Akhirnya, kesenian bertujuan untuk menghibur. Di dalamnya bisa saja ada perenungan atau perayaan akan suatu makna. Dan tak peduli dimanapun, semua orang butuh hiburan.

Malam itu suasana di kolong jembatan Jatinegara tampak temaram dan hening. Hampir seluruh pedagang yang berjualan di sisi perlintasan rel kereta api Jatinegara sudah menutup kiosnya. Kecuali sebuah kios yang telah disulap menjadi panggung kecil. Didepannya terpampang sebuah spanduk kain bertuliskan “Marga Saluyu”. Kendang di sebelah kiri, kecapi di kanan, gong di pojok belakang dan sebuah keyboard elektrik yang ditaruh di luar panggung. Di depan panggung ada sebidang lantai yang terbuat dari pecahan keramik sebagai ‘lantai dansa’. Tak ada bangku penonton. Sound system pun hanya bermodal ‘menang kenceng doang’.
Jam sepuluh malam, empat sinden naik ke panggung lalu bersimpuh menghadap ke depan. Masing-masing memegang sebuah mirkofon. Dua sinden muda berdandan menor maju ke depan. Mereka bergoyang jaipong sembari mengundang siapa saja yang lewat untuk mampir dan bergoyang. Para pesinden terus bernyanyi, sementara penari jaipong tak lelahnya menari.

Pertunjukan di kolong jembatan Jatinegara oleh kelompok Marga Saluyu itu sudah berlangsung lama. Tidak satupun anggota kelompok yang tahu persis kapan Marga Saluyu mulai pentas di sana. “Yang jelas tahun 80-an, saya gabung kesini orang-orang yang merintis sudah tidak ada yang main lagi,” kata Teh Kokom, salah satu pesinden, yang nyinden sejak 1994.

Kelompok Marga Saluyu ini beranggotakan dua belas orang, terdiri dari delapan pesinden, dan 4 orang pemain musik. Semuanya berasal dari Karawang. Bersama-sama mereka mengontrak rumah. Biaya kontrak kios sebesar 2 juta rupiah pertahun, biaya listrik, dan harus pula menghidupi kedua belas anggotanya. Jika sedang beruntung, mereka sanggup meraup uang saweran hingga delapan ratus ribu rupiah satu malam. Uang saweran kemudian dibagi secara kekeluargaan dengan adil, yang paling banyak dapat saweran harus mau berbagi dengan yang lain.

Mengenai profesinya, Teh Kokom menganggap sama dengan profesi lainnya. Meski kerap mendapat perlakuan tidak senonoh dari penonton seperti mencolek-colek (maaf) pantat, Teh Kokom menganggap itu adalah resiko pekerjaan. “Saya sudah punya suami yang juga bermain kendang disini, suami juga tidak marah, yang penting jangan sampai berlebihan,” katanya menjelaskan.

Teh Kokom dan mungkin seluruh anggota Marga Saluyu sudah tak peduli lagi apa kata masyarakat. Bagi mereka, hanyalah kehidupan seperti inilah yang bisa dijalani untuk menyambung hidup. (yayat)

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?2610

Klik Disini untuk Baca Artikel ini di Majalah Kabari Maret 2008 ( E-Magazine )

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

Intero Real Estat

Lebih dari 1 juta rumah di Amerika

Klik www.InteroSF.com          Email :  Info@InteroSF.com

Telp. 1-800 281 6175