Tak terpikirkan oleh Oddie Octaviady – dulunya ke Amerika. Namun kemudian,ilmu yang ia tuntut di Amerika itu pulalah yang membekali hidupya. Kini ia sudah kembali, membuka kantor sendiri di Jakarta.

Sebelumnya tidak ada keinginan Oddie meneruskan kuliah di Amerika. Begitu gagal UMPTN (UjianMasuk Perguruan Tinggi Negeri), pikiran ingin sekolah di Amerika pun muncul. Keinginan itu didukung keluarganya. Setelah pilih-pilih dan cari tahu segala sesuatu tentang Amerika, akhirnya tahun 1990 ia terbang ke San Francisco ditemani kakaknya. Sampai disana ia mengambil kursus bahasa Inggris selama tiga bulan sembari beradaptasi dengan budaya dan sistem pendidikan Amerika. “Jujur saja, namanya anak muda,alasan kala itu lebih pada senangnya daripada belajarnya,” katanya terkekeh.

Sebagai pendatang, Oddie mengalami gagap budaya atau Culture Shock. “Saya kaget melihat betapa kehidupan masyarakat Amerika begitu bebas, prinsip lu-lu gue-gue kentara sekali. Lu mau kerjain apa aja terserah asal jangan ganggu gue,” kata Oddie.

Kemalingan

Baru beberapa bulan tinggal di Amerika, Oddie sudah mengalami kejadian pahit. Apartemennya dibobol pencuri. Peristiwa itu terjadi, ia sedang nonton konser. Sebuah pesawat televisi, DVD player dan puluhan koleksi CD kesayangannya raib.

”Untungnya,si pencuri tidak tahu ada uang di koper baju yang saya taruh di bawah tempat tidur. Kalau dia tahu pasti ‘diembat’, wah bisa jatuh miskin saya,” ujarnya. Setelah kejadian itu, Oddie pun berpikir, yang namanya maling ada dimana saja  tidak peduli di Amerika.

Masalah lain yang harus ia hadapi adalah adaptasi, karena secara frontal ia dihadapkan terhadap kehidupan masyarakat Amerika yang individualitis.Bahkan ia mengaku kerap mendapat perlakuan rasis. “Yang sedih,perlakuan itu juga saya dapatkan dari masyarakat Asia, bukan dari orang bule saja, padahal kita dari benua yang sama,” katanya, yang sempat membentuk band kecil-kecilan di Amerika.

Hidup Mandiri

Beberapa bulan kemudian Oddie harus berpisah dengan kakaknya yang diterima kuliah di kota lain. Sejak tinggal di Amerika kehidupan Oddie jauh berbeda. Segalanya ia lakukan sendiri, tak ada lagi pembantu atau orang yang bisa dimintai tolong. “Yang bikin berat sebenarnya adalah tanpa saudara, orang tua, atau orang yang kita kenal,” ujarnya.

Setelah lulus kursus, ia mendaftar di Academy Of Arts College mengambil jurusan Computer Arts. Pendidikan tersebut ia selesaikan tepat waktu, meski ia termasuk anak ‘bangor’ yang suka menghabiskan uang kiriman orangtuanya untuk nonton konser musik dan beli CD.

Oddie tergolong cerdas, ia pernah ditarik menjadi tenaga lepas disebuah perusahaan IT sebagai intern digital graphic artist selama setahun. ”Terus terang,keberuntungan saya bisa bekerja formal di perusahaan Amerika karena faktor pergaulan. Yah, namanya juga anak metal,” katanya merendah diselingi tawa.

Kerusuhan 1998

Oddie menamatkan kuliahnya tahun 1998 dengan gelar bachelor of fine arts. Sebetulnya gelar tersebut sudah cukup membawanya sebagai esekutif muda bila bekerja di Indonesia. Namun, Oddie memilih kuliah lagi dan mendaftar di Lincoln University. “Saya ingin memperkaya ilmu dengan memilih jurusan Computer Science,” katanya.

