Hitam kulit keriting rambut, aku Papua…
Biar nanti langit terbelah, aku Papua…

Demikian selarik lagu ciptaan Edo Kondologit, penyanyi pop kelahiran
Papua. Lagu itu tak melulu menggambarkan fisik orang Papua semata, yang
memang hitam dan berambut keriting.

Tapi lebih dari itu, yakni menyangkut bagaimana orang Papua
mengidentifikasi dirinya dan menjaga martabatnya dengan sebuah
kebanggaan komunal : kami orang Papua.

Di kalangan masyarakat asli di Papua, pengidentifikasian ini bahkan
mengental menjadi dikotomi Indonesia-Papua. “Papua dan Indonesia adalah
dua hal yang berlainan,” kata Markus Haluk, aktivis Papua dalam sebuah
seminar wartawan tentang peliputan penegakan HAM Papua yang diikuti Majalah Kabari pertengahan tahun 2010.

Orang Papua menganggap hal itu justru dimulai oleh pemerintah sendiri
yang menempatkan orang Papua sebagai ‘orang lain’, atau ‘bangsa lain’.
Justifikasinya, ketidakadilan politik dan ekonomi yang diterima
masyarakat Papua.

Di bidang ekonomi, terjadi eksploitasi besar-besaran bumi Papua oleh
Freeport (perusahaan A.S.) hanya dengan sedikit imbal balik kepada
masyarakat Papua. Memang sejak sepuluh tahun belakangan terjadi
peningkatan arus masuk dana kepada Pemerintahan Daerah Papua dan Papua
Barat dari pajak yang dibayar Freeport.

Tapi hal itu masih belum cukup membayar ‘dosa’ ketika selama puluhan
tahun sebelumnya hak ulayat warga Papua diabaikan secara semena-mena.

Di bidang politik setali tiga uang. Sembilan tahun setelah
diterbitkan Undang-Undang no. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Papua, namun belum juga ada perubahan yang berarti. Keadaan bahkan lebih
memburuk.

Kekerasan militer atau pelanggaran HAM masih
terus terjadi, ruang demokrasi tertutup, standar hidup anjlok ke taraf
yang lebih rendah sehingga sebagian besar penduduk tak punya akses
pelayanan kesehatan, pendidikan dan peluang kerja.

Kondisi itulah yang mendesak masyarakat untuk mengembalikan Otonomi Khusus kepada pemerintah dan menuntut referendum.

Teriakan referendum sebetulnya bukan lagu baru bagi orang Papua, namun
telah dimulai sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 usai. Pepera
1969 secara resmi merupakan pintu masuk bagi integrasi Papua ke
Indonesia, tapi itu bukan tanpa soal.

Integrasi ternyata diwarnai beragam kekerasan, terutama setelah rezim Soeharto memberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) di pulau yang kaya akan sumber mineral tersebut.

Alih-alih memberantas gerakan separatis, DOM malah melegitimasi pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada warga Papua, yakni pendekatan kekerasan.

Tak terhitung jumlah korban kekerasan yang dilakukan oknum militer di Papua saat DOM berlangsung. Itu semua demi menebus sebuah idiom keramat : Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Akar Persoalan Papua

Menurut penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2008, sumber-sumber konflik Papua dikelompokkan dalam empat masalah.

Pertama, masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang
asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi
massal ke Papua sejak tahun 1970.

Kedua, kegagalan pembangunan terutama
di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik
antara Papua dan Jakarta. Dan keempat, pertanggungjawaban kekerasan
Negara di masa lalu terhadap warga Negara Indonesia di Papua.

Penelitian yang dilakukan tim (LIPI)
beranggotakan Muridan S Widjojo, Andriana Elisabeth, Amirudin Al-Rahab,
Cahyo Pamungkas, dan Rosita Dewi itu menyimpulkan ada empat jalan
penyelesaian yang harus ditempuh.

Yakni, kebijakan rekognisi yang berupa afirmasi terhadap proses
sosial yang agenda-agendanya berpihak dan difokuskan kepada orang Papua
sekaligus dengan jati dirinya. Artinya, perlu perlindungan dan
pengembangan sumber daya orang Papua agar mereka mampu tampil dengan
segala kelebihannya.

Berikutnya adalah membuat paradigma baru pembangunan untuk mendukung
rekognisi tersebut. Pembangunan harus difokuskan pada program-program
pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar orang Papua, seperti kualitas
pendidikan, kesehatan dan kemakmuran ekonomi.

Selanjutnya perlu dilakukan dialog komprehensif antara Jakarta dan Papua. Menurut LIPI,
selama ini hubungan Jakarta dan Papua terhadang ‘tembok besar’ yang
menyangkut perbedaaan kontrsuksi politik tentang sejarah dan status
politik Papua di Indonesia.

Dalam hal sejarah, para nasionalis Papua beranggapan orang Papua tidak dilibatkan dalam New York Agreement (NYA) 1962 dan Pepera 1969 berlangsung dibawah tekanan dan penuh kecurangan.

Bagi pihak Indonesia, Papua secara prinsip dengan sendirinya menjadi
bagian integral Indonesia sejak prokalamasi 1945 karena wilayah Papua
sebelumnya adalah bagian dari Nederlands Indie (Hindia Belanda) yang
kemudian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Langkah berikutnya yang perlu ditempuh adalah rekonsiliasi. Bukan
rahasia ketika operasi militer diberlakukan di Papua, banyak menimbulkan
korban sipil dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sayangnya, hingga kini penyelesaiannya tak pernah jelas.

Karena itu perlu ditempuh langkah-langkah konrit untuk menyeret para pelakunya ke pengadilan serta pemulihan hak-hak korban. (yayat/sumber: papua road map, lipi)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36216

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Klik di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
_______________________________________________________________

Supported by :