Kota Kudus terkenal dengan tiga
sebutan sekaligus, yakni Kota Kretek, Kota Jenang, dan Kota Para Wali. Disebut kota
kretek karena terdapat setidaknya dua industri rokok berskala nasional, pabrik
rokok Djarum dan Nojorono dengan jumlah pekerja mencapai ribuan orang.

Kemudian di sana juga banyak terdapat pabrik Jenang,
sejenis makanan khas Kota Kudus yang rasa dan bentuknya mirip dodol. Jenang
Kudus ini termasuk oleh-oleh favorit bagi para pelancong.

Sementara untuk sebutan Kota Para
Wali, karena di wilayah yang letaknya sekitar 30 kilometer ke arah timur dari Kota
Demak ini, terdapat dua makam Sunan anggota majelis Walisongo yang menyebarkan
agama Islam di Pulau Jawa, yaitu makam Sunan Kudus di pusat kota dan makam
Sunan Muria di pegunungan Muria.

Pusat Kota Kudus tergolong kecil,
cukup dengan bersepeda kita sudah bisa berkeliling menikmati keelokan Kota Kudus
dengan segala warnanya. Kita juga tak
perlu khawatir tersesat, karena penduduknya sangat ramah dan bersedia menujukkan
jalan seterang-terangnya.

Jujur saja, soal keramahan penduduk,
Kota Kudus betul-betul patut diacungi jempol. Beberapa kali Kabari menanyakan nama jalan, mereka tanpa sungkan
langsung menghampiri si penanya, lalu menunjukkan arah jalan yang ditanyakan
dengan menggunakan ibu jari.

Nah menariknya, kadang penjelasan
yang diberikan terdengar lucu dan unik. Terutama bagi orang luar daerah yang
baru pertama kali datang ke Kota Kudus. Termasuk
Kabari saat bertanya jalan menuju Menara Kudus kepada seorang tukang becak di Alun-Alun
Kota Kudus.

“Dari jalan ini mobil tidak bisa
masuk, harus ngiri terus lurus, nanti
nganan, ketemu bangjo nganan lagi, terus lurus, ketemu bangjo kedua nganan, ngiri
lagi, dari sana
sudah terlihat menaranya,” ujarnya.

Soal nganan dan ngiri, kita bisa
langsung menebak bahwa itu artinya ke kanan dan ke kiri, tapi soal bangjo, apa pula artinya?

Bangjo merupakan adalah sebutan untuk lampu
pengatur lalu lintas atau traffic light. Kata bangjo akronim dari kata Abang dan Ijo, yang dalam bahasa jawa
artinya merah (abang) dan hijau (Ijo). Supaya
mudah, mereka lalu menyebut dengan bangjo saja untuk lampu pengatur lalu
lintas.

Sempat berpikir ini adalah istilah
prokem (bahasa gaul) ala Jawa. Awalnya mungkin saja iya, tapi kenyataannya
sekarang kata bangjo sudah umum digunakan masyarakat di sejumlah kota di Jawa Tengah. Mulai
dari tukang becak, tukang parkir, polisi, mahasiswa, hingga Bupati dan
Gubernur. Bahkan kata ini sudah menjadi bahasa jurnalistik surat kabar setempat.

Mantan pegawai Pemerintahan
Kabupaten Kudus yang kini bergiat di dunia kesenian, Anwar Holid (68), mengungkapkan,
dulu bangjo Kota Kudus masih sedikit, tapi sekarang sudah lumayan banyak. Kudus
memang tergolong kota
kecil. Bahkan Kabupaten Kudus menjadi kabupaten terkecl di Jawa tengah dengan 9
kecamatan.

“Seiring perkembangan kota, jumlah bangjo Kudus
kini semakin banyak. Tapi untungnya meskipun banyak, tak ada ceritanya Kota Kudus
itu macet, kalaupun macet paling-paling di sekitar pabrik rokok di jam-jam
tertentu saat ada aktifitas buruh yang keluar masuk,” ujar Holid bangga. “Lagipula
para pekerja pabrik rokok mayoritas menggunakan sepeda, jadi tidak menghasilkan
polusi.”

Lebih Pas Daripada Sebutan Lampu Merah

Tak begitu jelas bagaimana dan
siapa yang pertama kali mempopulerkan kata Bangjo ini. Menurut cerita, kata Bangjo
mulai dikenal sejak tahun 80-an ketika pemerintah sedang giat membangun infrastruktur
jalan di kota-kota Jawa dan mendirikan banyak lampu pengatur lalu lintas.

Konon, awalnya disebut lampu abang
ijo, kemudian menjadi abang ijo. Akhirnya lama-kelamaan disingkat menjadi bangjo saja.

Menurut Anwar Holid (48) kata
bangjo semata-mata muncul karena kreatifitas masyarakat Jawa. “Kata bangjo
mempresentasikan sifat asli orang orang Jawa yang cenderung menginginkan hal-hal
yang sederhana, tak mau neko-neko,” kata Holid.

Di Jakarta, atau dalam bahasa
Indonesia umumnya, lampu pengatur lalu lintas disebut lampu merah, dengan dua
suku kata, lampu dan merah.

Berbeda dengan bangjo, yang
terdiri dari satu suku kata dan relatif mudah diucapkan. Kata Lampu Merah merah sulit diakronimkan menjadi satu kata
yang enak didengar.

Kalau disandingkan, kata bangjo
memang lebih enak didengar daripada kata lampu merah, kok. Iya kan?

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36136

Untuk

melihat artikel Jalan-Jalan lainnya, Klik

disini

Klik

disini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon
beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :