Buku ini dicetak tahun 1999, setahun setelah kejatuhan
Soeharto. Penulisnya Radhar Panca Dahana, seorang penulis lepas
sekaligus penggiat teater moderen Indonesia.

Meski sudah 11 tahun lalu, buku “Kembali Menjadi Indonesia” masih
sangat relevan dengan kondisi bangsa yang saat ini bertubi-tubi dilanda
kekerasan.

Sebagai seniman, Radhar menyimak betul bagaimana situasi politik saat
itu yang menurut dia berakibat pada perubahan identitas akan
ke-Indonesia-an. Baik identitas dalam rupa negara, budaya, seni, maupun
tradisi.

Buku “Kembali Menjadi Indonesia” memuat nalar-rasio atau
pemahaman-pemikiran yang kadang tak terpikirkan oleh kebanyakan orang.
Termasuk dalam hal-hal yang tampaknya remeh–temeh (sepele-red).

Karenanya, membicarakan soal hangatnya teh poci di daerah Blok M,
atau ucapan-ucapan kontroversial ala Gus Dur misalnya, menjadi begitu
‘serius’ diangkat. Sebaliknya, hal-hal yang serius seperti soal
dekadensi atau krisis identitas, menjadi begitu ringan diulas.

Ini bukan berarti Radhar membolak-balik kadar masalah dalam setiap
tema di bab-bab buku ini. Tetapi menandakan kedewasaan sekaligus
kejeniusan Radhar dalam dunia olah tulis yang memang telah digelutinya
sejak masih sering nongkrong di kawasan Blok M tahun 80-an.

“Kembali Menjadi Indonesia” juga mengungkap banyak kegelisahan
Radhar, yang diyakini juga merupakan kegelisahan orang banyak. Namun
kegelisahan ini tak pernah menjadi sebuah gugatan akan keadaan,
melainkan premis-premis (kesimpulan pemikiran-red) yang mungkin benar
adanya.

“Pasukan Mataram memang gagal masuk ke Batavia, tapi Warung Tegal
berhasil menaklukan Jakarta, tanpa perlu Jakarta merasa tertaklukan”
demikian salah satu premis yang dikutip Radhar dari seorang seniman
Tegal.

Selian itu, tema yang diangkat di setiap bab berdimensi kekinian.
Mutakhir. Seperti saat mengulas tentang peran media di Indonesia sebagai
bagian dari sosiokultural masyarakat. Tak pernah sekalipun ia
menegasikan (meniadakan-red) perubahan yang terjadi dalam industri media
diakibatkan gempuran teknologi informasi. Karena bagaimanapun media
memegang peran penting dalam perjalanan sejarah sebuah masyarakat (baca:
negara)

Akhirnya kembali pada judul, mengapa harus “Kembali Menjadi
Indonesia”, memangnya apa yang terjadi dengan ke-Indonesia-an kita?
Lunturkah?

Pertanyaan itu layak diajukan, sebab setelah sekian puluh tahun kita
menjadi ‘seorang’ Indonesia, ternyata masih banyak dari kita yang
menihilkan kedamaian dalam perbedaan, lebih memilih kekerasan ketimbang
dialog, dan lebih memilih memelihara dendam dari pada maaf.

Padahal, sejarah ribuan tahun negeri yang dulu bernama Nusantara ini pernah mencatat, hidup kita rukun. (yayat)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?35793

Untuk

melihat artikel Buku lainnya, Klik

di sini

Klik

di sini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :

[NPI
Float=”left”]/Media/2/jpg/2009/7/a6aa3f46-a60c-b49d-08b73226b7efd1be.jpg[/NPI]