KabariNews – Suatu sore di tahun 1936, seorang Amerika bernama Bob Koke beristirahat dari bangunan hotelnya di pantai Kuta yang sepi. Perlahan dia mulai berjalan ke arah lautan untuk surfing dengan papan selancar. Tak sulit baginya untuk memulai, karena ilmu selancar telah didapatkannya saat berada di Hawaii. Kebiasan ini tanpa dinyana mengikuti Bob saat di Bali. Bisa dikatakan jarang ada orang Amerika surfing di Kuta waktu itu, tetapi Bob merupakan suatu pengecualiannya.
Pada peta Belanda waktu itu, desa nelayan miskin yang sekarang telah menjadi salah satu destinasi kebanggaan Bali ini, dieja dengan nama “Koeta”. Menurut Louise Garret, yang bepergian dengan Bob ke Bali dan kemudian menikah dengannya, sebagian besar wisatawan Barat kala itu mengucapkan Kuta dengan ejaan, “Ko-ee -ta “.
Dalam memoir Louise yang berjudul Our Hotel in Bali, pantai kuta merupakan pantai yang paling indah di dunia. Bob Koke yang juga seorang fotografer muda dari Hollywood, dan istrinya datang ke Bali di Hindia Belanda pada tahun 1936 saat keduanya bepergian melalui Cina dan Jepang. Bob memutuskan untuk membuat jalan memutar ke Pulau Bali dengan visi romantisnya “ menemukan sebuah pulau surga”.
Awalnya mereka hanya ingin menghabiskan beberapa minggu saja untuk melukis dan mengambil foto di Bali. Setelah mengambil tur di sekitar pulau seperti di daerah Besakih, Tanah Lot dan sebagainya, mereka berhenti di Pantai Kuta. Keduanya langsung jatuh cinta dengan Pantai Kuta.
Louise dengan ide romantisnya ingin mendirikan sebuah hotel di tepi laut. Bob suatu ketika berkata “ Begitu aku melihat pantai, saya melihat keindahan. Saya langsung tahu kemudian, bahwa pantai ini lebih baik daripada yang saya lihat di Hawaii”. Keduanya lalu menyewakan tanah dari penduduk setempat dan membangun hotel kecil.
Segera setelah beberapa negosiasi, kesepakatan tanah dibuat. Mereka mulai membangun hotel itu dengan bahan-bahan lokal, seperti atap alang-alang, bambu dan kayu, dan beberapa bungalow pantai dibangun. Segera setelah hotel mereka jadi, pintu Kuta Beach Hotel dibuka pada kali pertamanya. Tamu dari berbagai macam latar belakang pun mulai berdatangan. Pada malam hari para tamu disuguhkan tarian Bali dan makan malam di kebun. Hotel ini satu-satunya yang memiliki saluran telepon dari hotel sampai ke Denpasar.
Pada siang hari, Bob mengurusi tugas manajemen perhotelan bersama Louise dan kemudian keduanya pergi surfing. Mereka tak jarang menawarkan papan untuk penduduk setempat dan para tamu. Bob membawa dengan di papan selancar gaya Hawaii, beberapa bentuknya- pendek, datar dan bulat – sementara yang lainnya panjang dan berat. Tak satu pun dari mereka memiliki kemewahan sirip seperti papan selancar sekarang.
Seiring waktu Kuta Beach Hotel tumbuh dalam popularitas. Namun setelah “hidup dalam mimpi” selama lima tahun, perang tiba sejalan dengan berita dari pihak Belanda bahwa Jepang akan menginvasi Indonesia, termasuk Bali. Namun, Bob menolak untuk percaya hal ini. Pearl Harbour dibom, tentara mulai berdatangan dan membangun meriam di Pantai Kuta. Atas saran dari Wakil konsul Amerika, Bob diharuskan untuk meninggalkan Bali, Bob kali ini tak bisa menolak.
Setelah PD II, Bob kembali ke Bali dan menemukan hotel yang dibangun bersama oleh istrinya tidak ada yang tersisa. Satu-satunya souvenir kini tak lebih sebuah Longboard-nya yang masih ada di Bali dan dapat dilihat dipajang di Discovery Hotel selama Kuta Karnival. Dan ketika Louise meninggal pada tahun 1993, Bob kembali lagi ke Kuta untuk menyebarkan abunya di gelombang pantai Kuta yang kini dicintai oleh wisatawan yang datang ke Bali. (1009)
Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/80966
Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________
Supported by :