Dewa Budjana

Dewa Budjana Sang Maestro Dawai Nusantara

KabariNews – Gitaris papan atas Indonesia, Dewa Budjana, banyak berada di Amerika terkait kegiatannya bermusik dan meluncurkan album barunya. Kepada KABARI, musisi bertalenta ini berbagi cerita tentang kecintaannya pada musik, khususnya gitar hingga kesibukannya membangun Museum Gitarku di Pulau Dewata. Jangan lewatkan bincang istimewa ini!

Budjana, demikian pria kelahiran Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, 30 Agustus 1963 ini akrab disapa. Empunya nama lengkap I Dewa Gede Budjana ini tentu tidak asing lagi di dunia musik Indonesia.

Mengawali karir profesionalnya sebagai gitaris, ia berkolaborasi dengan banyak musisi dan beberapa grup musik di Tanah Air. Sampai akhirnya pada 1994 ia bersama teman-temannya mendirikan grup musik yang kemudian jadi kenamaan bernama Gigi.

Di samping bermusik bersama Gigi, Budjana juga bersolo karir sebagai musisi dengan genre musik jazz.Terhitung banyak album musik telah dilahirkannya. Taksedikit karyanya yang berhasil menembus blantika musik nasional sehingga meraup decak kagum dari para pemerhati musik jazz lokal maupun mancanegara. Sebut saja, beberapa di antaranya Dawai in Paradise, Joged Kahyangan, dan Surya Namaskar.

Beberapa tahun terakhir, ia juga sering berkolaborasi dengan musisi-musisi asing kenamaan. Alhasil, ia pun sering diundang ke luar negeri untuk menjalin kerja sama di bidang musik. Termasuk dalam lawatannya ke Negeri Paman Sam untuk melakukan rekaman. Salah satunya, dalam album Joged Kahyangan, tersaji alunan musik hasil kolaborasi Budjana bersama musisi jazz legendaris Larry Goldings, Bob Mintzer, Jimmy Johnson, Peter Erskine, dan Janis Siegel.

Dalam kunjungan Budjana ke Amerika Serikat kali ini juga masih berkait dengan kegiatan rekaman untuk album barunya, sekaligus persiapan merilis album terbarunya, Hasta Karma.

Satu gebrakan yang dilakukan Budjana adalah mewujudkan cita-cita besarnya membuat museum gitar yang dinamakan Museum Gitarku. Di sana ia tampilkan koleksi gitar para musisi dunia, dilengkapi dengan tanda tangan dan kisah sang musisi. Untuk keperluan itu, beberapa lama Budjana berkeliling dunia.

Di tengah kunjungannya yang sibuk ke Amerika Serikat Januari lalu, Stanley Chandra dari KABARI sempat berbincang hangat dengan Dewa Budjana tentang perjalanan karir, gitar-gitar koleksi, beberapa proyek terbaru, serta museum gitarnya. Berikut cuplikan obrolan kami untuk Anda:

Kapan Anda jatuh cinta pada gitar dan memutuskan untuk menekuninya?

Sejak saya masih tinggal di daerah Klungkung, Bali. Tepatnya sekitar umur 11 tahun. Saya mulai tertarik pada gitar, karena tidak banyak yang dilihat waktu itu dan tidak banyak band juga. Akan tetapi, saya senang membeli majalah Aktuil (tahun 1970-an—Red) yang menampilkan para musisi. Sejak itu saya berkeinginan bermain gitar.

Adakah anggota keluarga yang menginspirasi untuk menggeluti dunia musik?

Anggota keluarga saya tidak ada sama sekali yang bermain musik. Akan tetapi kakek-nenek saya memang rutin berkidung (menyanyikan langgam tradisional— Red). Boleh dibilang, mereka berdua komposer dan rutin berkidung di Radio Republik Indonesia. Mereka memiliki beberapa murid, misalnya dari Amerika dan Australia. Waktu saya kecil, banyak orang asing yang tinggal dan belajar dari kakek-nenek saya.

Apa yang menginspirasi penciptaan lagu-lagu Anda?

Kalau penciptaan lagu, karena lagu-lagu saya adalah instrumental, pasti suasana ya. Situasi, kadang-kadang tempat juga banyak memengaruhi proses dalam mencipta lagu. Ruang, waktu, dan suasana diri adalah faktor yang menginspirasi terjadinya sebuah karya.

Berbeda dari musisi Indonesia lainnya, judul lagu-lagu dan album yang Anda pilih tergolong unik. Bagaimana Anda menentukan juduljudul tersebut?

Saya sengaja mempertahankan bahasa-bahasa Nusantara. Mumpung instrumental, maka orang tidak perlu membahasakan lagi. Jadi, judul lagunya saya pertahankan memakai kadang ada Bahasa Bali, kadang Bahasa Indonesia, kadang saya campur. Seperti Dawai in Paradise, itu campuran. Orang-orang mungkin ada yang bilang bahwa ini tidak benar. Tetapi, saya tidak peduli. Buat saya, ini menjadi satu merek saja dan merupakan pelestarian juga, karena kita kaya dalam bahasa.

Apa ide yang Anda usung dalam album baru Anda, Hasta Karma?

Hasta Karma Dewa Budjana

Album terbaru Budjana yang dirilis Februari ini

Beberapa tahun terakhir saya banyak rekaman di sini (Pantai Barat Amerika— Red), jadi saya mencoba untuk mendapatkan mood yang berbeda dari daerah East, Pantai Timur Amerika, karena suasana bermusiknya pun berbeda, bunyinya tentu berbeda. Kenapa saya rekaman di Amerika? Saya hanya ingin tulisan musik saya dimainkan secara spontan oleh mereka. Mereka itu musisi-musisi Amerika. Langsung baca, langsung menginterpretasikan apa yang saya tulis. Di Hasta Karma yang saya dapat juga sangat berbeda dari apa yang saya kerjakan di Los Angeles sebelumnya. Sengaja saya memilih pemain-pemain yang istilahnya berangkat dari world music. Saya dari Bali (Indonesia), drummer Antonio Sanchez dari Meksiko, pemain bassnya seorang Afrika-Amerika, dan vibrafonisnya seorang bule. Mereka ‘kan membawa budaya masing-masing. Orang Afrika, misalnya, tidak mungkin lepas dari budaya ritmenya. Ketika membaca tulisan lagu saya, mereka bisa menginterpretasikan lagu itu secara berbeda. Tulisan lagu yang sama, tapi direkam di sini dan di Pantai Timur Amerika, pasti hasilnya berbeda sekali.

Kapan album tersebut akan dirilis?

Album Hasta Karma dirilis Februari di Amerika. Hasta Karma merupakan album ke-4 saya yang internasional, tetapi kalau di Indonesia ini album ke-8 saya, makanya saya beri judul Hasta yang berarti delapan. Ini agak berbeda, karena biasanya saya merilis album di Indonesia dulu, baru sebulan kemudian di sini. Sekarang terbalik. Materinya terlalu banyak jadi, sudah siap dulu sejak mulai direkam Januari tahun lalu. Sekitar 6 bulan lalu, master sudah jadi, sehingga sudah siap edar. Tetapi saya baru saja mengeluarkan album Surya Namaskar. Seiring dengan dirilisnya Hasta Karma ini, saya sudah punya album lagi yang sekarang sedang direkam. Untuk itulah, sekarang saya ke Amerika untuk merilis album Hasta Karma. Saya sekalian rekaman dua album sekaligus kemarin di New York (Woodstock—Red). Saya tidak tahu kapan edarnya, mungkin tahun depan atau akhir tahun ini.

Boleh Anda bagikan sedikit informasi tentang album yang baru?

Album yang baru ini akan menampilkan sesuatu yang berbeda lagi. Saya 3-4 tahun terakhir ini termasuk bermain dengan beberapa drummer dunia. Awalnya tidak pernah direncanakan, yaitu pada 2002 dan 2005 dengan Peter Erskine. Waktu membuat Joged Kahyangan pada 2012, saya ya rekaman saja. Tahun berikutnya, saya coba dengan Vinnie Colaiuta. Tahun berikutnya dengan Antonio Sanchez. Tahun ini dengan Jack DeJohnette dan Chad Wackerman. Kalau dihitung-hitung, rasanya di dunia ini saya satu-satunya musisi yang bermain dalam 1 album bersama 6 drummer kelas 1 dunia. Jack DeJohnette itu termasuk drummer jazz kelas satu. Vinnie juga sama. Antonio Sanchez juga sedang naik sekali namanya, karena dia adalah rhythm section-nya Pat Metheny Band. Rekaman di Woodstock, melibatkan mereka semua. Tentunya pasti berbeda lagi yang akan didapatkan. Perpaduannya juga unik sekali. Pemain bass Tony Levin. Dia bukan dari sisi pemain jazz, meskipun sebenarnya dulu sempat bermain jazz. Saya merasa perlu komunitas yang berbeda lagi. Ada komunitas jazz dan komunitas progresif untuk memberi warna juga. Mungkin akhirnya penggemar Peter Gabriel juga akan tahu saya.

Selama ini Anda telah banyak berkolaborasi dengan musisi asing. Apa perbedaan menonjol dalam berkolaborasi dengan musisi lokal dan luar negeri?

Dewa Budjana bersama gitaris asing kenamaan

Bersama beberapa gitaris asing kenamaan, 1.Steve Lukather, 2.John Frusciante, 3.Bill Frisell, 4.Dweezil Zapp

Mungkin secara spontanitas saja sebenarnya. Musisi di Indonesia bagus-bagus, bahkan di atas rata-rata dibandingkan pada zaman saya. Mereka bisa dipilih mana yang paling bagus. Kenapa saya tetap memilih di Amerika? Karena dari dulu saya ingin belajar musik di Amerika, tetapi tidak kesampaian. Sekarang saya sudah main musik, saya pikir saya belajar bermusik dari mereka yang sudah berpengalaman. Kita semua di Indonesia juga belajar dari orang-orang ini. Untuk pengalaman, mereka memang jauh lebih dulu.

Anda dikenal memiliki banyak koleksi gitar, perpaduan seni rupa ataupun gitar yang dibubuhi tanda tangan oleh musisi terkenal. Di antara koleksi tersebut, mana yang menjadi favorit Anda?

Kalau koleksi, mungkin saya bukan termasuk yang paling banyak koleksi gitarnya. Di Indonesia banyak sekali kolektor gitar. Tetapi kalau kolektor gitar yang seorang gitaris, mungkin ya. Dan gitar yang direspons oleh perupa mungkin saya satu-satunya di Indonesia yang bisa mengumpulkan 34 perupa dalam satu buku, dan itu belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak orang bilang, itu adalah sebuah lintas budaya yang baru. Kalau bicara favorit, yang sering saya pakai adalah gitar ukir. Bukan karena enak, karena semua gitar hampir sama buat saya. Kenapa akhirnya saya pakai yang ukir itu? Karena simbol Saraswati di situ ide awalnya dari saya, tetapi kemudian diukir oleh orang lain. Itu adalah gitar Parker buatan Amerika yang kemudian diukir di Bali dan akhirnya terlalu identik barang itu dengan saya. Akhirnya satu gitar yang saya anggap favorit dan selalu saya pakai, karena bisa mencerminkan Indonesia dengan ukirannya. Suara gitar juga sudah memenuhi kebutuhan yang saya mau.

Boleh Anda berbagi sedikit mengenai ide dan konsep Museum Gitarku yang Anda buat?

Ide sebenarnya dari gitar yang dilukis. Ketika gitar-gitar itu tambah banyak, saya berpikir di mana gitar-gitar itu mau disimpan. Kalau suatu waktu saya sudah tiada, anak-anak belum tentu bisa mengurus. Kalau gitar itu dijual akan menjadi suatu cerita yang tidak baik juga. Jadi, saya pikir, saya akan mendirikan museum pribadi. Kebetulan saya punya lahan dan ada teman arsitek yang membantu gambar. Setelah sudah jadi, akhirnya saya tidak jadi membangun di sana. Kemudian saya bertemu partner kerja, Pak Bagus Wijaya. Dia mengajak saya untuk membuat Museum Gitarku tersebut, seiring dengan pembangunan hotelnya. Jadi, saling mengisi. Karena lingkungannya lebih besar, jadi tambah lebih besar lagi sampai saya berburu gitar ke luar negeri.

Seperti apa konsep bangunan museum gitarnya?

Museumnya terletak di bagian paling depan, lalu belakangnya resort yang menuju ke sungai. Museum itu tiga lantai. Rencananya, lantai satu untuk koleksi pribadi dan barangbarang yang saya pakai dulu. Lantai dua untuk teman-teman gitaris Indonesia. Saya ingin semua teman gitaris yang berkarya ada di dalam museum itu. Gitarnya dipajang, sekaligus dengan ceritanya. Tambahan lagi, gitar milik musisi-musisi luar negeri yang sudah saya dapatkan.

sketsa museum gitarku

Sketsa Museum Gitarku

Kapan rencananya Museum Gitarku tersebut dibuka ke publik?

Saya harapkan akhir tahun ini, karena sudah mundur dari tahun kemarin.

Ada berapa gitar koleksi pribadi Anda secara keseluruhan?

Mungkin seratusan lebih. Kalau jumlah sebenarnya tidak terlalu banyak, tetapi perpaduan antara seni rupanya itu. Saya juga mencari gitar yang biasa para gitaris itu pakai, lalu bertemu, tanda tangan, dan foto. Jadi, nanti akan ada ceritanya. Cukup banyak untuk mendapatkan dari mereka secara langsung.

Dengan musisi siapa pertemuan yang paling menarik sejauh ini?

Pertemuan dengan John Frusciante tergolong unik. Saya tidak menyangka kami bertemu, lalu dia sampai mengajak saya ke rumahnya. Dia banyak sekali menjelaskan dunia dia sendiri sekarang, seperti kenapa dia keluar dari Red Hot Chili Peppers. Dia memang merasa tidak di dunia itu. Sisi-sisi itu banyak yang menarik untuk dipelajari.(1014)

Informasi lebih lanjut mengenai museum gitar Dewa Budjana dapat diakses melalui www.museumgitarku.com.

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/74660

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

jason_yau_lie

 

 

 

 

kabari store pic 1