KabariNews – Indonesia merupakan negara tropik yang sebagian besar kawasannya memiliki iklim basah dengan curah hujan lebih dari 2.000 mm3 per tahun sehingga memiliki tutupan hutan dengan karakteristik hutan hujan tropik. Ciri utama ekosistem hutan ini adalah memiliki keanekaragaman hayati dan kelembaban yang tinggi.

Prof. Dr. Tukirin, peneliti Pusat Penelitian (Puslit) Biologi LIPI menuturkan bahwa ekosistem hutan tropik pada dasarnya tidak bisa terbakar secara alami sekalipun pada daerah beriklim kering. Namun pengelolaan hutan yang kurang tepat menyebabkan menurunnya kelembaban udara dan bukaan kanopi hutan sehingga berakibat serasah dan material runtuhan di lantai hutan menjadi kering. “Bahan-bahan runtuhan dan serasah tersebutlah yang memicu kebakaran di areal hutan tropik di Indonesia,” ungkap Tukirin dalam siaran pers LIPI, Jumat, (18/9).

Hasil penelitian yang dilakukan Tukirin menemukan bahwa dampak kebakaran berat dapat mematikan hampir seluruh pepohonan penyusun hutan mencapai lebih dari 80 persen. “Untuk hutan rawa gambut umumnya akan mati secara keseluruhan, tidak ada pohon yang mampu bertahan pasca kebakaran apalagi kebakaran berulang akan memusnahkan seluruh jenis primer,” ujar Tukirin.

Menurutnya, jenis tumbuhan yang muncul setelah kebakaran adalah jenis-jenis tumbuhan pionir dan sekunder seperti kelompok mahang (Macaranga spp.), anggrung (Vernonia arborea), tembalik angin (Croton sp), dan tumbuhan paku reasm (Pteridium sp. dan Gleichenia sp.). Sedangkan pada habitat rawa gambut, pasca kebakaran hanya ditumbuhi oleh jenis paku-pakuan seperti Nephrolepis spp, Blechnum spp dan Stenchlaena palustris. “Tapi tidak ada tumbuhan berbunga yang mampu bertahan dan tumbuh setelah kebakaran,” ujar Tukirin.

Sementara itu, peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Dr. Herman Hidayat menambahkan, kebakaran hutan bersumber dari lahan gambut yang seharusnya berfungsi untuk menyerap dan menyimpan air. “Lahan gambut sebenarnya tidak boleh digunakan oleh pengusaha untuk budidaya kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI), idealnya peraturan ini dipatuhi karena sudah diatur oleh pemerintah,” ungkap Herman.

Dia melanjutkan, lahan gambut dapat mudah terbakar apabila mengalami kekeringan dan cuaca panas, sehingga pembakaran kecil dapat secara cepat menyebar. “Lahan gambut memang dapat digunakan untuk industri dengan kedalaman penggunaan tanah tidak lebih dari tiga meter, tapi prakteknya ditemukan lebih dari tiga meter lahan gambut dioperasionalkan untuk perkebunan kelapa sawit, agroforestry, dan HTI,” kata Herman.

Dikatakannya, kontrol dan pengawasan pemerintah yang lemah dalam mengawasi proses eksplorasi perusahaan serta tumpang tindih lahan ditenggarai menjadi penyebab kebakaran hutan di Indonesia. “Sebagai contoh, warga pendatang menggunakan lahan gambut yang telah ditinggalkan industri untuk berkebun dengan cara membakarnya. Inilah pemicu kebakaran hutannya,” sambungnya.

Herman menambahkan, perlu penegakan hukum yang tidak diskriminatif bagi pengusaha yang terlibat kebakaran hutan karena dampaknya yang sangat merugikan negara termasuk pengawasan khusus terhadap pelaku penebangan liar, pendudukan lahan, dan deforestasi hutan Indonesia. ”Perlu koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengawasi pihak swasta yang telah diberikan izin untuk HTI dan perkebunan. Mereka harus bertanggungjawab pada titik api di masing-masing lahannya,” pungkas Herman. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/80039

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

jason_yau_lie

 

 

 

 

kabari store pic 1