KabariNews – Sejak berdirinya IMSA (Indonesia Mouslim Society in America) pada 1998, Imam Shamsi Ali tak pernah absen menjadi pembicara di setiap muktamar. Di sela kesibukan itu, Vincent Leebong dari KABARI sempat mewawancarainya di San Francisco.

“Kali ini saya diminta mengisi 6 sesi dengan 7 judul kupasan. Salah satunya, Islam dan kontribusinya bagi dunia. Bahwa umat Islam mesti menyadari bahwa kita merupakan bagian dari global society,” ujar Ustadz Shamsi, yang jeli melihat ternyata topik dan juga pembicaranya menjadi perhatian tersendiri bagi peserta muktamar.

Ustadz Shamsi juga menilai muktamar IMSA merupakan kegiatan positif yang harus terus dijalankan. “Saya bertemu dengan American officials, termasuk Duta Besar Amerika, Robert O Blake, yang mengapresiasi, bahwa Islam Indonesia harus diekspos ke dunia internasional. Di samping juga saya mendengar dari banyak orang yang tampaknya sudah frustrasi dengan Islam Timur Tengah yang selalu saja konflik,” lanjutnya.

Terkait dengan banyaknya konflik yang terjadi, ia mengaku sudah berusaha keras mencoba memperlihatkan kepada saudara-saudara di Indonesia, betapa berbeda agama atau pendapat, tetapi sebagai saudara, manusia tetap bisa bekerja sama.

Kepada KABARI, Imam Shamsi bercerita saat dirinya ke Indonesia membawa seorang rabi Yahudi. Agak ekstrim memang, bahkan hal serupa ini belum pernah terjadi di Tanah Air. “Ada yang menganggap orang Yahudi musuh bebuyutan, tetapi saya buktikan bahwa meski berbeda, bisa bersahabat, bahkan menulis buku bersama, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Anak-anak Ibrahim. Kami sempat berkeliling ke Yogja, Jakarta, Bali dan juga bertemu tokoh-tokoh Muhammadyah dan NU. I think the real issue between Islam-Yahudi, nothing but Palestine and Israel,” katanya.

Menurutnya, konflik yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari ketidakmampuan ormas besar di Indonesia dalam membendung atau membatasi ormas ekstrem yang menjadi duri dalam daging. “Dengan adanya reformasi, keterbukaan dan kebebasan berlebihan, yang menyebabkan terjadinya euphoria. Mereka ingin mengekspresikan diri. Di Jakarta misalnya, Gubernur yang terpilih adalah etnis China dan beragama Kristen, mereka tidak puas,” katanya.

Sebagai negara konstitusi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45, justru dari keberagaman itulah, bangsa Indonesia bisa bekerja sama dan berkompetisi secara sehat. Bila ingin melakukan yang terbaik untuk bangsa ini, ya berkompetisilah sesuai konstitusi, hemat Ustadz Shamsi.

Menghadapi isu agama, Imam Shamsi optimis, meski banyak terjadi kekerasan, pasti akan ada solusi untuk mendamaikan. “Dibutuhkan figur-figur yang berani melangkah. Saya sudah bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Hasyim Musadi, Din Syamsuddin yang punya optimisme tentang perdamaian,” katanya. ”Kita hidup di satu rumah besar bernama dunia, di bawah satu atap yang sama. Tinggal kita memilih. Mau terus bertengkar atau membangun kerja sama. Tidak ada pilihan lain, bahwa rumah ini harus dijaga bersama. Untuk menyelamatkan dunia adalah dengan membangun kerja sama tersebut.” (*)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/74040

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Hosana

 

 

 

 

Kabaristore150x100-2