Tahun 1998 Indonesia diguncang krisis moneter. Saat itu Oddie hampir batal kuliah di Lincoln karena nilai tukar rupiah melonjak drastis. Ia menyadari betul, orangtuanya ditanah air pasti kelimpungan mencari uang untuk biaya kuliahnya. Lalu ia memutuskan pulang dari pada merepotkan orangtua, tetapi keinginan itu ditentang orangtuanya. “Berkali-kali orangtua saya bilang, kamu tenang saja, yang penting kamu belajar, soal biaya biar bapak yang cari,”katanya.

Oddie tidak jadi pulang dan tetap meneruskan kuliah ke Lincoln University. Krisis makin memuncak, Oddie dan teman-temannya di PERMIAS (Persatuan Mahasiswa Indonesia Amerika) berunjuk rasa damai di kantor Konjen RI San Francisco. “Kalau tidak salah, sehari setelah kami berunjuk rasa, Pak Harto lengser. Wah, ada bangganya juga, berarti kita turut andil dalam reformasi,” ujarnya.

Hikmah dari pergolakan politik diIndonesia waktu itu, Oddie jadi semakin dekat dengan orang-orang Indonesia di sana yang ternyata jumlahnya cukup banyak. Oddie mengungkap, ”Saya semakin larut dan intens bergaul dengan orang-orang Indonesia. Saya menganggap mereka saudara sampai sekarang.”

Pulang Kampung 

Setelah lulus dari Lincoln University, Oddie bekerja di sebuah perusahaan terkemuka di San Francisco. Posisinya pun tak main-main, Product Manager. Sebetulnya ia betah bekerja disana, tetapi karena rasa rindu tanah air dan orangtuanya yang sudah sepuh tahun 2005 Oddie pulang dengan membawa dua gelar bachelor sekaligus, ahli komputer dan ahli desain grafis.

Sampai di Indonesia, Oddie mendirikan perusahan kecil-kecilan bersama beberapa temannya. “Uniknya begitu saya pulang, saya alami culture shock yang kedua, terutama di bidang pekerjaan. Saya baru tahu, ternyata untuk berinvestasi di Indonesia banyak sekali ‘uang siluman’ yang harus dikeluarkan, dan banyak pertemuan-pertemuan bisnis yang ngaret karena kemacetan Jakarta, gimana gak kaget coba ?” ungkapnya.

Oddie sadar semua kebiasan itu tidak bisa serta merta dirubah, meski budaya kerja di perusahaannya sendiri. Oddie tidak bisa menerapkan kebijakan ‘ala Amerika’. Ia lebih memilih menularkan dan memberi contoh. “Jadi saya memberikan influence kepada orang-orang, baik segi disiplinnya dan cara kerjanya.”

Seluruh ilmu yang ia dapat di Amerika ternyata tak melulu cocok dengan Indonesia. Contohnya ketika ia menawarkan teknologi digital cinema.Teknologi ini memungkinkan setiap bioskop mengunduh file film secara langsung via satelit dan tak perlu lagi menggunakan roll film yang besarnya minta ampun. “Jika semua biokop menggunakan teknologi ini,pembajakan pasti bisa diminimalisir. Sayangnya teknologi ini belum dibutuhkan di Indonesia karena jika dipakai, maka banyak pekerja bioskop yang mengganggur,” ungkapnya.

Kini selain memimpin perusahaannya, Oddie juga bergabung di sebuah grup band cadas bernama”Getah”, di situ ia bermain sebagai vokalis. Band ini cukup eksis dikalangan pecinta musik cadas. Mereka sering tampil sebagai band pembuka grup band-band cadas asal luar negeri. Bahkan belakangan langganan tampil di Jakarta Fair. Soal profesi musisinya itu, Oddie menegaskan,“Musik adalah nyawa kedua saya !”

Akhirnya, dengan bekal ilmu yang ditimba di Amerika, sudah saatnya Oddie berbuat sesuatu.Sesuatu untuk dirinya, keluarganya, dan tentu saja bangsanya. (yayat)

Untuk Share Artikel ini, Silakan klik www.KabariNews.com/?2608

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini