Mendengar nama besar Christopher Columbus yang berhasil
menemukan benua Amerika pada tahun 1492 sudah pasti mengundang decak
kagum bagi sebagian orang yang membaca kisah pengalamannya, namun lebih
dari itu pengalaman Cheng Ho lebih berkesan. Jauh sebelum penjelajahan
samudera yang dilakukan Columbus, antara tahun 1405 – 1433 Cheng Ho
sudah melakukan penjelajahan samudera untuk mempropagandakan kejayaan
Dinasti Ming, menyebarluaskan pengaruh politik ke negeri asing serta
mendorong perniagaan Tiongkok.

Cheng Ho mampu mengorganisir 317 armada kapal dengan awak kapal
sebanyak 28,000 orang. Tak kurang dari 30 negara di Asia, Timur Tengah
dan Afrika pernah disinggahinya. Armada tempurnya digunakan untuk
menyingkirkan kekuatan yang menghalangi perniagaan, bukan untuk invasi
atau menjajah bangsa lain.

Dari pelayaran luar biasa itu menghasilkan buku Zheng He’s Navigation Map
yang telah mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Di dalamnya
terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan
berbagai pelabuhan. Karena ekspedisi laut Cheng Ho-lah maka jalur
perdagangan Tiongkok dan dunia Timur dan Barat berubah, yaitu tidak
sekadar bertumpu pada ‘Jalur Sutera’ antara Beijing dan Bukhara.

Tercatat ia telah 7 kali mengunjungi Nusantara. Saat menyusuri Laut
Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Lalu
armada segera berlabuh di Simongan, Semarang. Mereka tinggal di sebuah
goa, sebagian lagi membuat pondok. Wang akhirnya menetap dan menjadi
cikal bakal keberadaan warga Tionghoa di Semarang. Wang juga
mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung serta membangun kelenteng
Sam Po Kong.

Dalam catatan sejarah, ekspedisi Laksamana Cheng Hoo sering melintasi
Indonesia. Daerah yang pernah dikunjungi antara lain; Pulau Jawa,
Palembang, Aceh, Lamuri, Batak, Lide, Pulau Aru, Tamiang, Pulau Brasss,
Pulau Lingga, Kalimantan, Pulau Gelam, Pulau Karimata, Beliton.

Bahkan di Jawa, petualang asal Hui pemeluk Islam itu bersama anak
buahnya mendirikan sejumlah masjid dan musholla. Ekspedisinya melewati
Indonesia, ketika masa kejayaan Kerajaan Majapahit, Kerajaan Samboja di
Palembang dan Kerajaan Samudera Pasai di Aceh.

Masjid Muhammad Cheng Ho

Di Surabaya ada satu masjid megah yang diberi nama Masjid Muhammad
Cheng Ho, masjid ini adalah bentuk penghormatan kepada Laksamana Cheng
Ho yang telah berjasa dalam misi politik perdamaian bahari, perdagangan
dan akulturasi budaya.

Bangunan masjid seluas 231 meter persegi yang berada di komplek Pembina Iman Tauhid Islam (PITI) di Jalan Gading Surabaya itu mengambil bentuk yang menonjolkan kekhasan budaya Tionghoa. Masjid ini didirikan oleh pengurus PITI, pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur dan tokoh masyarakat Tionghoa di Surabaya.

Pembangunan masjid ini terinpirasi dari Masjid Niu Jie di Beijing
yang dibangun tahun 996 Masehi. Bentuknya mirip kelenteng tempat ibadah
agama Tri Dharma. Warna masjid mencerminkan unsur budaya dari Tiongkok
seperti merah, kuning, biru dan hijau. Dalam kepercayaan Tionghoa, warna
merah adalah simbol kebahagiaan, warna kuning adalah simbol
kemasyhuran, warna biru adalah simbol harapan, dan warna hijau adalah
simbol kemakmuran. Terdapat relief naga dan patung singa dari lilin,
serta di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk. Kompleks Masjid
Muhammad Cheng Ho dibangun di atas tanah seluas 3.070 meter persegi.

Masjid Muhammad Cheng Ho dibangun 10 Maret 2002 dan rampung serta
diresmikan 13 Oktober 2002, menghabiskan biaya sekitar 3,3 miliar
rupiah. Masjid ini pun dikenal sebagai masjid pertama di Indonesia yang
menggunakan nama Muslim Tionghoa. Bangunannya bernuansa etnik dan antik
cukup menonjol dibandingkan bentuk masjid lain pada umumnya di
Indonesia.

Masjid ini mampu menampung sekitar 200 jamaah. Bangunan utamanya
berukuran 99 meter persegi. Pada bagian atas bangunan terdapat delapan
sisi. Angka-angka 8, 9 dan 11 itu memiliki makna mendalam. Angka 11
adalah ukuran Ka’bah ketika pertama kali dibangun, angka 9 menandakan
jumlah Wali Songo yang berjasa melakukan penyebaran Islam di tanah Jawa.
Sedangkan angka 8 merupakan lambang Pat Kwa yang dalam tradisi Tionghoa
berarti keberuntungan atau kejayaan.

Di sisi kiri dan kanan bangunan terdapat bangunan pendukung, yang
keduanya berada lebih rendah dari bangunan utama. Pada ornamen masjid,
terdapat kolaborasi joglo yang bermakna persatuan dan kesatuan umat. Di
sisi kanan masjid terpasang sebuah replika kapal Laksamana Cheng Ho yang
konon pernah memiliki armada melebihi Columbus. Replika ini dikerjakan
oleh seorang warga Surabaya asal Sulawesi, Abadaeng.

Arsitektur masjid secara keseluruhan dikerjakan oleh seorang insinyur
asal Bojonegoro, Abdul Azis Johan. Masjid ini dianugerahi penghargaan
sebagai masjid unik dan perdana berciri khas Tionghoa oleh Museum Rekor
Indonesia (MURI)

Masjid Muhammad Cheng Ho, Surabaya merupakan salah satu dari tiga
Masjid Cheng Ho di Indonesia. Dua yang lainnya adalah Masjid Cheng Ho
Palembang atau Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang dan
Masjid Cheng Ho Pandaan, Pasuruan. Berbeda dengan Masjid Cheng Ho
Surabaya dan Palembang yang didirikan atas prakarsa para sesepuh,
penasehat, Pengurus PITI serta tokoh masyarakat Tionghoa, Masjid Cheng Ho Pandaan, Pasuruan dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Pasuruan.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36321

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :