Klik Disini untuk Baca Artikel ini di Majalah Kabari April 2008  (E-Magazine) 

Tenggelam dengan serunya pemberitaan kampanye presiden AS, Undang-Undang Real ID akan mulai diberlakukan 11 Mei 2008. Salah satu butir aturan federal ini mensyaratkan negara bagian (DMV) untuk memeriksa dahulu status imigrasi seseorang sebelum mengeluarkan SIM atau ID.Meski angkanya tidak jelas, banyak imigran Indonesia yang terhantam keras oleh UU ini. Pendeknya, perundangan kontroversial ini menciptakan gonjang-ganjing (goncangan) dan mempengaruhi semua penduduk AS, baik imigran tanpa status, imigran legal, bahkan citizen.

Fitri sangat ketakutan sewaktu polisi menghentikan mobilnya di San Francisco.Pasalnya, ibu dari dua anak asal Jakarta ini mengemudi tanpa SIM (Surat Ijin Mengemudi). “Habis, saya perlu antar jemput anak sekolah”, katanya. Bukannya tidak ingin punya SIM, Fitri mengaku kesulitan membikin SIM di California. “Saya sudah gelap sejak 2003 dan tidak punya SS (Social Security),” katanya.

Kuatir terkena deportasi karena tuduhan “misdemeanor”, Fitri menyewa pengacaradengan uang muka $ 750. Beruntung Fitri tidak harus maju sidang dan cuma membayar denda $ 300 sebagai “unlicensed driver”. Februari lalu,Fitri mencoba mendapatkan SIM melalui agen yang sering beriklan di majalah Indonesia di AS. “Aduh, masa mereka charge saya $ 3000 untuk SS dan SIM keluaran Chicago,” kata pekerja restoran berupah minimum ini.

Lain lagi cerita Fadjar di Atlanta. Harapannya mendapatkan SIM dari New York putus di jalan. Gubernur Eliot Spitzer, yang baru saja mundur karena skandal ranjangnya, membatalkan rencana untuk memberikan SIM kepada para imigran tanpa status tahun lalu. Fadjar bingung bagaimana memperpanjang driver-license yang masa berlakunya hampir habis. Pria yang bekerja sebagai sopir ini makin pusing. Karena Georgia baru saja mengundangkan bahwa berkendara tanpa SIM sama dengan tindak kejahatan (felony). Jika tertangkap 4 kali dalam 5 tahun tanpa SIM bisa kena bui minimal setahun. “Susah ! Seperti LA, di Atlanta kemana-mana kita musti nyetir mobil,” katanya

Fitri dan Fadjar tidak sendirian. Meski angkanya tidak jelas, banyak imigran Indonesia yang bernasib sama. Kelompok inilah yang paling terhantam keras oleh UU Real ID yang mulai berlaku pada tanggal 11 Mei 2008. Karena, UU federal ini mensyaratkan untuk memeriksa dahulu status imigrasi seseorang sebelum mengeluarkan SIM atau ID. Sebelumnya, pembuatan SIM atau ID hanya urusan negara bagian. Dan Amerika Serikat tidak mengenal sistem ID nasional. Tapi, begitu aturan baru ini berlaku, semua negara bagian harus membuat kartu identitas yang sesuai standar yang digariskan dalam aturan Real ID.

Gonjang-ganjing menjelang berlakunya UU Real ID ini sebenarnya tidak hanya berdampak pada imigran tak berdokumen saja. Nyatanya, perundangan ini sudah menghebohkan banyak imigran legal, bahkan warga negara AS. Sejak Januari 2008, Homeland Security,sebuah instansi federal yang mengatur urusan imigrasi di AS, sudah mengumumkan agar semua negara bagian tunduk pada Undang-undang ini.Apabila belum siap, negara bagian bisa mengajukan mengajukan perpanjangan waktu kepada Homeland Security paling lambat 31 Maret 2008.

Bahkan Homeland Security menegaskan, kalau negara bagian tidak mau mengikuti aturan Real ID, SIM dari negara bagian tersebut tidak akan diakui dan diterima di fasilitas federal. Artinya, orang-orang dari negara bagian yang membangkang aturan “Real ID” akan kesulitan memasuki airport atau gedung federal (RS Veteran, Pengadilan Federal dan Kantor Social Security) setelah 11 Mei 2008.

Menghadapi situasi ini, kebanyakan negara bagian memang menaati UU RealID. Tapi, sampai minggu terakhir ada empat negara bagian yang menentang dan meminta perpanjangan waktu mematuhi perundangan ini. Antara lain,Maine, Montana, New Hampshire dan South Carolina.

Sampai batas akhir, federal merestui permintaan perpanjangan waktu oleh semua negara bagian. Tetapi, tak urung, sebagian orang yang tinggal di empat state tadi panik dan buru-buru memproses paspor. Bukan untuk bepergian keluar negeri, tapi agar bisa terbang ke state lain dan masuk kebandara yang merupakan fasilitas federal.

Kontroversi UU Real ID

Aturan Real ID merupakan undang-undang yang lolos di Kongres AS dan disahkan oleh Presiden George W. Bush di tahun 2005. Penggagasnya berpendapat bahwa urusan pembuatan kartu identitas harus diperketat karena teroris 9/11 memakai dokumen palsu mendapatkan SIM dan ID. Tetapi proses lolosnya perundangan ini dinilai tidak fair oleh sebagian kalangan. Karena UU ini secara terburu-buru diselipkan bersama UU tentang Perang Irak dan bantuan kepada korban tsunami yang harus disahkan.

Michael Chertoff, Kepala Homeland Security (DHS) berpendapat bahwa UU ini akan meningkatan standar pembuatan SIM dan ID di AS. Tahun lalu seorang pejabat DHS mengatakan di Kongres bahwa UU ini bisa dipakai untuk mengurangi penggunaan pekerja ilegal, penyalahgunaan suara pemilu dan mengurangi minum minuman keras di kalangan anak bawah umur.

Sesuai UU Real ID, setiap negara bagian secara seragam akan menyimpan sejumlah informasi pribadi seperti nama, tanggal lahir, jenis kelamin, nomor ID,foto digital, alamat dan “common machine-readable technology” yang disetujui Homeland Security. Kartu ini juga berlapis pengaman yang didesain untuk tahan gores dan menghindari pemalsuan atau penggandaan dokumen.

Menurut rencana, desain, warna dan font SIMdan ID tiap negara bagian bisa saja tetap berbeda. Tetapi semuanya memiliki info seragam. Pengkritik menganggap ini adalah usaha awal pemerintah federal untuk menjadikan ID nasional. Di kartu standar Real ID ini, negara bagian bisa memilih memasang microchip atau RFID (Radio Frequency ID Chips) seperti di paspor AS. Yang pasti kartu berstandar Real ID akan memakai barcode dua dimensi yang disebut PDF417. Banyak negara bagian yang sudah menaruh barcode ini di kartu identitas dan SIM.

Banyak warga AS menentang keras diberlakukannnya UU Real ID ini. Sejumlah gubernur dari negara bagian pembakang aturan ini berpandangan bahwa undang-undang ini menguras biaya sangat tinggi dan tanpa banyak dukungan dari federal. Juga, rencana bahwa federal bisa mengakses data seseorang di semua negara bagian akan mengancam“privacy”. Hal ini juga memungkinkan terjadinya pencurian identitas.

Dalam situs maya American Civil Liberty Union (ACLU), diungkapkan bahwa UU Real ID diskriminatif dan secara khusus menjadikan imigran sebagai sasaran empuk. Real ID dinilai akan mengubah DMV sebagai perpanjangan dari instansi imigrasi. Karena, pegawai DMV akan memutuskan apakah seseorang berstatus imigrasi legal atau tidak, sebelum mengeluarkan SIM dan ID. Sehingga, para imigran yang “tampangnya” asing dan “gaya bicaranya” aneh karena tidak bisa berbahasa Inggris bisa menjadi target kecurigaan. Contohnya, di negara bagian Tennesse di tahun 2004 pernah diuji coba sistem yang menyerupai Real ID ini. Akibat kurangnya pengetahuan pegawai DMV, dokumen seorang citizen kelahiran Puerto Rico dirobek-robek dan pemegang green card asal Nicaragua dituduh menyodorkan dokumen palsu. Bisa diharapkan antrian di DMV semakin lama dan panjang.

Real ID ini juga dianggap diskriminatif karena ribuan warga AS saat ini tidak memiliki foto dalam SIM atau ID karena alasan agama. Misalnya, orang Menonite, Amish dan sejumlah sekte Kristen di Nebraska dan sebagian muslim. Sekitar 12 negara bagian memperbolehkan ini terjadi. Tapi, dengan aturan Real ID,semua orang tanpa kecuali harus berfoto diri.

Rencananya di tahun 2014, setiap orang yang naik pesawat terbang dan memasuki gedung federal harus menunjukkan kartu identitas atau SIM yang sesuai standar UU Real ID, kecuali orang berusia 50 tahun lebih. Perkecualian itu memberikan waktu kepada negara bagian agar setiap orang punya kartu yang mengikuti aturan Real ID. Di tahun 2017, bahkan orang berusia lebih dari 50 tahun harus membawa kartu yang mengikuti standar Real ID.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana nasib aturan Real ID setelah berakhirnya pemerintahan Presiden George W. Bush dan Michael Chertoff ? Meskipun hal ini terlalu dini dikomentari, tetapi Obama dan Clinton keduanya menyatakan keprihatinannya terhadap UU Real ID ini. Sedangkan, John McCain secara antusias mendukung penuh diberlakukannya UU Real ID. Dan mungkin saja Kongres berubah pikiran karena rencana untuk mengganti perundangan ini mandek sejak Februari 2007.

Semua kehebohan soal Real ID ini kurang begitu masuk di akal buat Fitri dan Fadjar. “Kita bukan teroris kok. Di Amerika maunya kita pingin cari makan, ” kata keduanya secara terpisah. “Kalau tambah susah, kita pingin pulang saja,” tambah Fitri.

Fitri berharap suatu saat bisa bermobil membawa dua anaknya main ke Six Flag. Dan Fadjar masih bermimpi ada pemutihan buat orang tanpa status seperti dia.

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31227

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

MedicIns

Lebih dari 10 Program Asuransi Kesehatan

Klik www.TryApril.com          Email : Info@ThinkApril.com

Telp. 1-800 281 6175