Bung Karno dikenal sebagai seorang pengagum wanita. Kekaguman itu dapat dibaca sebagai bentuk penghargaannnya kepada kaum wanita. Dia sangat mencintai ibunya dan pandai  menjaga perasaan wanita.

Cindy Adams, wartawan Amerika penulis buku “Soekarno-Penyambung Lidah Rakyat” bahkan menganggap momen-momen bersama Bung Karno saat dirinya menulis buku tersebut, menjadi peristiwa yang paling membekas di hatinya.

Kekaguman Bung Karno kepada wanita semakin terkonfirmasi lewat “Sarinah- Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia”, sebuah buku yang ditulisnya sendiri.

Sarinah  adalah nama perempuan desa yang menjadi pengasuhnya ketika Bung Karno masih kanak- kanak. Konon, Sarinah yang mengajari Bung Karno untuk mencintai rakyat. “Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.” kata Sarinah seperti dikutip dalam buku karya  Cindy Adams.

Buku ini termasuk buku langka dan sejumlah penerbit sedang berlomba-lomba untuk mendapatkan ijin penerbitan kembali. Secara tersirat buku ini membuka ruang tafsir terhadap posisi kaum perempuan Indonesia. Soekarno berupaya mengungkapkan makna kemerdekaan dan kesetaraan perempuan ‘ala’ Indonesia. Catat, ‘ala’ Indonesia, bukan ‘ala’ barat atau ‘ala’ Eropa.

Hal ini memang ditekankan Bung Karno, karena menurutnya, dari aspek budaya dan sejarah,  ada sejumlah perbedaan yang tak bisa begitu saja dihilangkan. Terutama dalam memaknai gerakan feminisme pada masa itu.

Bung Karno menentang keras pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, “Mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki” (hal. 11). Ia lebih mendukung gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa meniru cara moderen atau cara Eropa, meski jangan pula terikat oleh paham konservatif, melainkan “Mencocokkan segala hal sesuai dengan kodratnya”.

Pun Bung Karno juga memandang aspek agama, dalam hal ini Islam, sebagai aspek penting  meninjau posisi perempuan Indonesia. Tapi di buku ini, Ia tak menyingungnya secara rinci  karena Ia sendiri mengaku bukan ahli fiqih (pengetahuan soal syariat Islam).

Kritik Pemikiran Impor

Sejak muda, Bung Karno memiliki sikap independen. Baginya, kemajuan barat dalam menelaah persoalan politik, ekonomi, termasuk soal kesetaraan perempuan, tidak harus dijawab dengan cara menelan mentah-mentah konsep atau hasil pemikiran impor tersebut.

Bung Karno menyentil Amerika ketika negara itu menihilkan peran perempuan. Tahun 1849, ketika Elisabeth Blackwell meraih gelar ‘doktor’, terjadi keributan yang dipicu oleh para lelaki Amerika yang mengaku “cinta kemerdekaan”, semata-mata karena menganggap perempuan  tak layak menjadi tabib/pengobat. Contoh itu diberikan Bung Karno karena Ia tidak ingin hal  itu terjadi di Indonesia.

Selain itu Bung Karno juga mengkritik gerakan Alliance for Women Suffrage and Equal Citizenship, yang pertama kali berkongres di Berlin pada tahun 1904. Menurut Bung Karno, gerakan itu hanyalah menuntut hak persamaan dalam pekerjaan dan pemilihan umum,  namun mengabaikan atau minimal terabaikan soal ketidak-adilan sosial yang ditanggung perempuan miskin.

Bagi Bung Karno, berbicara tentang kesetaraan perempuan maka bicara kesetaraan dalam segala aspek, namun juga tidak berarti sekaligus menyamaratakan perempuan begitu saja dengan laki-laki. Kegelisahan Bung Karno dalam soal ini sungguh kuat.

Pertanyaan menariknya, dari mana kegelisahaan itu bermula? Alkisah, Bung Karno kerap bertamu ke rumah penduduk tanpa ‘woro-woro‘ (pemberitahuan). Seringkali hanya tuan rumahlah yang menerima kunjungan Sukarno, sementara nyonya rumah tak ikut mendampingi.

Suatu kali ia menangkap bayangan seorang perempuan dari balik tabir yang tergantung di pintu pemilik rumah. Sejak saat itu, benak sang proklamator resah dengan beragam pertanyaan, “Bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan… tetapi, kemerdekaan yang bagaimana? Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum?Kemerdekaan ala Kollontay?”

Kemerdekaan. Betul kemerdekaan adalah obsesi tersendiri bagi Bung Karno. Sikapnya yang mutlak tentang makna kemerdekaan dalam konteks negara tak dapat diragukan lagi. Dan lewat buku ini Bung Karno mencoba menempatkan perempuan Indonesia sebagai konteksnya.

Buku ini membuktikan, Bung Karno bukan cuma politisi ulung, tapi juga pemerhati masalah sosial. Dan tentu saja tidak ketinggalan, pengagum wanita.  (yayat)

Judul: Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia
Penulis: Dr. Ir. Sukarno
Penerbit: Panitia Penerbit Buku
Buku Karangan Presiden Sukarno, Djokjakarta
Tahun: Edisi Ketiga, 1963 (cetakan pertama:1947)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?35114

Untuk

melihat Berita Indonesia / Buku lainnya, Klik

di sini

Klik

di sini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :