Laut menjadi rumah kedua, sekaligus sumber penghidupan, sehinga laut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari mereka. Manakala laut tengah mengamuk, mereka tiada daya.

Daerah yang keras dan menyeramkan. Daerah ini berada di pesisir Teluk Jakarta. Lokasinya disekitar kolong flyover menuju Kawasan Berikat Nusantara Clincing (KBN Cilincing), Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.

Mayoritas penduduk Perkampungan Nelayan Cilincing berasal dari Jawa Barat seperti Indramayu, Cirebon atau Karawang. Bahasa sehari-hari yang biasa mereka gunakan adalah bahasa Sunda pasaran. Tidak ada data pasti berapa populasi mereka, karena orang yang datang dan pergi fluktuatif dan tidak terdeteksi. Bahkan, banyak pendatang yang tidak memiliki KTP dan tidak melapor ke perangkat RT/RW.

Perekonomian di Perkampungan Nelayan Cilincing mengandalkan hasil laut. Delapan puluh lima persen penduduknya berprofesi nelayan. Sisanya pedagang, pengumpul besi bekas dan bekerja di tempat lain. Jika melihat keadaan perkampungan yang padat dan terkesan kumuh ini, orang menebak strata ekonomi mereka dari kelas bawah. Tapi jangan salah, banyak juga juragan-juragan yang tinggal di sini. Para juragan ini umumnya punya lebih dari satu perahu dan kerjanya mengumpulkan hasil tangkapan nelayan suruhannya untuk dijual kembali ke pasar atau pelelangan ikan.

Laut adalah segalanya

Karena tinggal di tepi laut, masyarakat Perkampung Nelayan Cilincing memiliki hubungan yang dalam dengan laut. Seluruh aktifitas ekonomi disana berhubungan dengan laut. Mulai dari nelayan, pengumpul besi bekas sampai pemulung semuanya menggantungkan hidup pada laut. Keseharian mereka juga demikian. Bahkan saking dekatnya, masyarakat disana terbiasa membuang sampah ke laut.
“Kalau soal itu susah juga mas, RT/RW disini sudah sering mengimbau agar jangan membuang sampah ke laut, tapi emang dasarnya susah dibilangin,” kata Sukirman, nelayan disana.

Pemandangan pinggir laut di Perkampungan Nelayan Cilincing memang cukup memprihatinkan. Apalagi di depan tempat pelelangan ikan yang sudah tidak operasi, jumlah sampah berkubik-kubik.

Sukirman, 54 tahun, yang telah tinggal di sini sejak masih bujang hingga kini beranak empat mengatakan, “Hampir semua orang disini kehidupannya mengandalkan laut, laut sudah seperti rumah kedua buat kami.”

Bekerja sebagai nelayan lebih banyak dukanya. Tangkapan tidak sebanyak dulu. Para nelayan harus pergi jauh ke tengah laut, karena ikan-ikan di dekat pantai sudah ditangguk nelayan-nelayan besar berjaring pukat.

Untuk sekali melaut, Sukirman membutuhkan 30 liter solar, dengan harga Rp. 4.300 per liter. Nelayan macam Sukirman harus menyediakan uang Rp. 129.000 ditambah uang makan dan rokok. “Pokoknya, sekali melaut setidaknya kami harus punya uang seratus lima puluh ribu.”

Dengan modal jaring seadanya, terkadang mereka hanya membawa seember atau dua ember ikan unutk dibawa pulang. Jika sedang beruntung, ia bisa dapat seember ‘blekutek’, sejenis cumi kecil yang harganya lumayan. Nelayan Cilincing umumnya tidak menjual ikan di tempat pelelangan ikan yang terdapat di situ. Tetapi, langsung menjual ke pengumpul ikan atau menjualnya ke Muara Angke.

“Saya niat pensiun mas capek. Ingin pulang kampung saja ke Indramayu. Kebetulan tahun depan saya mencalonkan diri menjadi pamong desa,” papar Sukirman bangga.

Tidak Melaut

Kehidupan di Perkampungan Nelayan Cilincing sore itu tampak muram. Para nelayan duduk-duduk saja sembari ngobrol di perahu mereka. Keadaan ini sudah berlangsung tiga pekan. Dan akan terus berlanjut sampai cuaca membaik.

Para nelayan bergantung pada cuaca. Jika cuaca bagus mereka akan melaut. Jika buruk, terpaksa mereka tinggal dirumah dan tidak ada pemasukan. Untuk kebutuhan sehari-hari mereka mengutang di warung. “Ombaknya gede banget mas, jangankan nelayan, lha wong pemulung yang biasa cari sampah di pinggir laut aja enggak berani mendekat,” papar Sukirman.

Perkampungan nelayan ini tergolong daerah kumuh dan keras. Selain didiami oleh nelayan, banyak juga pemulung yang tinggal disini. Beberpa warga yang bukan nelayan biasanya membuka warung di pinggir jalan. Warung-warung itulah yang menjadi andalan mengutang saat para nelayan sedang tidak melaut.

Konon juga, tempat ini adalah penampungan para wanita PSK (Pekerja Seks Komersial) yang akan disalurkan ke lokalisasi Rawa Malang yang masih berada di satu kecamatan. (yayat)

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?2617

Klik Disini untuk Baca Artikel ini di Majalah Kabari Maret 2008 ( E-Magazine )

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

Photobucket

Lebih dari 100 Perusahaan Asuransi di California.

Asuransi Mobil, Kesehataan, Gigi, Bisnis, Jiwa.

Bisa dapat Premium Online Sekarang…..

Klik www.GreatPremium.com Sekarang

Telpon 1-800 281 4134            Email  Info@thinkapril.com