ayam, ayah, makan, dapat diucapkannya
meski belum sepenuhnya jelas.

Setelah usia masuk tiga tahun, kata-kata yang awalnya mampu ia
pelajari, hilang begitu saja. Hal itu disertai dengan perubahan kondisi
psikologisnya. Semakin lama kondisi psikologis Heri semakin parah,
bahkan dia sudah tak bisa lagi berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya. Menginjak usia tujuh tahun dia mulai sering mengamuk. Heri
marah dengan merusak segala sesuatu yang ada di sekitar- nya. Sejak saat
itulah pihak keluarga mengikat Heri di bawah pohon rambutan samping
rumahnya. “Kalau merusak rumah orang lain sih sekali. Yang sering adalah
merusak barang-barang rumah sendiri dan rumah neneknya,” kata Giyanti.

Akibat kondisi itu, selama setengah tahun terakhir ini Heri mendapat
bantuan obat dari yayasan Budi Mulia Malang. Namun akibat kondisinya
yang labil, obat jarang terminum oleh Heri. Bahkan sering kali sesaat
meminum obat, Heri selalu marah-marah.

Hingga saat ini pihak keluarga tak mampu berbuat banyak. Hanya bisa
pasrah. Menghabiskan siang, Heri hanya terdiam dan terikat dibawah pohon
rambutan, sedangkan malam harinya kembali kerumah dengan tangan yang
masih terikat pula. “Saya sudah tak tahu harus berbuat apa. Mau dibawa
ke rumah sakit tak ada biaya. Saya hanya bisa berharap pada pemerintah
agar mau membantu kesehatan anak ketiga saya ini,” pinta Giyanti. (Indah)

Untuk share atikel ini klik www.KabariNews.com/?36434

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :